KOMPLEKS BANDARA: DUNIA KECIL YANG PENUH WARNA
Hidup di kompleks perumahan karyawan Bandar Udara Tuban bukan cuma soal punya rumah dekat tempat kerja orang tua. Itu cuma bonus. Yang sebenarnya terjadi adalah: kami hidup di dunia kecil yang penuh warna, tawa, dan cerita yang rasanya nggak akan pernah habis diceritakan, meski sudah puluhan tahun berlalu.
Bayangkan, di masa itu—saat televisi masih cuma punya dua channel (dan itu pun sering burem kalau antena miring dikit), ketika bioskop masih jadi barang mewah—pihak bandara malah memfasilitasi kami nonton film layar lebar di area kompleks!
Proyektor gede dipasang di lapangan terbuka, tikar digelar, anak-anak berlarian rebutan tempat paling depan. Filmnya? Kadang Superman, kadang E.T., kadang The NeverEnding Story. Begitu lampu dipadamkan, kami semua langsung diam, matanya berbinar, seolah sedang terbang ke dunia lain. Rasanya kayak punya bioskop pribadi—tanpa popcorn, tapi penuh rasa kagum dan kegembiraan yang jujur.
Tapi kompleks bandara bukan cuma soal hiburan. Di sana, kami juga diajari mencintai seni dan budaya. Setiap sore, aula serbaguna berubah jadi studio tari dadakan. Anak-anak kecil, termasuk Nucky, belajar Tari Pendet, Tari Gambyong, dan tentu saja, Tari Baris—tarian gagah khas Bali yang bikin dada berdebar waktu tampil.
Suatu hari, saat ulang tahun perusahaan, Nucky terpilih tampil di panggung besar. Kostumnya lengkap, kepalanya tegak, gerakannya mantap (walau sempat nyenggol temannya saking semangatnya). Penonton bertepuk tangan, para pejabat tersenyum bangga. Dan di mata bocah kecil bernama Nucky waktu itu, dunia terasa luas sekali—seolah ia sedang jadi pahlawan kecil yang dielu-elukan.
Kalau seni membuat hati kami hidup, olahraga membuat tubuh kami menyala. Di kompleks bandara, fasilitas olahraga lengkapnya bukan main: ada lapangan tenis, basket, voli, tenis meja, bahkan sepak bola—semuanya rapi, terawat, dan ramai setiap sore. Ada pelatih profesional yang sabar (dan kadang agak galak juga), tapi semua itu membuat kami disiplin dan bersemangat.
Dari tempat kecil itulah, banyak anak kompleks yang akhirnya berprestasi di tingkat nasional. Salah satunya adalah adik Nucky—alm. Dimas Arya Radityo, yang berhasil menembus peringkat dua nasional kategori junior cabang tenis. Sebuah kebanggaan yang hingga kini masih hangat diingat keluarga dan teman-teman. Fasilitas, semangat, dan lingkungan yang saling dukung membuat anak-anak kompleks seperti punya sayap—bisa terbang sejauh mungkin yang mereka mau.
Tapi yang paling indah dari kehidupan kompleks bandara adalah kehangatannya. Tetangga bukan sekadar orang yang tinggal di sebelah rumah—mereka adalah keluarga.
Di depan rumah Nucky, ada Pakde dan Bude Woto yang selalu menyapa hangat, suka ngasih pisang goreng atau nasi campur kalau Nucky main ke rumahnya.
Sementara di sebelah kanan, ada Oom Maniso, kepala keamanan bandara yang karismanya bikin anak-anak langsung diam begitu dia muncul. Wajahnya tegas, suaranya berat—pokoknya aura “galak” level kepala pasukan. Tapi anak-anaknya, Wuri dan Yudhi, justru dua sahabat paling seru.
Wuri, si cewek tangguh yang hobinya manjat pohon, sering bikin Nucky kalah cepat waktu lomba panjat jambu. Kadang malah dia yang bantuin anak cowok lain turun kalau kakinya nyangkut di cabang. Sungguh, di kompleks itu, urusan gender belum rumit—yang penting siapa yang bisa naik paling tinggi, dialah jagonya!
Yang bikin kompleks ini begitu berkesan adalah rasa kebersamaan yang tulus. Kami berbeda agama, suku, dan latar belakang. Ada yang Bali, Jawa, Bugis, Batak, bahkan ada keluarga campuran dari luar negeri. Tapi tak ada sekat. Tak ada prasangka. Yang ada hanya tawa, gotong royong, dan rasa saling menjaga.
Kalau ada yang ulang tahun, seluruh anak kompleks datang ramai-ramai—kadang tanpa diundang—asal ada kue tart dan minuman sirup merah. Kalau ada yang sakit, semua ikut bantu. Dan kalau ada listrik mati malam-malam, kami duduk di luar rumah, main tebak-tebakan sambil diterangi cahaya bulan. Sederhana, tapi hangat.
Salah satu peristiwa yang paling membekas dalam kenangan keluarga Nucky adalah hari kelahiran adiknya, Dimas Arya Radityo. Ia lahir di klinik milik bandara, hari Minggu, 11 Mei 1980. Nama “Radityo” diambil dari kata “Redite” dalam bahasa Bali—yang berarti hari Minggu—sebagai bentuk penghormatan terhadap hari kelahirannya.
Bagi Nucky, yang sudah delapan tahun hidup sebagai anak tunggal, kelahiran Dimas seperti mendapatkan sahabat baru sekaligus tanggung jawab besar. Ia senang, bangga, sekaligus bingung—karena sejak saat itu, mainan favoritnya kadang “disita” oleh bayi mungil yang lucu tapi super berisik itu.
Namun seiring waktu, rasa “rebutan” itu berubah jadi sayang yang dalam. Dimas tumbuh jadi anak cerdas, penuh semangat, dan kelak jadi kebanggaan keluarga—bukan hanya karena prestasinya, tapi juga karena kebaikan hatinya.
Kini, jika Nucky menoleh ke masa lalu, kompleks bandara itu terasa seperti miniatur kehidupan yang sesungguhnya: tempat di mana manusia belajar hidup berdampingan, saling menghargai, dan tumbuh bersama.
Di sana, ia belajar tentang seni, disiplin, persahabatan, keberagaman, dan keluarga. Ia belajar bahwa tempat yang sederhana bisa jadi sumber kebahagiaan yang luar biasa—asal di dalamnya ada cinta, tawa, dan rasa memiliki.
Dan setiap kali pesawat lewat di atas kepala, Nucky masih sering menengadah—tersenyum kecil, teringat masa-masa ketika dunia begitu sederhana, namun terasa begitu lengkap. Dunia kecil yang penuh warna, bernama Kompleks Bandara Tuban.