TOMORROW IS A PROMISE, NOT A GUARANTEE
Kadang kita terlalu sibuk merencanakan hari esok sampai lupa
menikmati hari ini. Kita memikirkan target, jadwal, dan impian seolah esok
sudah pasti datang, seolah waktu akan selalu sabar menunggu kita siap. Padahal,
hidup ini tidak pernah memberikan jaminan apa pun selain detik yang sedang kita
hirup saat ini.
Aku ingat betul, beberapa waktu lalu aku duduk sendirian di
teras rumah, menatap langit sore yang mulai berwarna jingga. Angin sore
berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan suara anak-anak bermain di
kejauhan. Di momen itu, entah kenapa, aku teringat seseorang yang dulu sangat
dekat—seorang sahabat senior masa Kuliah yang selalu bilang, “Kita kejar mimpi
bareng, ya, besok-besok pasti seru!” Tapi “besok” itu tak pernah datang
untuknya.
Kabar kepergiannya datang tiba-tiba, seperti hujan di musim
kemarau. Dunia mendadak hening, dan aku merasa seperti ditampar kenyataan.
Semua rencana, semua janji untuk bertemu lagi, berubah jadi kenangan yang
menggantung di udara. Di situlah aku belajar satu hal penting: TOMORROW IS A
PROMISE, NOT A GUARANTEE. Esok hanyalah janji yang belum tentu ditepati
oleh waktu.
Sejak saat itu, aku mulai memandang hidup dengan cara
berbeda. Aku berhenti menunda. Aku mulai menelpon orang-orang yang kucintai
hanya untuk bilang “terima kasih” atau “aku kangen.” Aku mulai memeluk lebih
lama, mendengarkan lebih dalam, dan tersenyum lebih tulus. Karena siapa tahu,
senyum hari ini mungkin adalah yang terakhir dilihat seseorang dariku.
Lucunya, kita sering menunggu “waktu yang tepat” untuk
melakukan sesuatu. Padahal, waktu yang tepat itu bisa jadi adalah sekarang.
Kita menunggu punya uang banyak baru ingin bahagia, menunggu sukses dulu baru
ingin bersyukur, menunggu semuanya sempurna baru berani berkata “aku cinta
kamu.” Tapi hidup tidak bekerja seperti itu. Tidak ada “nanti” yang benar-benar
pasti datang.
Hidup itu seperti lilin yang perlahan mencair—kita tidak
tahu kapan nyalanya akan padam. Tapi selama masih menyala, setidaknya ia
memberi terang bagi sekitar. Begitu juga kita. Tidak perlu menunggu waktu yang
ideal untuk melakukan kebaikan kecil: menyapa orang dengan ramah, memaafkan,
membantu tanpa pamrih, atau sekadar hadir dengan tulus. Karena bisa jadi,
itulah momen yang akan diingat orang lain jauh setelah kita tiada.
Malam itu aku menulis di buku catatanku:
“Jangan lagi hidup setengah hati. Jangan biarkan kata ‘nanti’ mencuri
kebahagiaan hari ini.”
Sejak saat itu, setiap kali bangun pagi dan melihat cahaya
matahari menembus jendela, aku selalu berbisik pelan, “Alhamdulillah yaaa
Allah Terima kasih. Aku masih diberi kesempatan.” Bukan karena aku takut
mati, tapi karena aku mulai paham bahwa hidup ini rapuh—dan justru di situlah
keindahannya.
Kita tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi besok, tapi
kita bisa memilih bagaimana menjalani hari ini. Dengan cinta, dengan syukur,
dengan keberanian untuk jadi versi terbaik dari diri sendiri.
Karena mungkin… besok hanyalah janji. Tapi hari ini—ya,
detik ini—adalah hadiah.
Dan aku tidak mau lagi menyia-nyiakannya.