NGOPI BARENG BERSYUKUR – TENTANG NIKMAT YANG SERING TERLEWAT
Ada satu momen yang paling aku suka di pagi hari: ketika aroma kopi hitam mulai menyeruak dari dapur, pelan-pelan menyelinap ke ruang tamu, lalu menepuk lembut hidungku seperti ingin berkata, “Bangun, hidupmu masih punya banyak hal untuk disyukuri.”
Lucunya, kopi itu seperti hidup. Kadang pahit, tapi kalau
diseduh dengan hati yang tenang, rasanya bisa nikmat juga. Dan di situlah letak
“ngopi bareng syukur” yang sebenarnya — bukan cuma soal menyesap kafein, tapi
juga merenungi bahwa hidup ini sebenarnya sudah lumayan “kopi banget”: panas,
wangi, dan penuh rasa kalau kita mau menikmatinya.
Aku jadi sering mikir, kita ini kadang terlalu fokus sama
hal-hal besar yang belum tercapai. “Kapan ya bisa punya rumah sendiri?” “Kapan
bisa liburan ke Jepang?” “Kapan bisa naik mobil baru?” Padahal, hal-hal kecil
yang tiap hari lewat di depan mata justru sering luput dari daftar syukur.
Padahal nikmat-nikmat itu hadir diam-diam.
Kayak:
- Nafas
yang lancar tiap bangun tidur (nggak semua orang dapat jatah itu hari
ini).
- Nasi
hangat dan sambal buatan istri yang bikin keringat netes tapi hati adem.
- Atau
bahkan sinyal WiFi yang tiba-tiba lancar pas lagi zoom meeting penting —
itu pun rezeki!
Tapi manusia, ya begitulah. Kalau nggak dikasih drama, suka
lupa caranya bersyukur. Kadang butuh ditampar dulu sama keadaan baru sadar
betapa berharganya hal-hal sederhana. Misalnya waktu listrik mati sejam aja,
baru sadar betapa luar biasanya peran kipas angin dan kulkas dalam menjaga
kewarasan rumah tangga.
Suatu hari, aku duduk di teras sambil ngopi sore. Hujan
turun pelan, dan suara rintiknya meninabobokan jalanan. Aku pandangi halaman
yang basah, ayam tetangga masih asik berteduh di bawah pohon jambu, dan aku
cuma diam. Tiba-tiba kepikiran: “Ternyata nikmat juga ya cuma duduk begini.”
Nggak perlu jalan-jalan ke pantai Bali buat merasa damai.
Kadang ketenangan itu hadir waktu kita berhenti sebentar — berhenti nuntut
hidup jadi lebih “wah”, dan mulai sadar kalau yang “biasa” aja itu udah luar
biasa.
Ngopi bareng syukur itu bukan ritual khusus. Bisa di mana
aja, sama siapa aja, atau bahkan sendirian. Intinya bukan di kopinya, tapi di
kesadaran kecil yang muncul di sela hirupan hangat itu: bahwa hidup,
seberantakan apa pun, tetap pantas dirayakan.
Karena syukur itu bukan hasil dari hidup yang sempurna —
tapi justru cara untuk membuat hidup terasa sempurna.
Jadi, yuk, sesekali istirahat dari keluhan. Seduh kopi,
duduk tenang, dan bilang dalam hati, “Terima kasih, ya Allah, untuk hari ini.
Pahitnya masih bisa kutelan, artinya aku masih hidup.”
Kadang, ngopi itu justru jadi waktu terbaik buat ngobrol
sama diri sendiri. Bukan karena nggak ada teman, tapi karena diri sendiri juga
perlu diajak duduk dan didengarkan.
Aku sering banget ngalamin momen kayak gini: udah seharian
kerja, macet, urusan numpuk, tiba-tiba sore datang dan semua jadi hening. Aku
duduk, nyalain air panas, nyeduh kopi sachet — iya, sachet, bukan kopi mahal
hasil grinder 3 juta. Karena buatku, nikmat itu nggak harus premium.
Lalu aku mulai mikir, kenapa ya manusia itu suka lupa
menghargai hal-hal kecil yang sebenarnya bikin hidup terasa “utuh”?
Contohnya, waktu kecil, kita bahagia banget cuma karena bisa
main hujan, makan es lilin, atau nemu uang seratus perak di jalan. Tapi begitu
gede, kok bahagia rasanya makin mahal ya? Harus liburan dulu, upgrade HP, atau
posting story biar dikasih love sama orang lain.
Padahal, kalau dipikir-pikir, mungkin yang berubah bukan
hidupnya, tapi cara kita melihatnya.
Dulu, kita lihat satu hal kecil dan bilang, “Wah,
senangnya!”
Sekarang, kita lihat satu hal besar dan bilang, “Ah, cuma segitu?”
Kita lupa, syukur itu bukan cuma ucapan “alhamdulillah” yang
otomatis keluar waktu dapet bonus gaji. Tapi juga waktu bisa makan mi instan
tengah malam tanpa diganggu rasa bersalah. Waktu bisa ketawa lepas sama teman
lama tanpa harus jaga image. Waktu masih punya orang tua buat ditelpon walau
cuma ngomong, “Udah makan belum?”
Itu semua nikmat, cuma sering dikira “biasa.”
Pernah suatu pagi, aku ngopi bareng teman lama di warung
pojokan. Warungnya sederhana banget — kursinya miring, mejanya bekas, tapi
suasananya luar biasa. Kami ngobrol tentang hidup, tentang cita-cita yang dulu
dikejar tapi sekarang malah berubah jadi cerita lucu.
“Bro, inget nggak, dulu kita pengen banget jadi orang sukses
biar bisa nongkrong di kafe mahal?”
“Iya,” jawabnya sambil nyeruput kopi, “Sekarang malah kangen nongkrong di
warung kayak gini.”
Kami tertawa. Lucu ya, manusia. Dulu pengen cepat-cepat
sukses, sekarang malah pengen balik ke masa di mana hidup nggak serumit
sekarang.
Di situ aku sadar, mungkin yang kita kejar selama ini bukan
kebahagiaan, tapi pembuktian. Dan itu beda jauh.
Bahagia itu sederhana, pembuktian itu melelahkan.
Makanya, setiap kali aku ngerasa hidup lagi nggak seimbang —
antara kerja, tanggung jawab, dan ekspektasi — aku balikin semuanya ke satu
momen kecil: ngopi bareng syukur. Duduk sebentar, tarik napas panjang,
hirup aroma kopi, dan bilang pelan dalam hati:
“Masih banyak yang harus kuperjuangkan, tapi juga banyak
yang harus kusyukuri.”
Karena ternyata, hidup ini bukan soal siapa yang paling
cepat sampai, tapi siapa yang paling sering berhenti sejenak untuk bilang terima
kasih.
Dan kalau kamu lagi ngerasa capek, kehilangan arah, atau
bingung sama dunia yang makin ribet — coba deh, ambil secangkir kopi. Duduklah.
Diam sebentar. Lihat sekeliling. Dengarkan suara-suara kecil yang kamu abaikan.
Kadang, kedamaian itu datang bukan karena semuanya selesai,
tapi karena kamu berhenti sebentar dan sadar... bahwa kamu masih punya cukup
alasan untuk bersyukur hari ini.