TIDAK SEMUA SALAH ITU SALAH
Ada satu momen dalam hidup yang bikin aku mikir lama, bahkan sampai sekarang. Momen itu datang dari sebuah “kesalahan” — atau setidaknya, dulu aku kira begitu.
Waktu itu aku lagi buru-buru banget ke kantor. Jalanan macet, motor di depan ngebut seenaknya, dan aku… yah, ikut-ikutan. Sampai akhirnya brakk! — hampir nyenggol spion mobil orang. Refleks aku minta maaf, walaupun dalam hati masih gondok, “Lah, dia juga salah parkir sembarangan!” Tapi begitu aku lihat wajah bapak sopirnya, dia cuma senyum tipis sambil bilang, “Hati-hati ya, Mas. Kadang yang salah bukan siapa, tapi situasinya.”
Kalimat itu nancep banget.
Kadang kita terlalu cepat menilai, terlalu sigap menuding. Padahal, tidak semua salah itu benar-benar salah. Ada kalanya kesalahan itu cuma cara semesta buat ngasih pelajaran yang nggak bakal kita dapet kalau semua berjalan sempurna.
Contohnya, waktu aku salah kirim pesan. Harusnya ke temen kantor, eh malah ke grup keluarga besar. Dan isinya? Kritik pedas soal atasan. Lengkap dengan emoji api. 😭
Awalnya malu setengah mati. Tapi justru dari situ, aku jadi lebih hati-hati, belajar ngerem jempol, dan (anehnya) malah dapat nasehat bijak dari omku yang bilang, “Kadang lidah—atau jempol—lebih cepat dari otak. Tapi jangan biarkan rasa malu lebih cepat dari pembelajaran.”
Atau waktu dulu salah ambil jurusan kuliah. Aku pikir hidupku bakal hancur. Tapi ternyata, justru dari situ aku nemu passion yang sebenarnya.
Jadi, salah itu nggak selalu jalan buntu. Kadang malah tikungan menuju arah yang lebih benar.
Lucunya, hidup tuh kayak GPS. Ketika kita salah jalan, dia nggak marah. Cuma bilang, “Recalculating route…” Tenang banget. Coba kalau manusia kayak gitu, dunia mungkin lebih damai, dan grup WA keluarga nggak akan penuh debat soal siapa yang salah duluan. 😅
Jadi, mungkin yang kita sebut “kesalahan” itu bukan musuh, tapi guru yang nyamar. Kadang dia datang dalam bentuk malu, rugi, atau kecewa — tapi di balik itu semua, ada hikmah yang pelan-pelan menuntun kita ke arah yang lebih baik.
Karena ya… tidak semua salah itu pasti salah.
Terkadang, justru di dalam kesalahan itu ada kebenaran yang sedang menunggu kita untuk sadar.
Beberapa tahun lalu, aku pernah ngalamin salah keputusan yang lumayan “berbekas”. Waktu itu aku jadi ketua tim proyek di kantor. Proyeknya besar, kliennya galak, dan deadlinenya secepat gerak jempol waktu flash sale.
Aku sok yakin dengan rencana yang aku buat—tanpa banyak diskusi sama tim. Pokoknya, semua harus sesuai pikiranku. “Nggak usah debat, percayain aja, ini pasti berhasil,” kataku waktu itu.
Dan hasilnya?
Boom.
Proyek gagal di tengah jalan. Klien marah. Tim kecewa. Bos cuma bilang, “Kamu belajar ya dari sini.”
Waktu itu aku pengen lenyap aja dari muka bumi. Rasanya malu banget. Tapi setelah semua reda, aku sadar sesuatu: ternyata niat baik belum tentu berujung benar kalau caranya salah.
Dan ironisnya, dari kesalahan itu, aku belajar tentang hal yang jauh lebih penting dari sekadar proyek — yaitu kerendahan hati.
Kalau waktu itu aku nggak “salah langkah”, aku mungkin nggak akan pernah ngerti betapa berharganya mendengar pendapat orang lain.
Kesalahan itu kayak kaca pembesar — memperlihatkan bagian dari diri kita yang selama ini nggak kelihatan.
Kadang kita nggak sombong, cuma terlalu pede. Nggak egois, cuma takut disalahin. Tapi kesalahan datang, dan voilà — semua topeng itu copot dengan sendirinya.
Lucunya, waktu proyek kedua datang, aku justru ngajak tim untuk rapat sampai malam. Kami debat sehat, saling lempar ide, dan kali ini hasilnya sukses besar.
Dan di situ aku senyum kecil sambil mikir,
“Kalau bukan karena kesalahan pertama, mungkin aku masih sibuk sok tahu sampai sekarang.”
Hidup memang lucu.
Kadang yang kita anggap benar justru menyesatkan, sementara yang kita kira salah malah membuka jalan.
Kesalahan itu seperti kopi yang pahit di awal, tapi bikin melek setelahnya.
Yang penting bukan seberapa sering kita salah, tapi seberapa cepat kita belajar dan berani memperbaikinya.
Karena sejatinya, kebenaran dan kesalahan bukan dua kutub yang terpisah. Mereka saling melengkapi — kayak pasangan yang sering berantem tapi nggak bisa hidup tanpa satu sama lain.
Dan siapa tahu, justru kesalahan hari ini adalah cara Tuhan menyiapkan kita untuk kebenaran yang lebih besar besok.
Kadang aku mikir, mungkin Allah sengaja menyembunyikan kebenaran di balik kesalahan, supaya kita belajar caranya mencari — bukan cuma menerima.
Karena kalau semua hal langsung benar, kita nggak akan pernah tahu rasa bersyukur waktu akhirnya menemukan arah yang tepat.
Kesalahan itu ibarat jalan berlubang di tengah perjalanan. Nggak enak sih, bikin oleng, kadang bikin jatuh. Tapi justru di situlah kita belajar menjaga keseimbangan.
Tanpa lubang itu, mungkin kita akan terus melaju cepat — tapi nggak pernah sadar kalau arah yang kita tuju salah.
Ada orang yang takut salah sampai akhirnya nggak berani melangkah.
Padahal diam juga kadang bisa jadi kesalahan paling besar — karena hidup nggak butuh kesempurnaan, tapi keberanian untuk belajar.
Aku jadi ingat satu nasihat yang dulu sempat aku anggap remeh:
“Jangan buru-buru menilai siapa yang salah atau benar, karena setiap orang sedang menempuh fase belajarnya masing-masing.”
Sekarang aku paham.
Yang penting bukan seberapa sering kita benar, tapi seberapa tulus kita memperbaiki diri setelah salah.
Bukan seberapa banyak kita tahu, tapi seberapa rendah hati kita untuk mengakui bahwa kadang… kita keliru.
Dan lucunya, ketika kita mulai berdamai dengan kesalahan, hidup terasa lebih ringan.
Kita nggak lagi sibuk menutupi, tapi sibuk tumbuh.
Kita nggak lagi takut gagal, tapi siap untuk belajar lagi.
Karena, pada akhirnya —
tidak semua salah itu salah.
Kadang, di balik langkah yang keliru, ada takdir yang sedang menuntun.
Dan siapa tahu, kesalahan hari ini adalah tiket menuju versi terbaik dari diri kita sendiri.