CINTA ala ALFA 2R vs BMW

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :








(Ketika Allah Menjahit Jodoh dari Knalpot Berasap)

 

Kadang hidup itu punya selera humor yang aneh—tapi aneh yang manis, kayak gula aren yang sedikit gosong tapi bikin es kopi susu jadi lebih nendang. Bayangin aja: kamu dipertemukan dengan seseorang yang bakal bikin ritme napasmu berubah, tapi start-nya dari hal-hal absurd macam klakson kempes dan motor berasap yang kalau lewat bikin orang nengok bukan karena gaya, tapi karena khawatir.

 

Begitulah cerita bermulanya aku dan Renny, alm istriku. Cerita yang awalnya cuma lewat kayak trailer film romantis di Cinema 21, tapi lama-lama berubah jadi film panjang yang entah gimana disutradarai langsung oleh semesta—lengkap dengan adegan haru, tawa kecil yang malu-malu, rindu yang nggak bisa ditahan, dan keberanian seorang anak kompleks bandara yang modalnya cuma Alfa 2R dan doa panjang di sajadah subuh.

 

Hari-hariku sama Renny itu… hmm, gimana ya. Rasanya kayak nonton drama Korea, tapi pemeran cowoknya bukan oppa ber-jawline tajam—melainkan aku. Anak kompleks bandara, kulit manis, rambut berminyak karena pomade cap tiga jari, dan motor Yamaha Alfa 2R yang kalau dinyalain bunyinya mirip napas kambing pas musim kawin. Sementara di depanku, berdiri Renny. Gadis yang auranya tuh… mashaAllah. Bukan cuma cantik, tapi juga punya cahaya lembut yang bikin orang pengen jadi versi terbaik dari dirinya sendiri.

 

Dan coba tebak? Dia keponakannya Prof. Dr. Sutomo—dokter kandungan top di kota Malang yang namanya berseliweran di seminar nasional. Rumah mereka ada di kawasan elit yang kalau aku masuk, rasanya kayak aku salah server: “Ini map dari GTA atau rumah orang beneran, sih?” Bahkan adik sepupunya, si Nugra, adalah model majalah ANEKA. Majalah yang kalau kamu muncul di situ, artinya kamu sudah resmi naik kelas dari manusia biasa jadi entitas fotogenik nan menawan.

 

Sedangkan aku? Yah… kalau majalah ANEKA punya rubrik “Warga Biasa yang Tekadnya Tinggi”, mungkin aku baru lolos seleksi tahap pertama.

Belum lagi saingan-sainganku. Aduh. Anak dokter, cucu pengusaha, mahasiswa mapan yang tiap pagi nganterin Renny kuliah pakai BMW biru metalik yang mengilapnya kayak sinar ilahi. Sementara aku muncul dengan Alfa 2R yang suka batuk kalau diajak nanjak, knalpotnya goyang, dan klaksonnya kadang bunyinya kayak minta sedekah.

 

Tapi di antara semua ketidakseimbangan itu, justru cinta menemukan ruangnya sendiri. Mungkin karena tulus. Atau mungkin karena Tuhan memang suka kasih plot twist buat anak-anak yang berjuang dengan caranya masing-masing.

Setiap sore, aku jemput dia bukan dengan janji mewah, tapi dengan selebaran binder berisi tulisan tanganku:

“Maaf cuma bisa bawa kamu naik motor ini, tapi hati dan masa depanku sudah aku simpan buat kamu.”

Iya, norak. Iya, jujur. Tapi itulah aku.

 

Awalnya keluarganya mungkin mikir, “Ini bocah item manis rambutnya berminyak siapa ya manggil Renny pakai klakson yang bunyinya kayak teriakan minta tolong?”

Tapi waktu tuh punya caranya sendiri untuk menyaring mana yang cuma gaya, mana yang punya isi. Dan entah gimana, kehadiranku yang sederhana itu pelan-pelan mereka terima. Bukan karena motorku keren, tapi karena niatku nggak main-main. Karena ketulusan itu—nggak tahu dari sudut mana—ternyata bisa bersuara lebih kencang dari mesin BMW mana pun.

 

Lalu, tiga bulan setelah semuanya dimulai, di sore yang biasa banget, di antara angin yang lewat tanpa beban, Renny bilang,

“Aku mau jadi pasanganmu, mas.”

Detik itu, jujur, aku merasa kayak langit runtuh. Tapi bukan runtuh buat menghancurkan. Lebih kayak runtuh lalu berubah jadi bintang-bintang kecil yang menyusun nama kami:

R-E-N-N-Y ❤️ N-U-C-K-Y

Sumpah, saat itu aku merasa kayak baterai HP yang tadinya tinggal merah 10% langsung ngecas sampai 100% dalam 0,2 detik tanpa charger.

 

Aku merasa menang perang—perang melawan gengsi, melawan rasa minder, melawan pikiran-pikiran buruk yang sering nongol saat malam.

Di titik itulah aku berjanji sama Allah.

“Ya Allah… kalau ini benar amanah-Mu, akan kujaga dia. Akan kutata masa depanku, bahkan kalau harus jatuh-bangun berkali-kali.”

Kuliahku jadi lebih semangat. Cari beasiswa bukan buat gaya, tapi buat masa depan—meski akhirnya gagal, tapi tetap aku kejar. Setiap malam aku tidur sambil nyemangatin diri bahwa cinta tanpa keberanian itu cuma cuma angan yang rapuh.

Kata Kahlil Gibran:

“Cinta yang tidak dibarengi keberanian hanya akan menjadi angan.”

Dan Al-Qur’an bilang:

“Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Renny bukan sekadar pacar. Dia itu kompas. Pengingat arah. Penegas bahwa anak kompleks bandara pun berhak punya mimpi setinggi apa pun.

Dari Renny aku belajar bahwa memperjuangkan cinta yang halal itu jauh lebih keren daripada menang kompetisi apa pun. Karena cinta yang halal itu… meninggikan. Menguatkan. Mengasah niat.

 

CATATAN NUCKY : Kadang langkah yang kita kira salah—kayak bolos kuliah, motor mogok, atau nyasar ke Cinema 21—justru adalah jalan kecil yang disiapkan Tuhan untuk mempertemukan kita dengan doa-doa yang selama ini cuma kita bisikkan dalam hati.

Hidup itu bukan hanya soal rencana kita.

Tapi soal bagaimana semesta menjahit keberanian, harapan, dan cinta menjadi satu kain utuh bernama takdir.

Dan Renny… adalah salah satu jahitan terindah yang pernah Allah kasih dalam hidupku.


Top of Form

 

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN