IDA PURNAMAWATI: LOGAT CETARRR MADURA, TAMENG YANTI, DAN TAKDIR YANG MENYILANGKAN TIGA GENERASI
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Kalau bicara soal masa SMA di Taman Griya, ada satu nama yang langsung bikin otak otomatis muter ulang suara keras lengkap dengan logat Madura, seolah seseorang lagi manggil dari kejauhan pakai megafon. Nama itu: Ida Purnamawati.
Padahal nih ya, Ida itu bukan orang Taman Griya.
Dia cuma nongkrong terus di sana karena nempel sama Yanti.
Dan ketika aku bilang “nempel”, itu bukan bahasa puitis—itu literal: nempel.
Dua cewek ini kalau jalan berdua kayak perangko ditempel di amplop. Mepet terus. Kadang aku mikir, kalau Yanti batuk, Ida yang minum obat.
PERTEMUAN PERTAMA: KALAM, MANIS, LALU… BYAARRRR!
Pertama kali Genk F2 ketemu Ida itu di rumah Bram, basecamp segala canda tawa dan rencana-rencana konyol yang biasanya berujung zonk. Waktu itu kami lagi sok cool menyambut tamu–anak-anak cewek SMA yang main ke rumah Bram.
Muncul lah satu cewek mungil, kulit manis, rock pendek khas anak SMA 90-an, wajahnya itu lho… kayak karakter pendiam di film-film remaja. Yang kalau ketawa pun harus pakai filter lembut.
Kami semua langsung pasang mode sopan dan stylish—ala-ala cowok baik-baik yang baru potong rambut tiga hari lalu.
Sampai dia buka mulutnya…
“Taiyeeee kau cak!!”
BUYAARRRR!
Mental kami langsung turun dua level, dari cowok-cowok keren menjadi bocah-bocah lugu yang baru ditegur guru BP.
Suaranya?
Aduh.
Cetar, kencang, logat Madura-nya nancep sampai ke sumsum.
Kalau ada lomba suara paling khas, Ida bisa menang tanpa daftar.
“Ida, pelan dikit napa?” tanya kami waktu itu.
Dia jawab santai sambil ngakak,
“Pelan apaaa? Kalian ini yang pendengaran rusak!”
Dan ekspresi dia kalau ngomel—astaga—lengkap dengan tangan mengepak, bibir manyun, mata melotot kecil. Macam kartun Jepang versi Madura.
MARKAS UTAMA: RUMAH YANTI
Yang paling lucu, Ida itu hampir nggak pernah nongkrong di rumahnya sendiri. Dia hidupnya ngontrak moral di rumah Yanti.
Rumah Yanti itu semacam safe house khusus Ida. Kami sampai bingung,
“Ida ini sebenarnya tinggal di mana sih?”
Alasannya cuma satu:
bokapnya galak.
Alm. Oom Padmo—ayah Ida—itu sosok Madura sejati. Suara tegas, tatapan serius, dan aura “asal kau macam-macam, urusanmu panjang”.
Jadi tiap ada apa pun…
“Di rumahmu aja lah, Yan. Aman. Nggak ada suara bentakan mendadak,” katanya sambil gelendotan kayak anak kucing nyolong masuk rumah orang.
Kalau Yanti tanya,
“Kenapa sih takut banget pulang?”
Ida jawabnya sambil manyun setengah takut setengah lucu:
“Yan… kalau bapakku tiba-tiba keluar kamar, nyawaku bisa hilang tiga lapis.”
Dan entah kenapa, kalimat itu terdengar serius dan komedi di saat bersamaan.
PENASEHAT SPIRITUALNYA TISA
Nah ini bagian yang bikin aku ngakak sampai sekarang.
Entah bagaimana ceritanya, Ida diangkat secara sepihak jadi penasehat spiritual Tisa.
Tisa yang waktu itu masih “spek anak SD tapi paket tubuh SMA”—langsung jadi muridnya Ida.
Kira-kira begini dialognya:
“Ti-saaaa… kau itu harus jadi wanita dewasa! Jangan polos-polos tok!”
“Tapi aku bingung, Da…”
“Bingung apanya?! Makanya banyak tanya! Banyak belajar! Jangan cuma nonton sinetron!”
Dan Ida tuh jago banget ngiming-ngiming Tisa.
“Tis… kalau kamu lebih dewasa, cowok-cowok itu bakal banyak yang naksir lho.”
Tisa langsung duduk manis sambil nyimak kayak sedang ikut kuliah peradaban.
Miraculously?
Tisa berubah.
Dari polos jadi lebih berani.
Dari pendiam jadi agak nyolot manis.
Dari malu-malu jadi punya gaya.
Berkah coaching ala Madura.
STRATEGI PACARAN YANG LEGENDARIS
Ini paling ngakak.
Kalau pacarnya datang?
Disuruh ke rumah Yanti.
Iya, tempat penitipan pacar.
Rumah Yanti itu serbaguna:
Tempat nongkrong.
Tempat ngumpet.
Tempat curhat.
Tempat pacaran… untuk orang lain.
“Ida, kenapa pacarmu nggak ke rumahmu aja?” tanya kami dulu.
“Aku takut! Kalau bapak lihat aku bawa cowok… tamat aku. Jadi ke rumah Yanti aja. Aman. Ada snack.”
Yanti cuma bisa tepok jidat.
“Aku ini rumah atau daycare pacar, Da?”
TAKDIR MADURA YANG BERTAUT
Yang bikin aku melongo:
Ternyata ayah Ida—Alm. Oom Padmo—itu teman lama ayahku.
Dua-duanya Madura.
Dua-duanya cerewet.
Dua-duanya rame.
Dua-duanya punya soft heart yang luar biasa.
Pantes Ida begitu.
Pantes logatnya sekeras speaker mushola saat Subuh.
Pantes energinya nggak pernah habis.
Tapi yang paling aku ingat dari Ida adalah…
hatinya besar.
Nggak pernah pelit sama waktu.
Selalu siap kalau ada teman yang susah.
Setia kawan, meski sambil ngomel panjang macam khutbah Jumat versi Madura.
PERTEMUAN DI KOTA MALANG
Tahun-tahun lewat. Kita menua pelan-pelan, masing-masing dengan cerita hidup yang naik turun macam roller coaster TikTok.
Dan di Malang…
Tuhan mempertemukan kami lagi.
Bukan sebagai remaja 17 tahun yang ribut soal band favorit.
Tapi sebagai orang dewasa yang sudah ditempa kehidupan.
Ida sekarang berhijab.
Jalan anggunnya beda.
Tawanya tetap sama—hangat dan meriah.
Tapi ada kedewasaan yang memancar dari wajahnya.
Yang bikin aku terdiam lama adalah saat aku sadar:
Anaknya Ida berteman dekat dengan anakku.
Aku sampai senyum sendiri.
Bayangin aja:
Dulu ortu kita berteman.
Kita berteman.
Sekarang anak-anak kita pun ikut berteman.
Kayak tiga generasi disambung dengan benang halus yang nggak kelihatan tapi terasa banget.
Tuhan itu memang Maestro.
Merangkai hubungan lewat garis diam-diam yang baru kita sadari setelah waktu berjalan jauh.
Dan aku bisa membayangkan suatu hari nanti, kalau kami duduk ngopi bareng di Malang, Ida bakal bilang sambil ketawa:
“Cak Nucky… hidup ini gilaaaa! Tapi lucu-lucu itu yang bikin kuat, tauuu?”
Dan aku bakal jawab,
“Iya, Da. Kita ini komedi berjalan yang diselipin doa.”
Karena pada akhirnya…
Persahabatan itu bukan soal seberapa sering ketemu.
Tapi seberapa dalam hubungan itu tetap tinggal di hati… meski hidup berputar jauh.
Dan Ida—dengan segala suara cetar Maduranya, semua tingkah lucu, semua kenangan SMA yang campur antara akal sehat dan kebodohan—adalah bagian dari itu.
Bagian yang tak tergantikan.