TISA NINGRUM & KEGILAAN JAMAN SMA: SEBUAH CERITA ABSURD YANG MASIH BIKIN KETAWA SAMPAI SEKARANG
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Jadi begini,
aku punya cerita yang kalau dipikir sekarang tuh… absurdnya sampai level “kok
bisa ya kita dulu kayak begitu?”. Cerita tentang seorang anak kecil yang dulu
masih SD, tapi sekarang? Udah punya anak, mungkin sebentar lagi punya cucu
juga. Namanya: Tisa Ningrum.
Waktu kejadian
ini, kita—genk F2 alias Genk Tuban—lagi menuju masa-masa akhir SMA. Masa
peralihan: antara pengen lulus cepat atau pengen kenakalan ditambah stoknya
dulu sebelum jadi orang dewasa beneran. Dan anggota genk ini you know lah: aku,
Bram, Tedy, Budi, Prase. Semua berasal dari Tuban, kawasan dekat Bandara Ngurah
Rai. Dulu kalau ditanya “tinggal di mana?”, jawabannya bisa dua: Tuban Timur
atau Tuban yang kalau malam banyak tuyul lewat.
Nah, di masa
itu Bram pindah rumah ke Taman Griya, Jimbaran. Dan Taman Griya tahun
itu—duhhh, kayak hutan belantara yang kebetulan diberi 10 rumah berjejer. Sepi.
Sunyi. Kalau malam anginnya bunyinya tuh, “wuooosss… wuooosss…” kayak
soundtrack sinetron horor.
Tapi dasarnya kita genk F2 adalah makhluk sosial yang gampang senang, jadi
ketemu orang baru tuh rasanya kayak habis kelaparan dikasih es krim gratis.
Apalagi
orang barunya cakep-cakep.
Oh Bram… kamu memang sahabat terbaik.
Ada Yanti, anak
SMA Swastiastu, yang selalu datang bersama sahabatnya Ida—si cewek keturunan
Madura yang wajahnya manis, gayanya santai, dan ternyata shock… Ayahnya
temenan sama ayahku. Dunia sempit, bro.
Nah, sampai di
sini semuanya masih normal ya. Sampai kemudian perhatian kami tercuri sama
keluarga baru: keluarga Oom Dana.
Bayangin:
Oom Dana gagah, tinggi, rambut klimis. Istrinya? Aduh… gaya Jakarta stylish,
wangi, rambutnya rapi, tatapannya lembut—intinya ibu muda ibukota vibes
banget. Kalau lewat tuh rasanya pengen berdiri tegak dan bilang “siap, bu!”
Mereka punya
anak yang masih kecil-kecil. Yang paling gede cuma kelas 6 SD. Adik-adiknya
masih balita, masih ngedot, masih ngomong “maem.. maem..”. Jadi kita genk F2
ngelihat keluarga ini kayak lihat trailer film—imut, lucu, tapi jelas bukan
genre kita lah.
Tapi kemudian
ada satu anak yang bikin suasana hidup:
Tisa Ningrum.
Anak SD ingusan, polos, dan suka nyeletuk,
“Kak… upilku
kok asin, ya?”
Kita semua cuma
bisa saling pandang sambil tahan ketawa. Kadang hidup memang sederhana: cukup
satu anak SD ngomong upil asin, dan seluruh cowok SMA kalah wibawa.
Yanti dan Ida
ini sering main ke rumah tante Dana, jadi otomatis kami juga ikut sering
nongkrong di sana. Dan tante Dana tuh ramahnya kebangetan. Rumahnya selalu ada
kue, camilan, roti, entah apa lagi.
Pokoknya kalau kita datang, meja makan langsung bertransformasi jadi prasmanan
mini. Cocok banget buat kita yang kalau lihat makanan langsung gelap mata.
Masalahnya:
Rumah Bram waktu itu nggak ada listrik dan nggak ada PDAM.
Jadi kalau siang kita bertahan dengan kekuatan mata dewata, kalau malam
bertahan dengan lampu petromak yang bunyinya berisik kayak orang ngorok.
Makanya rumah Oom Dana tuh surga. Surga AC. Surga camilan. Surga cahaya.
Sampai suatu
hari, Yanti ngomong:
“Eh, nanti
malam ikut yuk ke disco! Tante Dana ikut!”
Disco, bro.
Disco.
Bersama tante Dana.
Dan… Tisa.
Iya. Tisa yang
kelas 6 SD itu.
Dipakein baju gaya anak SMA, rambut dikuncir keren, jalannya pede banget.
Sampai satpam disco nggak sadar itu anak kecil. Dengan penuh wibawa dia
membiarkan Tisa lewat.
Kita semua pas
lihat itu cuma bisa mikir, “Astaga… dunia ini udah mau kiamat.”
Tapi yang
paling gila adalah… kejutan datang bukan dari disco.
Tragedi
Cinta Tak Terduga: Tedy Vs Anak Sd
Entah kenapa,
suatu sore salah satu dari kita—Tedy—kedapatan ngapelin si Tisa.
Iya.
Anak SD itu.
Anak yang baru seminggu lalu ngomong “upilku kok asin”.
Kita semua
freeze.
Wajah Tedy waktu ketangkap tuh kayak kucing habis maling ikan.
Bram langsung
teriak:
“Tedy… kamu
Tedy… kamu offside jauh banget, Ted!”
Aku cuma bisa
tutup muka sambil ketawa,
“Ted… itu anak
kecil loh. KECIL. Kamu tuh ngapelin apa ngemong sih?”
Tapi yang bikin
kita makin hancur harga diri:
Tisa-nya luluh dong…
Dia buka pintu, senyum malu-malu, terus bilang,
“Kak Tedy
ajarin aku matematika ya…”
Matematika?
Modusnya halus banget.
Lebih licin dari sabun mandi hotel.
Kita langsung
adakan sidang darurat.
Tedy duduk di
tengah, kita melingkar kayak mau ngadain ritual.
Prase sampai bawa sapu sebagai tongkat hakim.
Budi pura-pura jadi jaksa.
Dan aku yang bacain dakwaan sambil tertawa sampai nangis:
“Terdakwa Tedy
telah melakukan tindakan absurd tingkat tinggi: ngapel anak SD yang baru kelas
6. Dengan alasan mengajar matematika, padahal wajahmu jelas-jelas modus tingkat
akut.”
Tedy cuma bisa
nyengir,
“Tapi dia yang
ngajak ngobrol dulu…”
Semua langsung:
“TEDYYYYY!!”
Dan selesai
sidang, kita semua pecah ketawa.
Absurd.
Konyol.
Tapi entah kenapa… hangat banget.
Karena itu
masa-masa ketika hidup belum berat.
Cinta masih polos.
Persahabatan masih jujur.
Dan setiap hari ada cerita yang bisa diingat puluhan tahun kemudian.
Termasuk…
kisah si kecil Tisa Ningrum yang dulu masih ingusan… tapi sekarang?
Heh, jangan-jangan baca cerita ini sambil gendong cucu.