KEJU YANG HILANG DAN HATI YANG PULANG
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
(sebuah inspirasi dari fabel legendaris “Who Moved My Cheese?”)
Sebagian dari
kita tentu sudah pernah membaca atau minimal mendengar tentang kisah Who Moved
My Cheese?
Sebuah cerita sederhana, tapi kalau kamu renungkan, ia seperti cermin kecil
yang diam-diam memantulkan wajah kita saat menghadapi perubahan. Ada yang
panik, ada yang marah, ada yang memaksakan dunia tetap sama—dan ada juga yang
akhirnya belajar melepaskan lalu melangkah.
Lalu… bagaimana
kalau kisah itu kita tarik ke dalam kehidupan kita sendiri?
Begini ceritanya.
Kampung yang
Damainya Sering Mengalahkan Sunyi Hati
Di sebuah
kampung kecil—yang kalau malam anginnya bisa bikin galau tanpa alasan—hidup
empat sahabat aneh. Lebih aneh lagi, bentuk mereka bukan manusia, tapi
tingkahnya… mirip banget sama manusia.
Ada Kici, tikus
kecil yang instingnya jago banget.
Ada Lari, tikus satunya lagi yang larinya selalu lebih cepat dari logikanya.
Ada Hema, manusia mungil yang hobinya ngeluh.
Dan ada Hawa, manusia mungil lain yang lembut, penuh renungan, tapi tetap
tegar.
Mereka tinggal
di sebuah lumbung tua yang terkenal dengan kejunya. Keju itu bukan sekadar
makanan.
Keju itu rasa aman. Keju itu pengharapan. Keju itu arah hidup.
Kalau kamu
tanya “Keju itu apa?”
Jawabannya beda-beda:
- Kici: “Keju itu GPS hidupku.”
- Lari: “Keju itu makanan. Udah.”
- Hema: “Keju itu masa depan. Titik.”
- Hawa: “Keju itu amanah. Kalau hilang? Mungkin
Allah lagi ngajari sesuatu.”
Hidup mereka
berjalan baik… sampai pagi itu datang.
Hari Ketika
Keju Itu Hilang
Pagi itu
matahari telat muncul. Kayak lagi mager.
Angin pun lewat pelan-pelan, kayak lagi baper.
Ketika Hema
membuka pintu lumbung, teriakannya bikin burung-burung beterbangan:
“KEJUNYA
HILAAANG!!”
Kici langsung
menunduk, mengendus-endus lantai.
Lari muter-muter kayak spinner rusak.
Hawa memegang dadanya, menarik napas dalam.
Hema? Ya seperti biasa: ngamuk sambil bawa-bawa perasaan.
“Siapa mindahin
keju favoritku?! Nggak ada kerjaan apa?!”
Hawa menepuk
bahunya, lembut tapi tegas.
“Hem… mungkin memang sudah waktunya kita nyari lagi.”
Hema mendelik.
“Nyari apa?! Nyari masalah?! Keju itu harusnya ADA di sini! Titik!”
Ya. Disitulah
masalahnya.
Ketika hati menolak menerima bahwa dunia memang bergerak.
Padahal Allah
sudah bilang:
“Sesungguhnya
Kami akan menguji kamu dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta…”
(QS. Al-Baqarah 155)
Tapi menerima
ujian itu… ya nggak semudah membacanya.
Langkah
Pertama, Meski Lutut Gemetar
Kici dan Lari
jalan duluan.
Mereka nggak punya kebiasaan rumit.
Keju hilang = dicari.
Simple.
Hawa menyiapkan
ranselnya. Ada takut, iya.
Tapi kalau ia diam, justru dirinya sendiri yang hilang.
Hema?
Ia memilih
duduk memeluk lutut, marah pada dunia yang bahkan tidak tahu ia sedang marah.
“Aku tunggu
keju baru dateng sendiri. Seseorang pasti balikin!”
Hawa tersenyum,
getir tapi penuh kasih.
“Hem…
Rasulullah mengajarkan: ikatlah onta, lalu bertawakal.
Artinya, kita bergerak dulu, baru berharap.”
Tapi Hema
menolak.
Ia lebih memilih menunggu daripada melangkah.
Dan begitulah
banyak manusia hidup:
lebih rela kelaparan daripada menghadapi perubahan.
Catatan di
Dinding Labirin
Labirin itu
gelap, dingin, dan penuh ketidakpastian.
Di tikungan
pertama, Hawa menulis:
“Takut itu
wajar. Diam itu pilihan.”
Di belokan
kedua:
“Allah tidak
memindahkan kejumu. Allah memindahkan dirimu.”
Ia tersenyum
kecil, “Kok aku jadi bijak begini ya…”
Semakin jauh ia
berjalan, rasa takutnya justru menyusut.
Diganti oleh rasa ingin tahu dan sabar yang tumbuh pelan-pelan.
Ia mengulang
ayat yang ia ingat:
“Jika kamu
bertakwa, Allah akan memberi jalan keluar.”
(QS. Ath-Thalaq: 2)
Dan ayat itu
menjadi cahaya kecil dalam labirin gelap itu.
Pertemuan di
Ruang Pengap
Di satu sudut
gelap, Hawa menemukan Kici dan Lari sedang makan keju kecil.
“Haw! Nih,
sedikit buat kamu!”
Ia tertawa.
“Kalian masih sama ya… selalu duluan.”
“Tentu! Kita
kan tikus!” jawab Lari sambil kunyahannya belepotan.
Keju kecil itu
tidak cukup.
Tapi ia memberi harapan.
Dan itu cukup untuk membuat mereka melangkah lebih jauh.
Kejutan
Manis di Ujung Labirin
Setelah
perjalanan panjang—yang lebih banyak sepinya daripada motivasinya—Hawa melihat
cahaya.
Dan di ujung
lorong itu ia menemukannya:
Keju baru.
Banyak. Segar. Wangi. Berlimpah-limpah.
Kici dan Lari
sudah menari kegirangan.
Hawa berdiri lama, hanya menatap sambil menahan air mata.
“Jadi begini
rasanya… ketika kita berani melepas masa lalu.”
Setiap gigitan
keju itu terasa seperti bisikan lembut:
“Sudah
kubilang, sabarlah.”
Sementara
Itu, Hema…
Di lumbung tua,
Hema masih duduk.
Masih menunggu keju kembali sendiri.
Masih marah pada dunia.
Masih menolak berubah.
Dan begitulah
hidup:
Ada yang tumbuh karena melangkah.
Ada yang tenggelam karena menolak melepaskan.
Pesan
Terakhir di Dinding : Sebelum benar-benar menikmati keju barunya, Hawa
menulis pesan terakhir: “Keju tidak pergi. Allah hanya memindahkan
rezeki. Yang harus bergerak… adalah hati kita.”