MENJAGA ASA, MELANJUTKAN CITA 113 TAHUN MUHAMMADIYAH
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
(Catatan Seorang Penggembira yang Belajar Banyak Dari Cahaya Muhammadiyah)
Ada kalanya hidup mempertemukan kita dengan sesuatu yang pelan-pelan membentuk cara kita melangkah, tanpa banyak suara, tanpa perlu sorotan. Buatku, itu terjadi di Kota Malang—kota dingin yang entah kenapa selalu punya cara lembut untuk menghangatkan hati. Di sanalah aku pertama kali benar-benar “berkenalan” dengan Muhammadiyah. Bukan sebagai aktivis garis depan, bukan pula sebagai orator di panggung besar, tapi sebagai penggembira—seorang yang berdiri di pinggir lapangan, mengangguk-angguk, lalu pelan-pelan ikut terdorong oleh semangat yang mengalir begitu tulus.
Dan percaya
atau tidak, dari posisi penggembira itu justru aku belajar banyak hal yang
diam-diam membentuk cara berpikir dan caraku memandang dunia. Ajaran Dewan
Tarjih Muhammadiyah yang sering kudengar dari obrolan warung kopi, ceramah
ba’da Isya, atau sekadar diskusi santai teman kos, tanpa sadar numpang lewat ke
kepalaku lalu tinggal di sana. Muhammadiyah menuntunku pada cara berpikir yang
progresif, modern, tapi tetap membumi—kayak seseorang yang kalau ngomong hal
berat pun nadanya tetap lembut dan tidak sok pintar.
MUHAMMADIYAH:
113 TAHUN BERJALAN, TAPI LANGKAHNYA SELALU MERENDAH
November 2025
bukan sekadar penanda di kalender. Ia seperti alarm lembut yang mengingatkan
kita bahwa ada sebuah perjalanan panjang yang sedang kita rayakan. Bayangkan
saja, sejak berdiri pada 18 November 1912—di sebuah kampung kecil bernama
Kauman, Yogyakarta—gerakan yang diprakarsai KH Ahmad Dahlan ini kini telah
berusia 113 tahun.
Tidak semua
organisasi bisa bertahan selama itu tanpa gaduh, tanpa drama yang membludak di
mana-mana. Tapi Muhammadiyah? Ia memilih jalan yang sunyi tapi pasti. Tidak
sibuk menguasai panggung politik, tapi sibuk membangun manusia. Tidak ribut
soal kekuasaan, tapi rajin menyalakan lampu-lampu kecil di sudut bangsa—melalui
sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan ribuan Amal Usaha Muhammadiyah yang
jumlahnya bikin kita melongo sekaligus kagum.
Dan semua itu
berawal dari satu ayat pendek yang sering kita baca sejak kecil: Surat
Al-Ma’un.
KH Ahmad Dahlan
memutar-mutar ayat itu, bukan untuk dihafal, tapi untuk ditanyai:
“Nah… kira-kira kamu sudah melakukan bagian ‘menolong anak yatim’ belum?”
Sebuah ayat yang akhirnya melahirkan gerakan besar yang sampai hari ini
tidak pernah berhenti bekerja.
Kadang aku suka
mikir, kalau Al-Ma’un bisa bicara, mungkin ayat itu bakal bilang:
“Udah, kalian nggak usah hafalin aku bolak-balik… kerjain aja.”
Dan Muhammadiyah mengambil pesan itu dengan sangat serius.
Di Antara
Para Pejuang Yang Namanya Tak Tercatat
Ada banyak nama
besar dalam sejarah Muhammadiyah. Tapi setiap kali Milad tiba, pikiranku selalu
tertuju pada mereka yang namanya tidak pernah masuk berita.
Guru honorer
di sekolah Muhammadiyah yang jauh di desa, yang gajinya kadang harus nunggu
rapat PCM dulu.
Dokter jaga di klinik persyarikatan yang pengunjungnya cuma belasan tapi
semangatnya tetap setinggi gunung.
Relawan Lazismu yang tiap sore keliling kampung untuk memastikan bantuan tepat
sasaran.
Mereka ini,
yang mungkin tidak pernah selfie di forum nasional, adalah alasan mengapa
Persyarikatan tetap kokoh berdiri. Yang bekerja dalam senyap, tapi menggerakkan
sesuatu yang sangat besar.
Ketika melihat
mereka, aku seperti diajari satu hal sederhana tapi penting:
Bahwa pengabdian itu tidak selalu butuh tepuk tangan.
Dan anehnya…
melihat mereka bekerja, aku merasa ikut tercerahkan, meski tetap berada di
pinggir lapangan.
Pemikiran
Yang Menjaga Langkah
Aku sering
kagum pada cara Muhammadiyah memadukan agama dan rasionalitas tanpa harus
membuat keduanya bertengkar. Dalam berbagai kesempatan, Prof. Haedar Nashir
selalu mengingatkan agar Muhammadiyah jangan terjebak pada masalah remeh-temeh.
Katanya, ada hal besar yang harus diperjuangkan—yang manfaatnya luas, bukan
hanya untuk satu kelompok.
Pandangan
keagamaan Muhammadiyah itu seperti peta jalan yang rapi:
- Islam sebagai rahmat—bukan hanya untuk umat Islam,
tapi untuk seluruh manusia.
- Dakwah sebagai ajakan lembut untuk berbuat baik dan
mencegah keburukan.
- Tajdid—pembaharuan yang bukan sekadar memurnikan,
tapi juga memajukan.
- Masyarakat tengahan (ummatan wasathan)—yang adil,
moderat, berkemajuan, dan berakhlak mulia.
Dan jujur,
empat poin itu sering jadi pengingat buatku ketika hidup mulai riweh oleh
hal-hal kecil yang sebenarnya nggak penting.
Muhammadiyah
Dan Asa Yang Terus Dijaga
Ada kalanya aku
merasa kecil sebagai seorang penggembira. Tapi setiap kali melihat perjalanan
Muhammadiyah, aku merasa ikut punya bagian—meski hanya sebutir pasir. Mungkin
itu sebabnya Milad ini terasa seperti momen pribadi juga.
Ketika menengok
ke belakang—dari Kauman hingga seluruh penjuru negeri—aku seperti melihat
perjalanan panjang yang penuh cinta dan kerja keras. Dari semangat Al-Ma’un
yang sederhana, sampai mimpi besar membangun masyarakat berkemajuan.
Dan ketika
menatap ke depan, aku merasa tenang. Karena Muhammadiyah selalu punya cara
untuk membaca zaman lalu menjawabnya dengan solusi nyata.
Aku hanya punya
satu doa:
Semoga Allah
selalu menjaga Muhammadiyah.
Menjaganya tetap teduh.
Tetap bekerja.
Tetap menjadi cahaya di tengah gelapnya zaman.
Tetap menjadi rumah bagi siapa saja yang ingin belajar tentang keikhlasan dan
kemanusiaan.
SELAMAT
MILAD KE-113, MUHAMMADIYAH.
Teruslah berjalan. Teruslah menyalakan harapan.
Karena banyak dari kami—para penggembira di pinggir lapangan—yang belajar dari
cahaya itu untuk menjaga asa dan melanjutkan cita.
Terima kasih
sudah menjadi bagian dari perjalanan kami… meski kadang kami cuma ikut
senyum-senyum di belakang.