Langsung ke konten utama

2 - KOMPLEKS BANDARA : DUNIA KECIL YANG PENUH WARNA

 






Hidup di kompleks perumahan karyawan Bandar Udara Tuban—yang berdiri tak jauh dari deru mesin Boeing dan aroma aspal panas landasan—adalah hidup di dunia kecil yang unik. Dunia yang tidak tertulis di peta mana pun, tapi terpatri di kenangan anak-anak yang tumbuh di sana, termasuk Nucky.

Kompleks itu seperti kampung mandiri: rapi, aman, penuh kegiatan, dan… penuh kejutan. Kadang rasanya seperti versi mini Disneyland yang dibuat oleh orang-orang yang lebih peduli pada kebersamaan daripada hiburan mewah.

 

Bioskop Langit Terbuka

Di masa ketika bioskop masih barang langka dan TV cuma punya dua channel (itu pun sinyalnya sok drama), pihak bandara dengan gagah berani memutar film layar lebar di area kompleks. Bayangkan: tikar digelar, anak-anak berbaris, orang tua duduk sambil ngobrol, dan layar putih raksasa dipasang antara dua pohon besar.

Superman melesat di langit,
E.T. melambai dengan jari bercahaya,
The NeverEnding Story membuat semua anak mendadak mendongak penuh takjub.

Suara proyektornya berisik, gambarnya kadang burem, tapi justru itu pesonanya.

Anak-anak kompleks selalu merasa seakan mereka punya bioskop pribadi. Mewah bukan soal fasilitas, tapi soal rasa kebersamaan.

 

Tari dan Panggung Besar

Selain sinema dadakan, kompleks bandara punya cara lain menjaga budaya tetap hidup: anak-anak wajib belajar menari. Bukan sekadar “latihan sore”, tapi latihan serius, lengkap dengan gerak, tata busana, bahkan ekspresi.

Tari Baris, Tari Pendet, Gambyong—semua kami pelajari.

Dan ketika ulang tahun perusahaan tiba, panggung besar berdiri megah. Lampu-lampu menyala. Kursi tamu berbaris rapi. Para pejabat duduk di deretan depan. Anak-anak yang masih bau minyak kayu putih tampil seolah-olah mereka bintang pentas nasional.

Nucky pernah menari Tari Baris. Badannya kecil, kostumnya agak kebesaran, tapi semangatnya? Menggelegar. Saat musik dimulai dan langkah-langkah gagah itu dimainkan, ada rasa heroik yang mengalir. Seperti jadi prajurit kecil yang disoraki seluruh desa.

Kadang kita tidak sadar: panggung kecil itulah yang membentuk keberanian.

 

Keluarga Lapangan: Olahraga yang Tak Pernah Sepi

Kalau bicara fasilitas olahraga, kompleks bandara seharusnya masuk nominasi “Kompleks Terlengkap se-Pulau Bali”. Ada semuanya:

  • lapangan tenis
  • lapangan basket
  • lapangan voli
  • tenis meja
  • sepak bola

Semua lengkap dengan pelatih sungguhan. Tidak heran kalau anak-anak kompleks sering bersinar sampai tingkat kabupaten bahkan nasional.

Termasuk adik Nucky, alm. Dimas Arya Radityo. Anak mungil yang kemudian menjadi petenis muda ranking 2 nasional kategori junior. Prestasi membanggakan yang lahir dari tempat sederhana, latihan sore yang penuh keringat, dan lingkungan yang selalu menyemangati.

Kompleks bandara membuat olahraga bukan sekadar kegiatan, tapi identitas.

 

Tetangga yang Jadi Keluarga

Rumah-rumah di kompleks saling berdekatan, tapi bukan itu yang membuat mereka dekat—melainkan hati penghuninya.

Di depan rumah tinggal Pakde dan Bude Woto. Orang-orang berhati besar yang siap membantu kapan pun. Dari urusan kecil hingga darurat, mereka adalah “orang tua kedua” anak-anak kompleks.

Di sebelah kanan, ada Oom Maniso, kepala keamanan bandara. Galaknya… legendaris. Kalau dia melintas dengan langkah tegap dan tatapan tajam, anak-anak yang tadinya ribut bisa langsung diam seperti tombol mute ditekan.

Tapi jangan salah, anak-anak Oom Maniso—Wuri dan Yudhi—adalah dua sahabat bermain yang seru. Wuri, meski perempuan, punya kemampuan manjat pohon yang bikin anak cowok minder. Kadang dia turun dengan gaya staylish, seolah memang lahir untuk berada di ketinggian.

Kompleks itu mengajarkan satu hal penting: keluarga bukan melulu soal darah, tapi soal siapa yang selalu ada.

 

Kelahiran Dimas Arya Radityo

Di tengah semua warna hidup itu, datanglah momen paling menggetarkan hati keluarga: kelahiran adik kecil yang penuh cahaya.

Hari Minggu, 11 Mei 1980, di klinik bandara, lahirlah Dimas Arya Radityo. Nama “Radityo” diberikan sebagai penghormatan terhadap hari kelahirannya—“Redite” dalam bahasa Bali berarti Minggu.

Setelah delapan tahun menjadi anak tunggal, Nucky akhirnya punya adik. Campur aduk rasanya: bangga, senang, sekaligus tiba-tiba merasa bertanggung jawab terhadap dunia.

Walau ya… sesekali tetap rebutan mainan.

Sesuatu yang normal sekaligus lucu bagi kakak-adik mana pun.

 

Hari Raya dan Pesta Rasa

Kalau mau tahu apa arti toleransi, datanglah ke kompleks bandara di hari raya.

Idul Fitri.
Natal.
Galungan.
Nyepi.
Waisak.

Semua dirayakan dengan kehangatan yang sama. Tidak ada perbedaan. Tidak ada jarak.

Suara salam lintasagama terdengar di setiap rumah. Anak-anak berlarian membawa ucapan. Orang-orang saling mengantarkan makanan. Meja-meja dipenuhi:

  • opor
  • rendang
  • jaja Bali
  • lapis legit
  • kue keranjang
  • lawar

Anak-anak makan tanpa paham teologi, tapi mereka paham satu hal: kita satu keluarga.

Dan Nucky tumbuh di tengah momen seperti ini. Di sanalah ia belajar bahwa perbedaan bukan alasan untuk menjauh—justru alasan untuk saling mendekat.

 

Tabungan Kantor Pos dan Ulang Tahun Ke-10

Mama punya satu kebiasaan yang selalu melekat: mendidik Nucky menabung. Dan tempat menabung paling hits di era itu tentu saja… Kantor Pos.

Setiap uang saku lebih, uang Lebaran, atau koin hasil bantu-bantu rumah, masuk ke buku tabungan. Mama selalu bilang:

“Tabungan itu untuk masa depanmu sendiri, Nak.”

Dan benar saja, tabungan kecil itu akhirnya berbuah sesuatu besar:
pesta ulang tahun ke-10 Nucky.

Tidak mewah, tapi luar biasa meriah. Tikar digelar, rumah penuh anak-anak kompleks. Mama menyusun makanan: mie goreng spesial, roti isi, es sirup, dan kue ulang tahun sederhana.

Ada games, lomba makan kerupuk, teriakan riang, dan tawa yang menular.

Yang hadir tidak hanya teman—tapi seluruh keluarga besar kompleks bandara.

Untuk pertama kalinya, Nucky tahu bahwa ulang tahun bukan sekadar bertambah usia… tapi merayakan cinta.

 

Pak Ahmad Shoim: Guru Agama yang Membimbing dengan Cinta

Di balik riuh rendah kehidupan kompleks, ada sisi tenang yang membentuk spiritualitas Nucky kecil: belajar agama bersama Pak Ahmad Shoim.

Sosok santun, penuh kesabaran, dan selalu tersenyum lembut. Ia mengajarkan huruf hijaiyah, shalat, akhlak, dan nilai hidup, tapi yang paling penting:

Ia mengajarkan agama dengan kasih, bukan ketakutan.

Tidak ada ancaman, tidak ada bentakan. Yang ada hanya keteladanan.

Dari beliau, Nucky belajar bahwa:

  • ibadah itu pelukan
  • akhlak itu cermin jiwa
  • Tuhan itu dekat, bukan menakutkan

Dan ketika dewasa, nilai-nilai itu ia lanjutkan pada anaknya sendiri. Sebab warisan paling indah dari seorang guru adalah cara muridnya menyayangi generasi berikutnya.

 

Makna Cinta dari Masa Kecil

Semua kisah di kompleks bandara—film layar terbuka, tari-tarian, olahraga, tetangga yang jadi keluarga, hari raya lintasagama, pesta ulang tahun, hingga bimbingan lembut Pak Shoim—akhirnya menjadi satu mozaik besar yang mengajarkan tentang cinta.

Cinta masa kecil bukan tentang gebetan atau degup jantung.
Cinta masa kecil adalah:

  • berbagi jajanan tanpa diminta
  • menunggu teman yang terlambat main
  • menghormati doa yang berbeda
  • membantu tetangga tanpa pamrih
  • menghibur teman yang kalah lomba
  • merasa satu keluarga meski berbeda suku, agama, atau asal

Cinta masa kecil adalah cinta paling murni—karena belum tercemar kebutuhan, gengsi, atau kepentingan.

Dan dari kompleks bandara, Nucky belajar sesuatu yang kelak jadi kompas hidupnya:

Cinta sejati bukan soal siapa yang kamu genggam, tapi siapa yang kamu doakan dalam diam.


Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...