Langsung ke konten utama

4 - JAKARTA DAN PETUALANGAN PERTAMA KAMI

 




Hari itu, halaman sekolah kami seperti terminal keberangkatan mini—tas-tas ransel penuh bedak bayi, minyak kayu putih, dan roti sobek tergantung di punggung anak-anak SMP yang sok dewasa. Guru-guru sibuk menghitung kepala, sementara kami sibuk memastikan siapa duduk di sebelah siapa di kereta nanti. Klasik. Kalau salah duduk, mood satu minggu bisa hancur berantakan. “Ky, lu bawa kartu?” bisik Gede, teman sebangku sekaligus rival berat dalam urusan makan paling cepat. “Bawa. Tapi jangan pakai taruhan ya… kemarin lu masih utang permen tiga biji.” Gede cengar-cengir, “Tenang dong… di Jakarta nanti kita kaya mendadak. Kan ibu kota.” Itu… modal kami berangkat: keyakinan anak SMP bahwa Jakarta adalah versi live-action dari dunia impian—penuh lampu, peluang, dan ayam goreng bercita rasa internasional.

 

Kereta: Gerbong Yang Menyalakan Api Persahabatan

Perjalanan naik kereta? Aduh, itu mah boyband konser keliling. Kami nyanyi tanpa nada, main kartu sambil curi-curi pandang takut ditangkap guru, dan pastinya… saling tukar cerita horor yang ujungnya bikin kami takut ke toilet.

Di tengah ramai itu, aku sempat bengong lihat jendela. Ada rasa aneh—campuran deg-degan dan penasaran, kaya mau ketemu gebetan tapi nggak tahu apakah dia bakal senyum balik atau cuma angkat alis. Tapi satu hal pasti… aku tahu perasaan ini bakal menempel seumur hidup.

“Ky, jangan bengong. Lu kelihatan kayak tokoh sinetron yang abis ditinggal tunangan,” ejek Nengah.

“Kebanyakan minum Nutrisari lu,” balasku.

Dan begitulah… perjalanan kami dimulai. Dengan tawa. Dengan ketakutan kecil. Dengan harapan yang belum bisa dinamai.

Mess Ragunan: Tempat Tidur Para Legenda

Setibanya di Jakarta, kami serasa mendarat di dunia lain. Udara panas menyergap, suara mobil seperti orkestra kacau tapi megah, dan gedung-gedung… astaga, tinggi-tinggi banget.

Mess Atlet Ragunan jadi rumah kami selama seminggu. Begitu masuk kamar, Gede langsung teriak, “Woi! Ini pasti kamarnya bekas atlet lari! Wangi keringat berprestasi!”

Kami ngakak. Tapi jujur… kami bangga. Tidur di tempat para juara? Anak SMP mana yang nggak mimpi jadi keren?

Malam pertama, kami saling cerita sambil mempreteli roti dan camilan. Lampu kamar diredupkan, tapi mata kami masih menyala. Semua terasa baru, seru, dan… sedikit menggetarkan.

Keong Emas: Bioskop Raksasa Yang Bikin Kami Menganga

Hari kedua, kami ke Keong Emas. Masuk gedungnya aja udah berasa kayak mau diseret ke masa depan. Begitu film mulai… wah… kami semua refleks buka mulut.

“Ky, ini film apa layar jalan sendiri?” bisik Gede.

Aku cuma geleng-geleng. Rasanya kaya nonton dunia digital padahal zaman itu HP aja masih sebesar radio komandan.

Kami keluar dari teater itu dengan tatapan orang yang baru sadar bahwa bumi ini luas—dan Jakarta punya caranya sendiri bilang, “Hey, dunia nggak sesempit komplekmu.”

Monas: Di Atas Sana, Mimpi-Mimpi Mulai Bisik-Bisik

Naik ke puncak Monas. Ini momen keramat.

Angin kencang. Pemandangan kota membentang sampai ujung mata. Lampu-lampu kecil bergerak seperti bintang jatuh versi modern.

Aku—anak kecil dari komplek Bandara Ngurah Rai—tiba-tiba merasa seperti semut yang sedang berdiri di bahu raksasa.

“Ky, coba lu bayangin… kalo kita tinggal di sini, kita bakal kayak apa ya?” tanya Nengah.

Aku tarik napas panjang.
“Gue nggak tahu. Tapi gue pengin jadi orang yang nggak tenggelam di kota sebesar ini.”

Nengah cuma ngangguk, tapi aku tahu dia ngerti.

Monas bukan cuma monumen. Dia kaya kakak kelas yang bilang, “Lu kecil, tapi lu bisa kok suatu hari berdiri di sini bukan buat wisata… tapi buat karya.”

KFC: Ini Nih… Rasa Kota Besar

Masuk KFC pertama kali? NO JOKE. Itu ritual sakral.

Kami antre sambil lihat ayam crispy lewat meja-meja seperti sedang melihat idola artis. Begitu dapat tray makanan, kami saling pandang.

“Ky, fotoin!”
“Lu mau foto wujud gue atau ayamnya?”
“Ayamnya lah. Mukaku tiap hari bisa dilihat.”

Kami foto. Lalu makan sambil khusyuk. Sampai ada teman yang saking terpesonanya, bungkus ayamnya dibawa pulang.

“Biar wangi global,” katanya.

Bodoh? Iya.
Lucu? Banget.
Berarti? Sangat.

Karena bagi anak daerah, KFC waktu itu bukan sekadar makan. Itu pengumuman ke hati: dunia itu luas, dan kamu baru saja mencicipi secuil rasanya.

Oleh-Oleh: Tanah Ragunan Dan Mimpi Yang Disimpan Di Tas

Selain gantungan kunci dan stiker “I ❤️ Jakarta”, beberapa anak bawa pulang tanah dari halaman Mess Ragunan.

Katanya, “Biar bisa ditanam mimpi besar.”

Aneh?
Eh… sekarang kalau diingat, itu justru paling puitis.

Malam-Malam Refleksi: Si Kamar Yang Banyak Cerita

Di mess, setiap malam kami seperti pasukan prajurit yang baru selesai operasi khusus. Lelah, tapi bahagia. Guru-guru mondar-mandir memastikan kami tidur, tapi begitu pintu ditutup…

“SSSTTTTT… cerita lagi!”

Kami cerita tentang Jakarta, tentang siapa yang pingsan di bis, siapa yang salah pakai sandal di museum, sampai siapa yang diam-diam kangen rumah.

Dan di tengah gelak tawa itu… ada sesuatu yang tumbuh.
Benih mimpi.
Sebuah rasa: Aku ingin jadi lebih besar.

Kereta Pulang: Tenang, Letih, Dan Sudah Sedikit Lebih Dewasa

Gerbong kereta pulang jauh lebih hening. Beberapa teman tidur di bahu temannya. Ada yang bersandar di jendela sambil senyum kecil—mengulang kembali hari-hari di ibu kota. Ada juga yang cerita pelan-pelan, takut momen itu cepat selesai.

Aku menatap rel yang memanjang. Rasanya seperti Tuhan sedang bilang, “Ini baru permulaan, Ky.”

Dan aku percaya.

Setelah Pulang: Kamar, Album Foto, Dan Mimpi Yang Terbangun

Di kamar, aku buka album Kodak kami. Foto-foto miring, blur, tapi penuh nyawa.

Aku tersenyum.
“Jakarta… terima kasih ya,” bisikku dalam hati.

Karena di sana, aku untuk pertama kalinya merasa kecil… tapi ingin tumbuh besar.

CATATAN NUCKY : Perjalanan bukan sekadar berpindah tempat, tapi berpindah cara pandang. Jakarta mengajariku satu hal: dunia ini luas, dan aku berhak bermimpi sebesar-besarnya.


Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...