Hari itu, halaman sekolah kami seperti terminal keberangkatan
mini—tas-tas ransel penuh bedak bayi, minyak kayu putih, dan roti sobek
tergantung di punggung anak-anak SMP yang sok dewasa. Guru-guru sibuk
menghitung kepala, sementara kami sibuk memastikan siapa duduk di sebelah siapa
di kereta nanti. Klasik. Kalau salah duduk, mood satu minggu bisa hancur
berantakan. “Ky, lu bawa kartu?” bisik Gede, teman sebangku sekaligus rival
berat dalam urusan makan paling cepat. “Bawa. Tapi jangan pakai taruhan ya… kemarin
lu masih utang permen tiga biji.” Gede cengar-cengir, “Tenang dong… di Jakarta
nanti kita kaya mendadak. Kan ibu kota.” Itu… modal kami berangkat: keyakinan
anak SMP bahwa Jakarta adalah versi live-action dari dunia impian—penuh lampu,
peluang, dan ayam goreng bercita rasa internasional.
Kereta: Gerbong Yang Menyalakan Api Persahabatan
Perjalanan naik kereta? Aduh, itu mah boyband konser keliling.
Kami nyanyi tanpa nada, main kartu sambil curi-curi pandang takut ditangkap
guru, dan pastinya… saling tukar cerita horor yang ujungnya bikin kami takut ke
toilet.
Di tengah ramai itu, aku sempat bengong lihat jendela. Ada rasa
aneh—campuran deg-degan dan penasaran, kaya mau ketemu gebetan tapi nggak tahu
apakah dia bakal senyum balik atau cuma angkat alis. Tapi satu hal pasti… aku
tahu perasaan ini bakal menempel seumur hidup.
“Ky, jangan bengong. Lu kelihatan kayak tokoh sinetron yang abis
ditinggal tunangan,” ejek Nengah.
“Kebanyakan minum Nutrisari lu,” balasku.
Dan begitulah… perjalanan kami dimulai. Dengan tawa. Dengan
ketakutan kecil. Dengan harapan yang belum bisa dinamai.
Mess Ragunan: Tempat Tidur Para Legenda
Setibanya di Jakarta, kami serasa mendarat di dunia lain. Udara
panas menyergap, suara mobil seperti orkestra kacau tapi megah, dan
gedung-gedung… astaga, tinggi-tinggi banget.
Mess Atlet Ragunan jadi rumah kami selama seminggu. Begitu masuk
kamar, Gede langsung teriak, “Woi! Ini pasti kamarnya bekas atlet lari! Wangi
keringat berprestasi!”
Kami ngakak. Tapi jujur… kami bangga. Tidur di tempat para juara?
Anak SMP mana yang nggak mimpi jadi keren?
Malam pertama, kami saling cerita sambil mempreteli roti dan
camilan. Lampu kamar diredupkan, tapi mata kami masih menyala. Semua terasa
baru, seru, dan… sedikit menggetarkan.
Keong Emas: Bioskop Raksasa Yang Bikin Kami Menganga
Hari kedua, kami ke Keong Emas. Masuk gedungnya aja udah berasa
kayak mau diseret ke masa depan. Begitu film mulai… wah… kami semua refleks
buka mulut.
“Ky, ini film apa layar jalan sendiri?” bisik Gede.
Aku cuma geleng-geleng. Rasanya kaya nonton dunia digital padahal
zaman itu HP aja masih sebesar radio komandan.
Kami keluar dari teater itu dengan tatapan orang yang baru sadar
bahwa bumi ini luas—dan Jakarta punya caranya sendiri bilang, “Hey, dunia nggak
sesempit komplekmu.”
Monas: Di Atas Sana, Mimpi-Mimpi Mulai Bisik-Bisik
Naik ke puncak Monas. Ini momen keramat.
Angin kencang. Pemandangan kota membentang sampai ujung mata.
Lampu-lampu kecil bergerak seperti bintang jatuh versi modern.
Aku—anak kecil dari komplek Bandara Ngurah Rai—tiba-tiba merasa
seperti semut yang sedang berdiri di bahu raksasa.
“Ky, coba lu bayangin… kalo kita tinggal di sini, kita bakal kayak
apa ya?” tanya Nengah.
Aku tarik napas panjang.
“Gue nggak tahu. Tapi gue pengin jadi orang yang nggak tenggelam di kota
sebesar ini.”
Nengah cuma ngangguk, tapi aku tahu dia ngerti.
Monas bukan cuma monumen. Dia kaya kakak kelas yang bilang, “Lu
kecil, tapi lu bisa kok suatu hari berdiri di sini bukan buat wisata… tapi buat
karya.”
KFC: Ini Nih… Rasa Kota Besar
Masuk KFC pertama kali? NO JOKE. Itu ritual sakral.
Kami antre sambil lihat ayam crispy lewat meja-meja seperti sedang
melihat idola artis. Begitu dapat tray makanan, kami saling pandang.
“Ky, fotoin!”
“Lu mau foto wujud gue atau ayamnya?”
“Ayamnya lah. Mukaku tiap hari bisa dilihat.”
Kami foto. Lalu makan sambil khusyuk. Sampai ada teman yang saking
terpesonanya, bungkus ayamnya dibawa pulang.
“Biar wangi global,” katanya.
Bodoh? Iya.
Lucu? Banget.
Berarti? Sangat.
Karena bagi anak daerah, KFC waktu itu bukan sekadar makan. Itu
pengumuman ke hati: dunia itu luas, dan kamu baru saja mencicipi secuil
rasanya.
Oleh-Oleh: Tanah Ragunan Dan Mimpi Yang Disimpan Di
Tas
Selain gantungan kunci dan stiker “I ❤️ Jakarta”,
beberapa anak bawa pulang tanah dari halaman Mess Ragunan.
Katanya, “Biar bisa ditanam mimpi besar.”
Aneh?
Eh… sekarang kalau diingat, itu justru paling puitis.
Malam-Malam Refleksi: Si Kamar Yang Banyak Cerita
Di mess, setiap malam kami seperti pasukan prajurit yang baru
selesai operasi khusus. Lelah, tapi bahagia. Guru-guru mondar-mandir memastikan
kami tidur, tapi begitu pintu ditutup…
“SSSTTTTT… cerita lagi!”
Kami cerita tentang Jakarta, tentang siapa yang pingsan di bis,
siapa yang salah pakai sandal di museum, sampai siapa yang diam-diam kangen
rumah.
Dan di tengah gelak tawa itu… ada sesuatu yang tumbuh.
Benih mimpi.
Sebuah rasa: Aku ingin jadi lebih besar.
Kereta Pulang: Tenang, Letih, Dan Sudah Sedikit
Lebih Dewasa
Gerbong kereta pulang jauh lebih hening. Beberapa teman tidur di
bahu temannya. Ada yang bersandar di jendela sambil senyum kecil—mengulang
kembali hari-hari di ibu kota. Ada juga yang cerita pelan-pelan, takut momen
itu cepat selesai.
Aku menatap rel yang memanjang. Rasanya seperti Tuhan sedang
bilang, “Ini baru permulaan, Ky.”
Dan aku percaya.
Setelah Pulang: Kamar, Album Foto, Dan Mimpi Yang
Terbangun
Di kamar, aku buka album Kodak kami. Foto-foto miring, blur, tapi
penuh nyawa.
Aku tersenyum.
“Jakarta… terima kasih ya,” bisikku dalam hati.
Karena di sana, aku untuk pertama kalinya merasa kecil… tapi ingin
tumbuh besar.
CATATAN NUCKY : Perjalanan bukan sekadar
berpindah tempat, tapi berpindah cara pandang. Jakarta mengajariku satu hal:
dunia ini luas, dan aku berhak bermimpi sebesar-besarnya.