Langsung ke konten utama

5 - ANAK-ANAK MARVEL : CERITA KITA YANG TAK TERGANTIKAN


 




Kalau aku harus menyebut masa paling ajaib dalam hidupku, mungkin jawabannya bukan liburan ke luar negeri, bukan juga momen juara lomba pidato, tapi… masa SMP. Masa ketika hidup belum punya rem tangan, tapi juga belum ngebut seperti sekarang. Masa ketika kita belajar banyak hal tanpa sadar kita lagi belajar. Dan dari semua warna itu—bahagia, sakit hati, deg-degan, dan kenakalan tanpa SOP—yang paling membekas adalah satu kata: Marvel. Iya, Marvel. Nama geng kelas kami. Bahkan sampai hari ini, aku masih nggak tahu siapa yang pertama kali nyebut itu. Tapi kayaknya, begitu nama itu keluar, seluruh semesta langsung bilang, “Ya udah, pakai itu aja.” Dan kami setuju. Karena rasanya… ya cocok aja

Dudung Dan Keusilannya Yang Legendaris

Episode: Senyummu Bikin Pagi Cerah, Sus!

Setiap kelas itu pasti punya satu anak yang Tuhan bentuk dengan tawa berlebih dan energi yang kalau ditukar dengan listrik mungkin bisa menerangi satu RT. Di kelas kami, makhluk langka itu bernama Dudung.

Tubuhnya gempal, suaranya keras, dan pipi tembemnya itu—astaga—kayak dibuat khusus untuk dicubit. Tapi di balik itu semua, dia punya misi hidup: mengusili Susi setiap hari.

Susi itu kebalikannya. Manis. Tenang. Kayak embun pagi di Gianyar. Rambutnya selalu dikuncir kepang rapi, seolah-olah setiap helai rambutnya punya tata krama.

Pagi itu kelas tenang. Pak Wibowo belum masuk. Semua sibuk dengan catatan… kecuali satu orang.

Dudung.

Ia mengintai dari balik meja, pakai ekspresi sok detektif.

“Cieee… Susi pakai baju lavender. Artinya lagi pengin disayang,” gumamnya pelan.

Lalu, tanpa dosa, ia gulung kertas kecil, pasang di ujung penggaris, dan—
PLUK!
mendarat tepat di kepangan Susi.

Susi menoleh. Mata membesar.
“DUDUNG!!”

Dudung langsung berdiri tegap seperti prajurit.
“Ya, Sus? Saya hadir.”
Lalu dengan santai menambahkan,
“Kepanganmu bagus hari ini. Kayak anyaman ketupat bikinan ibu pas lebaran.”

Kelas meledak. Aku hampir tersedak Kopiko.

Tapi ini belum apa-apa.

Besoknya, Dudung bawa bunga plastik dari mading. Dipotong kecil-kecil. Diselipkan ke buku Susi. Dan ketika Susi buka… jatuh secarik kertas:

“Maaf, aku cuma bisa kasih bunga palsu. Karena yang asli… udah tumbuh di hatiku.”

Kami semua: ?????????

Dudung: membuka tangan lebar-lebar,
“Kalian nggak siap kan sama romantisme gue?”

Penghapus pun melayang—sayang salah sasaran dan malah kena Herman.

Tapi meski Susi sering kesal, dia selalu tersenyum kecil setelahnya. Dan itu bukti: Dudung bukan cuma pengusil. Dia penyemarak hidup.

“Pagi, Sus,” ujar Dudung suatu hari sambil nyodorin roti isi abon.
Susi ambil. Tanpa kata. Tapi ada senyum tipis di ujung bibirnya.

Dudung langsung teriak,
“WOOOOY! GUE BERHASIL! ADA SENYUM!”

Iya, kalau suatu hari sekolah bikin buku sejarah berisi tokoh paling berpengaruh, halaman pertama mungkin punya judul: “Dudung: Gendut Yang Menjaga Kewarasan Kelas 2-2.”

 

Sandy – Sang Drama Cinta & Cedera

Episode: Cinta, Celaka, dan Cewek Kakak Kelas

Kalau Dudung adalah komedi, maka Sandy Maheswara adalah genre drama romantis yang disisipi action.

Ganteng? Oke.
Bandel? Jelas.
Percaya diri? Jangan ditanya.
Standar ceweknya? Tinggi kayak bukit di Tabanan.

Targetnya: Kenyo Ayumi, bintang teater sekolah.

Sandy punya teori:
“Cewek cantik gini suka cowok misterius tapi perhatian.”

Aku dan Dudung waktu itu ngumpul di rumah Sandy—TV besar, AC super dingin, dan dia sendiri santai sambil makan keripik.

Dudung nyeletuk,
“Emang lo misterius?”

Sandy ngunyah dulu, baru jawab,
“Belum. Tapi bisa diusahakan.”

Operasi mendekati Kenyo kemudian berjalan seperti film komedi kriminal:

  1. “Kebetulan” lewat depan aula teater.
  2. Ngasih puisi Pablo Neruda origami hati (yang salah kutip).
  3. Dan… kecelakaan motor gara-gara ngejar Kenyo.

Iya. Mereka jatuh.
Dudung luka lutut.
Sandy memar pipi.
Motor lecet.
Harga diri… tak terselamatkan.

Tapi apa yang Sandy bilang waktu terkapar?
“Cinta memang butuh pengorbanan…”

Sumpah, aku pengin lempar sandal.

Tapi lucunya:
Kenyo datang ke UKS bawa perban.

“Aku denger kamu jatuh… hati-hati ya.”

Sandy langsung jadi bayi ketemu tante cantik: senyum malu-malu, matanya berbinar.

Dari situ mereka dekat.
Dan suatu sore, Sandy nulis di halaman belakang buku sejarahnya:

“Cinta bukan soal siapa paling pintar bersandiwara. Tapi siapa paling nekat jatuh demi satu tatapan.”

Di bawahnya:
Kenyo
Sandy

Aku yang baca cuma bisa geleng-geleng.

Anak ini… cinta beneran bikin error.

 

 

Frans & David – Seniman Marvel

Episode: Coretan, Kreativitas, dan Kenakalan Artistik

Dua orang yang mungkin paling kalem sekelas, tapi karya mereka bikin kami merasa seperti geng paling keren sedunia.

Frans pendiam. Dalam. Misterius.
David rame, pecicilan, dan punya warna favorit: “semua warna yang ada di spidol.”

Saat kami sepakat memakai nama Marvel, dua orang ini langsung berubah jadi duo art director.

Karya 1: Logo Marvel

Frans bikin perisai bersayap.
David gambar huruf M besar ala superhero.
Ditambah siluet Bali di belakang.

Stikernya kemudian nempel di:

  • map
  • buku
  • meja
  • helm Dudung (tanpa izin)
  • bahkan pintu kamar mandi sekolah

Jika ada yang tanya “Siapa yang bikin?”
kami jawab dengan bangga,
“Frans & David, Bos.”

Karya 2: Sketsa Pak Tjarita

Oh ini paling fenomenal.

David nyeletuk,
“Gue pengin gambar beliau.”

Frans langsung,
“Oke, ambilin buku sketsa.”

Lalu dalam 10 menit, jadilah wajah Pak Tjarita lengkap dengan ekspresi “kalian semua bikin saya capek.”

Di bawahnya ada tulisan:
“Pak Tjarita vs Kolonialisme – Season 2.”

Kami tempel diam-diam di papan tulis.

Ketika Pak Tjarita datang…
kami semua siap mati muda.

Tapi beliau malah ketawa kecil.
“Lain kali kalau mau gambar, print sekalian ya.”

Kami lega. Dudung bahkan sampai jatuh dari kursinya saking lega.

Karya 3: Spanduk Outbond

Spanduk kelas kami paling nyentrik se-sekolah.

Tulisannya:

“We Climb, We Shout, We Sleep At Noon.”

Ada kartun kami semua versi kocak.
Aku digambar dengan kepala dua kali lebih besar.
Dudung digambar kayak beruang.
Sandy kayak pangeran sinetron.

Guru BP sampai minta copy desainnya.

Frans dan David… mereka bukan cuma seniman.
Mereka penanda estetika masa muda kami.
Desain mereka kayak jejak sidik jari yang nempel di kenangan.

 

Yostika – Penyelamat Pagi Hari

Episode: Nebeng, Ngobrol, dan Nyaris Jatuh Cinta Tapi Gak Ngaku

Dari semua karakter di Marvel, Yostika punya tempat spesial. Bukan karena dia punya mobil dinas Angkasa Pura, bukan karena dia pinter banget, tapi karena… dia penyelamat hidupku.

Serius.

Dalam seminggu, dua atau tiga kali aku nebeng dia ke sekolah. Setiap pagi, dia selalu muncul dengan roti sobek di tangan dan rambut yang selalu rapi kayak habis di-setel profesional.

“Ayo cepat. Kita telat tiga menit. Dan kamu belum sikat rambut,” katanya suatu pagi.

Aku cuma bisa garuk kepala.
“Ini konsep rambut alami, Tik.”

Playlist-nya campur aduk: Chrisye, D’Lloyd, Scorpions, dan kadang lagu anak-anak. Entahlah.

Obrolan kami selalu random:

  • teori evolusi
  • kenapa nasi jinggo porsinya kecil
  • kenapa guru olahraga selalu bawa peluit padahal jam pelajaran cuma lari keliling lapangan

Yostika itu tipe yang pinter tapi nggak pamer.
Yang sigap bantu tapi nggak mau disebut pahlawan.

Pernah aku lupa kartu ujian. Panik parah.
Yostika cuma bilang,
“Tenang. Duduk dulu. Makan nasi jinggo dulu. Kita pikirkan habis ini.”

Dan bener aja, dia bantu urus semuanya tanpa drama.

Jujur ya…
kalau pagi-pagi ditemani Yostika dan tawa ringannya, rasanya dunia itu lebih bersih. Lebih rapi. Lebih… enteng.

Kalau hidup bisa diulang, aku bakal bangun lebih pagi—asal tahu dia ada di jok depan mobil dengan senyum kecil dan bilang,

“Ayo, cepat. Rambutmu hari ini… kacau banget.”

Wan Ni – Kecerdasan Yang Tenang

Bukan Hanya Pintar, Tapi Juga Penolong Sejati

Di tengah riuhnya kelas kami yang dipenuhi suara tawa, debat absurd soal anime dan bola, serta aroma tip-ex yang tidak sehat, ada satu sosok yang selalu terlihat tenang: Wan Ni.

Wajahnya bersih, rambutnya selalu rapi dikuncir rendah. Dan kalau dia berjalan, entah kenapa, suasana sekitar jadi seperti melambat sedikit. Seperti lagu instrumental pengantar konsentrasi. Padahal itu hanya dia, membawa buku catatan dan satu pulpen, tanpa pernah terlihat panik.

Si Pintar yang Tak Pernah Meminta Panggung

Anak siapa sih Wan Ni itu?

“Oh, itu anak Pak Ong, guru seni yang karyanya pernah dipajang di galeri nasional.”
“Hah? Pantes. Tapi kok dia gak pernah cerita ya?”

Iya. Wan Ni bukan tipe yang suka bercerita tentang kehebatannya. Justru dia lebih sering membantu orang lain mengerti sesuatu, daripada pamer bahwa dia sudah tahu semuanya.

Contohnya waktu pelajaran fisika.

Pak Darta lagi semangat jelasin rumus momentum, dan kami semua sudah blank kayak papan tulis kapur

Tiba-tiba, Wan Ni angkat tangan pelan dan bilang,

“Pak, kalau dijelaskan pakai analogi dua orang main sepeda dan tabrakan, mungkin lebih mudah dimengerti.”

Dan... boom!
Seketika semuanya ngerti. Bahkan Pak Darta manggut-manggut, “Hebat kamu, Ni. Pakai itu aja deh buat soal ujian.”

Kode Rahasia di Ruang Ujian

Yang paling legendaris adalah kemampuan "berbagi jawaban tanpa membuatmu merasa bodoh."

Saat ujian berlangsung, kami seperti terhubung secara spiritual dengan Wan Ni.
Kami tahu, jika ada ketegangan di udara, selalu ada kode:

  • Kalau dia batuk 2x = jawaban B
  • Kalau dia nyengir dan ngelirik kanan = jawabannya pasti angka ganjil
  • Kalau dia menghela napas panjang sambil nulis dengan mantap = yakin itu jawabannya benar

Tapi ajaibnya, Wan Ni tetap taat aturan. Dia tak pernah terang-terangan memberi contekan. Dia hanya... membantu teman memahami sebelum ujian dimulai. Dan kalau pun kamu minta bantuan saat belajar, dia akan ajari kamu sabar seperti guru bimbel plus sabun muka.

Diam-diam Membantu, Diam-diam Menginspirasi

Di balik wajah tenangnya, ternyata Wan Ni juga pernah marah.

Waktu itu ada anak yang nyontek hasil tugas kelompok dari Google dan upload ulang tanpa izin. Wan Ni hanya bilang,

“Kalau kamu gak percaya proses, kamu gak akan percaya diri. Dan nanti saat ujian hidup, kamu akan bingung karena gak bisa lihat jawaban di internet.”

Kalimat itu... menghantam kami semua seperti petir di siang bolong.
Bahkan Sandy yang biasanya cuek sampai diam dan refleksi. Dudung langsung makan dua tahu isi sebagai tanda tobat.

Catatan di Balik Buku Catatan

Satu hal yang tak banyak orang tahu, buku catatan Wan Ni selalu penuh gambar kecil-kecil di pinggirannya.

Bukan coretan iseng, tapi sketsa wajah teman-teman sekelas, lengkap dengan gaya khas mereka:

  • Sandy digambar dengan senyum miring dan gaya rambut ala vokalis band.
  • Dudung? Dengan ekspresi lapar dan sepotong tahu isi di tangan.
  • Aku? Digambar dengan mata bingung dan tulisan “Tolong dijelasin lagi ya, Ni...”

Saat kami tanya kenapa dia suka gambar itu, dia jawab:

“Supaya aku selalu ingat, belajar itu bukan soal nilai. Tapi soal orang-orang yang tumbuh bersamaku.”

Malaikat Tanpa Sayap, Tapi Punya Pulpen dan Penggaris

Wan Ni bukan cuma pintar.
Dia adalah penolong diam-diam. Sahabat sejati.
Guru kecil dalam wujud teman sebaya.

Kami belajar banyak darinya — tentang kerendahan hati, tentang pentingnya membantu tanpa membuat orang lain merasa kecil, tentang menjadi cahaya yang tak silau, tapi menghangatkan.

Kalau hidup ini ujian panjang, maka Wan Ni adalah salah satu kunci jawaban paling berharga yang dikirim semesta untuk kami.

Mau dilanjut ke kisah:
“Wan Ni dan Surat Tak Bertanda di Kotak Pensil”
atau
“Reuni, Sebuah Galeri, dan Sosok Wan Ni yang Kini Mengajar di Pelosok”?

Paksung – Teman Yang Kini Jadi Doa

(Episode: Jalan ke Bedugul, Tawa yang Tertinggal, dan Satu Nama yang Tak Pernah Absen dari Hati)

Kami, geng Marvel, dikenal karena suara tawa yang sering meledak di kelas, tingkah konyol di luar jam pelajaran, dan rencana-rencana dadakan yang kadang jadi, kadang cuma wacana. Tapi siapa sangka, satu dari rencana itu... menjadi awal dari luka yang tak pernah sepenuhnya sembuh.

Namanya Pak Sung, atau lebih akrab kami panggil tetep “PakSung”.

Bukan karena dia tua—justru dia yang paling muda di antara kami. Tapi gaya bicaranya yang tenang, gestur seperti guru olahraga sabar, dan kemampuannya menasihati teman tanpa menggurui, bikin dia dijuluki begitu.

Sosok yang Membaur, Tertawa, dan Mengalah Tanpa Diminta

Pak Sung bukan anak yang menonjol. Tapi justru karena itu, dia menyatu dengan semua.

Dia bisa nongkrong bareng Dudung yang doyan ngelawak. Bisa ikut obrolan serius dengan Yostika. Bahkan pernah nulis puisi cinta buat Rini atas nama Sandy—dan mengaku,

“Gue cuma ghostwriter cinta, bro.”

Kalau Marvel adalah orkestra remaja yang gaduh dan tak sinkron, PakSung adalah nada rendah yang menenangkan.

 

Bedugul yang Tak Pernah Sampai

Hari itu, Sabtu pagi. Teman-teman bikin rencana mendadak ke Bedugul. Niatnya cuma ngadem, cari foto-foto estetik, dan makan jagung bakar di pinggir danau. Biasa, gaya anak SMP sok petualang.

Tapi tidak semua bisa ikut. Aku izin ke rumah kakek. Dudung bilang lagi batuk. Tapi Pak Sung berangkat, bersama tiga teman lainnya.

Kami masih sempat bercanda malam sebelumnya,

“PakSung, kalau nemu kabut, jangan hilang ya!”

Dia bales,

“Tenang. Aku kabut itu sendiri.”

Dan esoknya, kabut itu benar-benar datang.
Bukan kabut udara. Tapi kabut berita yang menyesakkan dada.

 

Kabar Pagi Itu

Pagi itu, Telp rumahku bunyi berulang. Grup Marvel sunyi, hanya satu pesan dari Seberang sana

“PakSung kecelakaan. Di Baturiti. Dia nggak selamat.”

Aku ingat, aku diam. Lalu duduk. Lama. Mencoba memahami. Menolak percaya. Mencerna ulang pesan itu berkali kali, berharap ada yang salah telp.

Tapi kenyataannya tidak berubah.
PakSung telah pergi.

Doa di Tengah Tawa

Hari-hari setelah itu terasa aneh.
Tempat duduk di kelas yang biasa dia tempati, kosong.
Di kantin, tidak ada lagi yang minta “titip gorengan dua tapi bayarnya nanti.”
Grup Marvel tetap aktif, tapi sejak hari itu, selalu ada jeda, ruang kosong yang tak pernah bisa diganti.

Ketika kami akhirnya berkumpul lagi—beberapa bulan setelah itu—kami bercerita panjang, tertawa, mengingat kisah lama. Tapi di akhir obrolan, selalu ada hening sejenak.

Dan selalu, salah satu dari kami akan berkata,

“Satu doa untuk PakSung.”

Lalu sunyi. Tapi damai. Seperti ada yang duduk di tengah kami, tersenyum tanpa suara.

Kau Tak Pernah Benar-Benar Pergi

PakSung, kami tak sempat bilang terima kasih.
Tak sempat peluk perpisahan.
Tak sempat bilang bahwa nasihat-nasihat kecilmu dulu—yang kami anggap lelucon—sekarang terasa seperti petunjuk hidup.

Kami tak tahu bagaimana kabar di ‘sana’.
Tapi kami percaya, kamu sedang tertawa.
Masih jadi ‘PakSung’ untuk siapa pun yang baru kamu temui.
Masih suka diam-diam bantuin teman baru memahami pelajaran hidup.

Dan kami di sini, masih menyebut namamu, bukan dengan air mata semata,
tapi dengan cerita—karena selama kamu masih diceritakan,
kamu belum benar-benar pergi.

Guru-Guru Penuh Warna

Sebuah catatan terima kasih dari anak-anak yang dulu sering ribut di kelas, kini diam-diam menitikkan air mata saat mengenang mereka

Kami tumbuh dalam ruang-ruang kelas yang tak hanya berisi papan tulis dan bangku kayu, tapi juga jiwa-jiwa penuh kasih dan kesabaran. Guru-guru kami bukan sekadar penyampai materi, mereka adalah pelukis dalam hidup kami yang masih kosong kanvasnya. Dengan warna-warna berbeda, mereka mengisi hari-hari kami—dengan teguran, senyuman, tawa, bahkan keheningan yang bermakna.

Bu Lies – Geografi, Galau, dan Godaan Ringan yang Terlalu Akrab

Bu Lies, guru geografi kami, selalu datang dengan senyum dan baju long dress pastel yang rapi. Suaranya tenang, seperti narator dalam dokumenter alam. Ia mengajarkan kami tentang gunung api, patahan lempeng, dan benua-benua asing—tapi yang paling melekat justru bukan peta dunia, melainkan wajah beliau yang selalu sabar, walau digoda tanpa henti.

“Bu, calon mantennya mana?”
“Bu, saya punya teman om yang masih jomblo, minat nggak?”

Bukan karena kami tak sopan, tapi mungkin karena beliau terlalu kami sayangi. Beliau menanggapi dengan senyum tipis, lalu kembali mengarahkan kami ke bab topografi.

Kini, setelah kami dewasa, kadang hati ini getir:

"Apakah waktu itu kami terlalu jahil? Apakah kami menyamarkan rasa kagum dalam bentuk godaan?"

Tapi kami tahu, Bu Lies paham. Dan mungkin, beliau tahu bahwa di balik canda itu, kami menghormatinya, sedalam samudra yang pernah beliau gambarkan dalam atlas besar yang selalu ia bawa.

Pak Tjarita – Logika, Tegas, dan Keteladanan Tanpa Basa-Basi

Mendengar nama Pak Tjarita, jantung kami sering berdebar, bukan karena takut dihukum, tapi karena kami tak mau mengecewakannya. Wajahnya selalu datar, langkahnya tegap, dan papan tulis tak pernah luput dari deretan rumus yang membuat kening kami berkerut.

“X kuadrat tambah Y kuadrat sama dengan Z? Kalau salah, ulang!”

Setiap masuk kelas beliau, kami merasa sedang masuk arena debat antara akal sehat dan kemalasan remaja.

Tapi anehnya, justru dari ketegasan itu, kami menemukan hormat.
Bahwa berpikir lurus itu penting. Bahwa logika bisa menyelamatkan keputusan hidup.

Saat kelulusan, Pak Tjarita berdiri di depan kami, tak ada peluk haru atau pidato panjang. Ia hanya berkata,

“Jadilah anak-anak yang berpikir lurus.”
Dan kalimat itu... seperti mantra. Hingga kini, saat kami dihadapkan pada pilihan sulit dalam hidup, suara beliau masih bergema di kepala.

Pak Jayadi Guru PPKn – Nasionalisme dan Materi yang Salah Jalur

Kami punya guru PPKn yang sangat... bersemangat.
Suatu hari, di tengah pembahasan tentang UUD dan tata negara, tiba-tiba beliau membelokkan arah diskusi:

“Anak-anak, hati-hati ya. Jangan sampai kawin sedarah! Bisa bikin keturunan cacat!”

Kelas hening. Bingung.
Beberapa nyaris tertawa, yang lain menulis catatan “pelajaran hidup dari PPKn”.

Beliau berbicara penuh semangat. Seperti ingin menyelamatkan moral bangsa melalui mata pelajaran yang mestinya... tentang hak dan kewajiban warga negara. Tapi kami tidak pernah menertawakan beliau. Kami justru mengagumi caranya mengisi setiap kelas dengan kejutan yang tak bisa ditemukan di buku paket.

Dan entah kenapa, materi itu jadi salah satu yang paling kami ingat hingga kini.

Pak Yanto – Kepala Sekolah, Pahlawan Tanpa Suara Tinggi

Dan tentu, ada Pak Yanto.
Kepala sekolah kami.
Mobilnya Fiat tua warna hijau pupus, jalannya lambat, tapi wibawanya tak pernah ketinggalan.

Pernah suatu hari, mobil itu dihiasi oleh Dennis dan Boyke dengan tali dan kaleng bekas—saat Pak Yanto pulang, mobil itu berbunyi riuh seperti arak-arakan karnaval.

Kami menahan tawa... dan rasa takut.

Tapi Pak Yanto hanya berhenti, membuka jendela, dan berkata pelan,

“Besok kalengnya dikumpulin ya. Buat daur ulang.”

Tidak ada amarah. Tidak ada ceramah panjang.
Tapi justru dari diamnya, kami belajar lebih banyak.
Tentang memaafkan. Tentang kepemimpinan. Tentang tidak membalas dengan suara tinggi, tapi dengan kepercayaan bahwa kami akan berubah.

Penutup: Guru, Terima Kasih Telah Menjadi Rumah Saat Kami Belum Mengenal Arah

Tiga tahun bersama mereka... bukan hanya soal nilai. Tapi soal menjadi manusia.
Di masa remaja yang kacau, di tengah kegalauan dan kenakalan yang tak jarang kebablasan, para guru ini hadir seperti mercusuar.

Mereka tidak menuntut kami sempurna. Tapi mereka menuntun kami untuk belajar menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Kini, ketika kami menulis cerita ini, ketika jarak sudah jauh dan waktu telah menua, satu hal tak pernah berubah:

Rasa terima kasih kami yang dalam, untuk setiap guru yang pernah sabar, pernah menegur, pernah tertawa, dan pernah percaya… bahwa kami bisa.

Dan dari hati yang dulu ribut dan sering dimarahi itu,
Kini kami berkata:
Terima kasih, guru-guru penuh warna. Kalian adalah bagian terindah dari cerita hidup kami.


Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...