Kalau aku harus menyebut masa paling ajaib dalam hidupku, mungkin
jawabannya bukan liburan ke luar negeri, bukan juga momen juara lomba pidato,
tapi… masa SMP. Masa ketika hidup belum punya rem tangan, tapi juga belum
ngebut seperti sekarang. Masa ketika kita belajar banyak hal tanpa sadar kita
lagi belajar. Dan dari semua warna itu—bahagia, sakit hati, deg-degan, dan
kenakalan tanpa SOP—yang paling membekas adalah satu kata: Marvel. Iya, Marvel.
Nama geng kelas kami. Bahkan sampai hari ini, aku masih nggak tahu siapa yang
pertama kali nyebut itu. Tapi kayaknya, begitu nama itu keluar, seluruh semesta
langsung bilang, “Ya udah, pakai itu aja.” Dan kami setuju. Karena rasanya… ya
cocok aja
Dudung Dan Keusilannya Yang Legendaris
Episode: Senyummu Bikin Pagi Cerah, Sus!
Setiap kelas itu pasti punya satu anak yang Tuhan bentuk dengan
tawa berlebih dan energi yang kalau ditukar dengan listrik mungkin bisa
menerangi satu RT. Di kelas kami, makhluk langka itu bernama Dudung.
Tubuhnya gempal, suaranya keras, dan pipi tembemnya
itu—astaga—kayak dibuat khusus untuk dicubit. Tapi di balik itu semua, dia
punya misi hidup: mengusili Susi setiap hari.
Susi itu kebalikannya. Manis. Tenang. Kayak embun pagi di Gianyar.
Rambutnya selalu dikuncir kepang rapi, seolah-olah setiap helai rambutnya punya
tata krama.
Pagi itu kelas tenang. Pak Wibowo belum masuk. Semua sibuk dengan
catatan… kecuali satu orang.
Dudung.
Ia mengintai dari balik meja, pakai ekspresi sok detektif.
“Cieee… Susi pakai baju lavender. Artinya lagi pengin disayang,”
gumamnya pelan.
Lalu, tanpa dosa, ia gulung kertas kecil, pasang di ujung
penggaris, dan—
PLUK!
mendarat tepat di kepangan Susi.
Susi menoleh. Mata membesar.
“DUDUNG!!”
Dudung langsung berdiri tegap seperti prajurit.
“Ya, Sus? Saya hadir.”
Lalu dengan santai menambahkan,
“Kepanganmu bagus hari ini. Kayak anyaman ketupat bikinan ibu pas lebaran.”
Kelas meledak. Aku hampir tersedak Kopiko.
Tapi ini belum apa-apa.
Besoknya, Dudung bawa bunga plastik dari mading. Dipotong
kecil-kecil. Diselipkan ke buku Susi. Dan ketika Susi buka… jatuh secarik
kertas:
“Maaf, aku cuma bisa kasih bunga palsu. Karena yang asli… udah
tumbuh di hatiku.”
Kami semua: ?????????
Dudung: membuka tangan lebar-lebar,
“Kalian nggak siap kan sama romantisme gue?”
Penghapus pun melayang—sayang salah sasaran dan malah kena Herman.
Tapi meski Susi sering kesal, dia selalu tersenyum kecil
setelahnya. Dan itu bukti: Dudung bukan cuma pengusil. Dia penyemarak hidup.
“Pagi, Sus,” ujar Dudung suatu hari sambil nyodorin roti isi abon.
Susi ambil. Tanpa kata. Tapi ada senyum tipis di ujung bibirnya.
Dudung langsung teriak,
“WOOOOY! GUE BERHASIL! ADA SENYUM!”
Iya, kalau suatu hari sekolah bikin buku sejarah berisi tokoh
paling berpengaruh, halaman pertama mungkin punya judul: “Dudung: Gendut Yang Menjaga Kewarasan Kelas 2-2.”
Sandy – Sang Drama Cinta & Cedera
Episode: Cinta, Celaka, dan Cewek Kakak Kelas
Kalau Dudung adalah komedi, maka Sandy Maheswara adalah genre
drama romantis yang disisipi action.
Ganteng? Oke.
Bandel? Jelas.
Percaya diri? Jangan ditanya.
Standar ceweknya? Tinggi kayak bukit di Tabanan.
Targetnya: Kenyo Ayumi, bintang teater sekolah.
Sandy punya teori:
“Cewek cantik gini suka cowok misterius tapi perhatian.”
Aku dan Dudung waktu itu ngumpul di rumah Sandy—TV besar, AC super
dingin, dan dia sendiri santai sambil makan keripik.
Dudung nyeletuk,
“Emang lo misterius?”
Sandy ngunyah dulu, baru jawab,
“Belum. Tapi bisa diusahakan.”
Operasi mendekati Kenyo kemudian berjalan seperti film komedi
kriminal:
- “Kebetulan”
lewat depan aula teater.
- Ngasih
puisi Pablo Neruda origami hati (yang salah kutip).
- Dan…
kecelakaan motor gara-gara ngejar Kenyo.
Iya. Mereka jatuh.
Dudung luka lutut.
Sandy memar pipi.
Motor lecet.
Harga diri… tak terselamatkan.
Tapi apa yang Sandy bilang waktu terkapar?
“Cinta memang butuh pengorbanan…”
Sumpah, aku pengin lempar sandal.
Tapi lucunya:
Kenyo datang ke UKS bawa perban.
“Aku denger kamu jatuh… hati-hati ya.”
Sandy langsung jadi bayi ketemu tante cantik: senyum malu-malu,
matanya berbinar.
Dari situ mereka dekat.
Dan suatu sore, Sandy nulis di halaman belakang buku sejarahnya:
“Cinta bukan soal siapa paling pintar bersandiwara. Tapi siapa
paling nekat jatuh demi satu tatapan.”
Di bawahnya:
Kenyo ♥ Sandy
Aku yang baca cuma bisa geleng-geleng.
Anak ini… cinta beneran bikin error.
Frans & David – Seniman Marvel
Episode: Coretan, Kreativitas, dan Kenakalan Artistik
Dua orang yang mungkin paling kalem sekelas, tapi karya mereka
bikin kami merasa seperti geng paling keren sedunia.
Frans pendiam. Dalam. Misterius.
David rame, pecicilan, dan punya warna favorit: “semua warna yang ada di
spidol.”
Saat kami sepakat memakai nama Marvel, dua orang ini langsung
berubah jadi duo art director.
Karya 1: Logo Marvel
Frans bikin perisai bersayap.
David gambar huruf M besar ala superhero.
Ditambah siluet Bali di belakang.
Stikernya kemudian nempel di:
- map
- buku
- meja
- helm
Dudung (tanpa izin)
- bahkan
pintu kamar mandi sekolah
Jika ada yang tanya “Siapa yang bikin?”
kami jawab dengan bangga,
“Frans & David, Bos.”
Karya 2: Sketsa Pak Tjarita
Oh ini paling fenomenal.
David nyeletuk,
“Gue pengin gambar beliau.”
Frans langsung,
“Oke, ambilin buku sketsa.”
Lalu dalam 10 menit, jadilah wajah Pak Tjarita lengkap dengan
ekspresi “kalian semua bikin saya capek.”
Di bawahnya ada tulisan:
“Pak Tjarita vs Kolonialisme – Season 2.”
Kami tempel diam-diam di papan tulis.
Ketika Pak Tjarita datang…
kami semua siap mati muda.
Tapi beliau malah ketawa kecil.
“Lain kali kalau mau gambar, print sekalian ya.”
Kami lega. Dudung bahkan sampai jatuh dari kursinya saking lega.
Karya 3: Spanduk Outbond
Spanduk kelas kami paling nyentrik se-sekolah.
Tulisannya:
“We Climb, We Shout, We Sleep At Noon.”
Ada kartun kami semua versi kocak.
Aku digambar dengan kepala dua kali lebih besar.
Dudung digambar kayak beruang.
Sandy kayak pangeran sinetron.
Guru BP sampai minta copy desainnya.
Frans dan David… mereka bukan cuma seniman.
Mereka penanda estetika masa muda kami.
Desain mereka kayak jejak sidik jari yang nempel di kenangan.
Yostika – Penyelamat Pagi Hari
Episode: Nebeng, Ngobrol, dan Nyaris Jatuh Cinta Tapi Gak Ngaku
Dari semua karakter di Marvel, Yostika punya tempat spesial. Bukan
karena dia punya mobil dinas Angkasa Pura, bukan karena dia pinter banget, tapi
karena… dia penyelamat hidupku.
Serius.
Dalam seminggu, dua atau tiga kali aku nebeng dia ke sekolah.
Setiap pagi, dia selalu muncul dengan roti sobek di tangan dan rambut yang
selalu rapi kayak habis di-setel profesional.
“Ayo cepat. Kita telat tiga menit. Dan kamu belum sikat rambut,”
katanya suatu pagi.
Aku cuma bisa garuk kepala.
“Ini konsep rambut alami, Tik.”
Playlist-nya campur aduk: Chrisye, D’Lloyd, Scorpions, dan kadang
lagu anak-anak. Entahlah.
Obrolan kami selalu random:
- teori
evolusi
- kenapa
nasi jinggo porsinya kecil
- kenapa
guru olahraga selalu bawa peluit padahal jam pelajaran cuma lari keliling
lapangan
Yostika itu tipe yang pinter tapi nggak pamer.
Yang sigap bantu tapi nggak mau disebut pahlawan.
Pernah aku lupa kartu ujian. Panik parah.
Yostika cuma bilang,
“Tenang. Duduk dulu. Makan nasi jinggo dulu. Kita pikirkan habis ini.”
Dan bener aja, dia bantu urus semuanya tanpa drama.
Jujur ya…
kalau pagi-pagi ditemani Yostika dan tawa ringannya, rasanya dunia itu lebih
bersih. Lebih rapi. Lebih… enteng.
Kalau hidup bisa diulang, aku bakal bangun lebih pagi—asal tahu
dia ada di jok depan mobil dengan senyum kecil dan bilang,
“Ayo, cepat. Rambutmu hari ini… kacau banget.”
Wan Ni – Kecerdasan Yang Tenang
Bukan Hanya Pintar, Tapi
Juga Penolong Sejati
Di tengah riuhnya kelas kami
yang dipenuhi suara tawa, debat absurd soal anime dan bola, serta aroma tip-ex
yang tidak sehat, ada satu sosok yang selalu terlihat tenang: Wan Ni.
Wajahnya bersih, rambutnya
selalu rapi dikuncir rendah. Dan kalau dia berjalan, entah kenapa, suasana
sekitar jadi seperti melambat sedikit. Seperti lagu instrumental pengantar
konsentrasi. Padahal itu hanya dia, membawa buku catatan dan satu pulpen, tanpa
pernah terlihat panik.
Si Pintar yang Tak Pernah
Meminta Panggung
Anak siapa sih Wan Ni itu?
“Oh, itu anak Pak Ong, guru
seni yang karyanya pernah dipajang di galeri nasional.”
“Hah? Pantes. Tapi kok dia gak pernah cerita ya?”
Iya. Wan Ni bukan tipe yang
suka bercerita tentang kehebatannya. Justru dia lebih sering membantu orang
lain mengerti sesuatu, daripada pamer bahwa dia sudah tahu semuanya.
Contohnya waktu pelajaran
fisika.
Pak Darta lagi semangat
jelasin rumus momentum, dan kami semua sudah blank kayak papan tulis kapur
Tiba-tiba, Wan Ni angkat
tangan pelan dan bilang,
“Pak, kalau dijelaskan pakai
analogi dua orang main sepeda dan tabrakan, mungkin lebih mudah dimengerti.”
Dan... boom!
Seketika semuanya ngerti. Bahkan Pak Darta manggut-manggut, “Hebat kamu, Ni.
Pakai itu aja deh buat soal ujian.”
Kode
Rahasia di Ruang Ujian
Yang paling legendaris
adalah kemampuan "berbagi jawaban tanpa membuatmu merasa bodoh."
Saat ujian berlangsung, kami
seperti terhubung secara spiritual dengan Wan Ni.
Kami tahu, jika ada ketegangan di udara, selalu ada kode:
- Kalau dia batuk 2x = jawaban B
- Kalau dia nyengir dan ngelirik kanan =
jawabannya pasti angka ganjil
- Kalau dia menghela napas panjang sambil nulis
dengan mantap = yakin itu jawabannya benar
Tapi ajaibnya, Wan Ni tetap
taat aturan. Dia tak pernah terang-terangan memberi contekan. Dia hanya...
membantu teman memahami sebelum ujian dimulai. Dan kalau pun kamu minta bantuan
saat belajar, dia akan ajari kamu sabar seperti guru bimbel plus sabun muka.
Diam-diam Membantu,
Diam-diam Menginspirasi
Di balik wajah tenangnya,
ternyata Wan Ni juga pernah marah.
Waktu itu ada anak yang
nyontek hasil tugas kelompok dari Google dan upload ulang tanpa izin. Wan Ni
hanya bilang,
“Kalau kamu gak percaya
proses, kamu gak akan percaya diri. Dan nanti saat ujian hidup, kamu akan
bingung karena gak bisa lihat jawaban di internet.”
Kalimat itu... menghantam
kami semua seperti petir di siang bolong.
Bahkan Sandy yang biasanya cuek sampai diam dan refleksi. Dudung langsung makan
dua tahu isi sebagai tanda tobat.
Catatan di Balik Buku
Catatan
Satu hal yang tak banyak
orang tahu, buku catatan Wan Ni selalu penuh gambar kecil-kecil di
pinggirannya.
Bukan coretan iseng, tapi
sketsa wajah teman-teman sekelas, lengkap dengan gaya khas mereka:
- Sandy digambar dengan senyum miring dan gaya
rambut ala vokalis band.
- Dudung? Dengan ekspresi lapar dan sepotong
tahu isi di tangan.
- Aku? Digambar dengan mata bingung dan tulisan
“Tolong dijelasin lagi ya, Ni...”
Saat kami tanya kenapa dia
suka gambar itu, dia jawab:
“Supaya aku selalu ingat,
belajar itu bukan soal nilai. Tapi soal orang-orang yang tumbuh bersamaku.”
Malaikat
Tanpa Sayap, Tapi Punya Pulpen dan Penggaris
Wan Ni bukan cuma pintar.
Dia adalah penolong diam-diam. Sahabat sejati.
Guru kecil dalam wujud teman sebaya.
Kami belajar banyak darinya
— tentang kerendahan hati, tentang pentingnya membantu tanpa membuat orang lain
merasa kecil, tentang menjadi cahaya yang tak silau, tapi menghangatkan.
Kalau hidup ini ujian
panjang, maka Wan Ni adalah salah satu kunci jawaban paling berharga yang
dikirim semesta untuk kami.
Mau dilanjut ke kisah:
“Wan Ni dan Surat Tak Bertanda di Kotak Pensil”
atau
“Reuni, Sebuah Galeri, dan Sosok Wan Ni yang Kini Mengajar di Pelosok”?
Paksung – Teman Yang Kini Jadi Doa
(Episode: Jalan ke Bedugul, Tawa yang Tertinggal, dan Satu Nama
yang Tak Pernah Absen dari Hati)
Kami, geng Marvel, dikenal karena suara tawa yang sering meledak
di kelas, tingkah konyol di luar jam pelajaran, dan rencana-rencana dadakan
yang kadang jadi, kadang cuma wacana. Tapi siapa sangka, satu dari rencana
itu... menjadi awal dari luka yang tak pernah sepenuhnya sembuh.
Namanya Pak Sung, atau lebih akrab kami panggil tetep “PakSung”.
Bukan karena dia tua—justru dia yang paling muda di antara kami.
Tapi gaya bicaranya yang tenang, gestur seperti guru olahraga sabar, dan
kemampuannya menasihati teman tanpa menggurui, bikin dia dijuluki begitu.
Sosok yang Membaur, Tertawa, dan Mengalah Tanpa Diminta
Pak Sung bukan anak yang menonjol. Tapi justru karena itu, dia
menyatu dengan semua.
Dia bisa nongkrong bareng Dudung yang doyan ngelawak. Bisa ikut
obrolan serius dengan Yostika. Bahkan pernah nulis puisi cinta buat Rini atas
nama Sandy—dan mengaku,
“Gue cuma ghostwriter cinta, bro.”
Kalau Marvel adalah orkestra remaja yang gaduh dan tak sinkron,
PakSung adalah nada rendah yang menenangkan.
Bedugul yang Tak Pernah Sampai
Hari itu, Sabtu pagi. Teman-teman bikin rencana mendadak ke
Bedugul. Niatnya cuma ngadem, cari foto-foto estetik, dan makan jagung bakar di
pinggir danau. Biasa, gaya anak SMP sok petualang.
Tapi tidak semua bisa ikut. Aku izin ke rumah kakek. Dudung bilang
lagi batuk. Tapi Pak Sung berangkat, bersama tiga teman lainnya.
Kami masih sempat bercanda malam sebelumnya,
“PakSung, kalau nemu kabut, jangan hilang ya!”
Dia bales,
“Tenang. Aku kabut itu sendiri.”
Dan esoknya, kabut itu benar-benar datang.
Bukan kabut udara. Tapi kabut berita yang menyesakkan dada.
Kabar Pagi Itu
Pagi itu, Telp rumahku bunyi berulang. Grup Marvel sunyi, hanya
satu pesan dari Seberang sana
“PakSung kecelakaan. Di Baturiti. Dia nggak selamat.”
Aku ingat, aku diam. Lalu duduk. Lama. Mencoba memahami. Menolak
percaya. Mencerna ulang pesan itu berkali kali, berharap ada yang salah telp.
Tapi kenyataannya tidak berubah.
PakSung telah pergi.
Doa di Tengah Tawa
Hari-hari setelah itu terasa aneh.
Tempat duduk di kelas yang biasa dia tempati, kosong.
Di kantin, tidak ada lagi yang minta “titip gorengan dua tapi bayarnya nanti.”
Grup Marvel tetap aktif, tapi sejak hari itu, selalu ada jeda, ruang kosong
yang tak pernah bisa diganti.
Ketika kami akhirnya berkumpul lagi—beberapa bulan setelah
itu—kami bercerita panjang, tertawa, mengingat kisah lama. Tapi di akhir
obrolan, selalu ada hening sejenak.
Dan selalu, salah satu dari kami akan berkata,
“Satu doa untuk PakSung.”
Lalu sunyi. Tapi damai. Seperti ada yang duduk di tengah kami,
tersenyum tanpa suara.
Kau Tak Pernah Benar-Benar Pergi
PakSung, kami tak sempat bilang terima kasih.
Tak sempat peluk perpisahan.
Tak sempat bilang bahwa nasihat-nasihat kecilmu dulu—yang kami anggap
lelucon—sekarang terasa seperti petunjuk hidup.
Kami tak tahu bagaimana kabar di ‘sana’.
Tapi kami percaya, kamu sedang tertawa.
Masih jadi ‘PakSung’ untuk siapa pun yang baru kamu temui.
Masih suka diam-diam bantuin teman baru memahami pelajaran hidup.
Dan kami di sini, masih menyebut namamu, bukan dengan air mata
semata,
tapi dengan cerita—karena selama kamu masih diceritakan,
kamu belum benar-benar pergi.
Guru-Guru
Penuh Warna
Sebuah catatan terima kasih
dari anak-anak yang dulu sering ribut di kelas, kini diam-diam menitikkan air
mata saat mengenang mereka
Kami tumbuh dalam
ruang-ruang kelas yang tak hanya berisi papan tulis dan bangku kayu, tapi juga
jiwa-jiwa penuh kasih dan kesabaran. Guru-guru kami bukan sekadar penyampai
materi, mereka adalah pelukis dalam hidup kami yang masih kosong kanvasnya.
Dengan warna-warna berbeda, mereka mengisi hari-hari kami—dengan teguran,
senyuman, tawa, bahkan keheningan yang bermakna.
Bu Lies –
Geografi, Galau, dan Godaan Ringan yang Terlalu Akrab
Bu Lies, guru geografi kami,
selalu datang dengan senyum dan baju long dress pastel yang rapi. Suaranya
tenang, seperti narator dalam dokumenter alam. Ia mengajarkan kami tentang
gunung api, patahan lempeng, dan benua-benua asing—tapi yang paling melekat
justru bukan peta dunia, melainkan wajah beliau yang selalu sabar, walau digoda
tanpa henti.
“Bu, calon mantennya mana?”
“Bu, saya punya teman om yang masih jomblo, minat nggak?”
Bukan karena kami tak sopan,
tapi mungkin karena beliau terlalu kami sayangi. Beliau menanggapi dengan
senyum tipis, lalu kembali mengarahkan kami ke bab topografi.
Kini, setelah kami dewasa,
kadang hati ini getir:
"Apakah waktu itu kami
terlalu jahil? Apakah kami menyamarkan rasa kagum dalam bentuk godaan?"
Tapi kami tahu, Bu Lies
paham. Dan mungkin, beliau tahu bahwa di balik canda itu, kami menghormatinya,
sedalam samudra yang pernah beliau gambarkan dalam atlas besar yang selalu ia
bawa.
Pak Tjarita
– Logika, Tegas, dan Keteladanan Tanpa Basa-Basi
Mendengar nama Pak Tjarita,
jantung kami sering berdebar, bukan karena takut dihukum, tapi karena kami tak
mau mengecewakannya. Wajahnya selalu datar, langkahnya tegap, dan papan tulis
tak pernah luput dari deretan rumus yang membuat kening kami berkerut.
“X kuadrat tambah Y kuadrat
sama dengan Z? Kalau salah, ulang!”
Setiap masuk kelas beliau,
kami merasa sedang masuk arena debat antara akal sehat dan kemalasan remaja.
Tapi anehnya, justru dari
ketegasan itu, kami menemukan hormat.
Bahwa berpikir lurus itu penting. Bahwa logika bisa menyelamatkan keputusan
hidup.
Saat kelulusan, Pak Tjarita
berdiri di depan kami, tak ada peluk haru atau pidato panjang. Ia hanya
berkata,
“Jadilah anak-anak yang
berpikir lurus.”
Dan kalimat itu... seperti mantra. Hingga kini, saat kami dihadapkan pada
pilihan sulit dalam hidup, suara beliau masih bergema di kepala.
Pak Jayadi
Guru PPKn – Nasionalisme dan Materi yang Salah Jalur
Kami punya guru PPKn yang
sangat... bersemangat.
Suatu hari, di tengah pembahasan tentang UUD dan tata negara, tiba-tiba beliau
membelokkan arah diskusi:
“Anak-anak, hati-hati ya.
Jangan sampai kawin sedarah! Bisa bikin keturunan cacat!”
Kelas hening. Bingung.
Beberapa nyaris tertawa, yang lain menulis catatan “pelajaran hidup dari PPKn”.
Beliau berbicara penuh
semangat. Seperti ingin menyelamatkan moral bangsa melalui mata pelajaran yang
mestinya... tentang hak dan kewajiban warga negara. Tapi kami tidak pernah
menertawakan beliau. Kami justru mengagumi caranya mengisi setiap kelas dengan
kejutan yang tak bisa ditemukan di buku paket.
Dan entah kenapa, materi itu
jadi salah satu yang paling kami ingat hingga kini.
Pak Yanto –
Kepala Sekolah, Pahlawan Tanpa Suara Tinggi
Dan tentu, ada Pak Yanto.
Kepala sekolah kami.
Mobilnya Fiat tua warna hijau pupus, jalannya lambat, tapi wibawanya tak pernah
ketinggalan.
Pernah suatu hari, mobil itu
dihiasi oleh Dennis dan Boyke dengan tali dan kaleng bekas—saat Pak Yanto
pulang, mobil itu berbunyi riuh seperti arak-arakan karnaval.
Kami menahan tawa... dan
rasa takut.
Tapi Pak Yanto hanya
berhenti, membuka jendela, dan berkata pelan,
“Besok kalengnya dikumpulin
ya. Buat daur ulang.”
Tidak ada amarah. Tidak ada
ceramah panjang.
Tapi justru dari diamnya, kami belajar lebih banyak.
Tentang memaafkan. Tentang kepemimpinan. Tentang tidak membalas dengan suara
tinggi, tapi dengan kepercayaan bahwa kami akan berubah.
Penutup: Guru, Terima Kasih
Telah Menjadi Rumah Saat Kami Belum Mengenal Arah
Tiga tahun bersama mereka...
bukan hanya soal nilai. Tapi soal menjadi manusia.
Di masa remaja yang kacau, di tengah kegalauan dan kenakalan yang tak jarang
kebablasan, para guru ini hadir seperti mercusuar.
Mereka tidak menuntut kami
sempurna. Tapi mereka menuntun kami untuk belajar menjadi versi terbaik dari
diri sendiri.
Kini, ketika kami menulis
cerita ini, ketika jarak sudah jauh dan waktu telah menua, satu hal tak pernah
berubah:
Rasa terima kasih kami yang
dalam, untuk setiap guru yang pernah sabar, pernah menegur, pernah tertawa, dan
pernah percaya… bahwa kami bisa.
Dan dari hati yang dulu
ribut dan sering dimarahi itu,
Kini kami berkata:
Terima kasih, guru-guru penuh warna. Kalian adalah bagian terindah dari cerita
hidup kami.