Kalau kamu tanya, kenapa aku sampai menulis hidup sendiri,
jawabannya gampang: karena hidup ini terlalu ramai untuk hanya disimpan di
kepala. Bayangkan saja—dari masa kecilku yang berantakan tapi lucu, sampai
remaja yang penuh drama persahabatan, dari cinta pertama yang polos banget
sampai dunia kerja yang bikin kepala panas… semuanya bikin aku berpikir, “Kalau
aku nggak catat, bisa-bisa kelak lupa sama semua pelajaran hidup ini.”
Masa kecilku? Ah, jangan dibayangkan seperti anak-anak film Disney
yang manis-manis itu. Aku lahir dan tumbuh di kompleks bandara—iya, tepat di
tengah hiruk-pikuk pesawat lepas landas, suara ATC yang kadang bikin telinga
panas, dan tetangga yang kadang lebih heboh daripada televisi. Dari situ aku
belajar banyak hal: bagaimana beradaptasi dengan orang berbeda karakter,
bagaimana berteman, dan—yang paling penting—bagaimana tertawa walau keadaan
nggak selalu ideal.
Masuk masa remaja, dunia terasa lebih dramatis. Ada cinta pertama
yang bikin dag-dig-dug tiap lihat dia, ada persahabatan yang kadang bikin aku
mau geleng-geleng kepala karena tingkah konyol teman-teman, dan ada juga
pertarungan kecil yang bikin aku sadar, bahwa keberanian itu bukan soal memukul
balik, tapi tahu kapan harus berdiri tegak dan minta maaf. Percayalah,
masa-masa itu penuh warna… dan kadang warna-warni itu bikin kamu sakit kepala,
tapi juga bikin kenangan jadi manis.
Kuliah dan dunia kerja? Wah, itu cerita panjang. Di kampus aku
belajar jati diri, menemukan teman sejati, dan—tentu saja—mendapatkan
pengalaman pahit manis yang bikin aku sedikit lebih dewasa. Dunia kerja
mengajarkanku tentang tanggung jawab, integritas, dan kadang, rasa frustasi
yang membuat kamu pengin nangis sambil ketawa. Tapi semua itu adalah batu
loncatan, membentuk siapa aku sekarang.
Dan soal cinta… oh, itu cerita panjang. Dari cinta pertama,
pernikahan, kehilangan yang mengejutkan, sampai pernikahan kedua yang datang
bersamaan dengan pukulan hidup lainnya, aku belajar satu hal: cinta itu bukan
sekadar perasaan hangat di hati, tapi ujian kesabaran, keberanian, dan
keikhlasan. Kehilangan orang yang kita cintai itu sakit, tapi dari situ kita
belajar untuk tetap berdiri, untuk terus melangkah, dan yang terpenting… untuk
tetap membuka hati.
Kenapa semua ini aku tulis? Bukan untuk pamer atau mencari
simpati. Aku menulis karena aku ingin berbagi—bahwa hidup itu guru paling
lengkap. Semua fase, tawa, luka, cinta, persahabatan, sampai tanggung jawab
keluarga, semuanya adalah madrasah kehidupan. Dan di setiap halaman buku ini,
aku ingin kamu bisa tersenyum, merenung, bahkan meneteskan air mata, sambil
sadar bahwa nilai sejati hidup bukan diukur dari harta, gelar, atau panggung
megah… tapi dari keberanian menjaga nilai, kerendahan hati untuk belajar, dan
keikhlasan memberi manfaat bagi sesama.
Kalau hidupku ini puisi, mungkin nadanya seperti
ini:
Hidup ini bukan soal cepat atau lambat,
tetapi tentang seberapa dalam kita memaknainya.
Setiap luka adalah pelajaran,
setiap tawa adalah pengingat bahwa kita pernah bahagia.
Sahabat datang dan pergi,
cinta kadang tumbuh lalu layu,
namun nilai yang kita jaga—itulah yang menetap.
Allah menghadirkan sakit bukan untuk melemahkan,
melainkan agar kita belajar ikhlas,
belajar kuat,
belajar pulang hanya kepada-Nya.
Maka berjalanlah dengan hati yang ringan,
karena pada akhirnya,
yang abadi hanyalah jejak kebaikan
yang kita tinggalkan di dunia ini.
Jadi, selamat datang di kehidupanku. Duduklah sebentar, tarik
napas, dan bersiaplah menelusuri perjalanan seorang manusia biasa yang mencoba
memahami dirinya sendiri. Ada tawa, ada air mata, ada cinta, ada kehilangan,
tapi yang paling penting… ada pelajaran hidup yang semoga bisa kamu bawa
pulang. Dan percayalah, kadang hanya dengan sedikit humor dan senyum, luka
terbesar pun terasa lebih ringan.
CATATAN SEORANG PENONTON YANG KINI DIMINTA BICARA
Ada masa dalam hidupku ketika aku lebih sering diam. Bukan karena
aku nggak punya suara, tapi karena aku merasa suaraku tak akan mengubah
apa-apa. Aku duduk di belakang, jadi penonton kehidupan orang lain,
memperhatikan dengan takjub orang-orang yang tampak begitu yakin dengan arah
hidup mereka. Sementara aku? Masih sibuk mencari pintu keluar dari labirin
pikiran sendiri.
Lalu, kenapa aku menulis buku ini? Karena ternyata… hidup yang
penuh keraguan, kegagapan, kecanggungan, dan keheningan itu justru menyimpan
begitu banyak pelajaran. Dari balik diamku, muncul ledakan refleksi yang kadang
bikin malu, kadang bikin lucu. Dan aku yakin, banyak orang di luar sana
pernah—atau sedang—merasa seperti aku: kecil, ragu, merasa tak cukup, dan
bingung harus mulai dari mana.
Buku ini bukan tentang kesuksesan besar yang bikin orang bertepuk
tangan. Ini bukan kisah viral yang ditayangkan di TV atau koran. Ini adalah
kisah nyata, jujur, dan tumbuh perlahan. Tentang seseorang yang awalnya tak
berani tampil, tapi akhirnya belajar berdiri di panggung hidupnya sendiri.
Aku dulu hampir seluruh energiku terkumpul di dalam: diam,
mengamati, berpikir, merasa, membayangkan. Hidupku terasa seperti memproses,
bukan menyalurkan. Tapi menyimpan energi terlalu lama ternyata bikin gelisah,
overthinking, dan muncul rasa, "Kenapa aku begini terus?" Pintu
perubahan terbuka saat aku memberanikan diri melangkah. Aku mulai ikut
kegiatan, menjadi bagian dari tim kecil, bicara satu-dua kalimat di forum, atau
menawarkan diri mengurus konsumsi—ya, karena kalau bicara masih takut, ya bantu
diam-diam dulu aja.
Ternyata bergerak itu bukan soal berani dulu baru jalan. Jalan
dulu, nanti keberanian ikut datang. Energi pasifku perlahan berubah menjadi
aktif, sedikit demi sedikit. Dengan kebiasaan kecil—mencatat, bertanya,
mencoba, tertawa atas kegagalan, dan belajar mencintai proses—aku mulai tahu
bahwa diam bukan tanda ketidakmampuan. Diam hanya belum tahu arah. Dan begitu
arah mulai tampak, aku berubah: dari pengamat jadi pelaku, dari pendengar jadi
penyampai, dari penunggu jadi penjemput makna.
Menemukan jati diri ternyata bukan soal menemukan versi paling
hebat dari diriku—paling cerdas, paling mengesankan. Menemukan jati diri adalah
berdamai dengan apa adanya. Aku nggak harus jadi si paling cerewet, si paling
vokal, atau si paling aktif untuk punya pengaruh. Aku hanya perlu menjadi versi
paling jujur dari diriku sendiri. Menemukannya bukan di panggung besar, tapi
dalam kesunyian: di tengah malam di asrama, saat ditolak cinta, dalam tawa
kecil teman yang nggak menilai, dan sujud yang diam-diam tapi dalam.
Sekilas tentangku: di pagi yang cerah, 29 Mei 1972, lahirlah
seorang bayi laki-laki di Denpasar—yang kelak dipanggil Nucky. Nama panggilan
sederhana untuk seseorang yang punya nama resmi panjang dan berkelas: Rahadhian
Inu Kertapati. Kalau dengar namanya, orang bisa mikir, "Wah, ini kayak
pangeran dari novel Jawa klasik." Ya… nggak salah juga sih.
Aku lahir dari perpaduan dua darah biru. Ayahku berdarah Madura,
keturunan KH. Moh. Kholil Bangkalan, ulama besar yang melahirkan banyak guru
dan pendiri Nahdlatul Ulama. Ibuku berdarah Solo, keturunan trah Mangkunegara
I, tokoh penting sejarah Kerajaan Islam Jawa Tengah. Jadi kalau kamu mikir nama
“Inu Kertapati” itu pangeran zaman Majapahit… ya memang itu niatnya!
Pengaruh paling kuat datang dari Eyangku, RA. Kusbandi, semacam
“grandmaster tata krama Jawa.” Dari salam, posisi tangan, cara tersenyum,
sampai bahasa Jawa yang pas—ngoko, kromo, kromo inggil—semua diajarkan serius.
Hasilnya? Mental dan karakternya terbentuk sopan, santun, tapi tegas dan
berprinsip. Perpaduan pesantren, keraton, dan bandara.
Ya, bandara. Ayahku bekerja di Pelabuhan Udara Tuban (sekarang
Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai), jadi aku tumbuh akrab dengan suara
mesin pesawat dan deru landasan. Pendidikan dimulai dari TK Wipara, SD Ngurah
Rai, SMP Cipta Dharma, lalu SMA Negeri 1 Denpasar jurusan Fisika—jurusan yang
bikin rumus percepatan dan medan magnet hadir dalam mimpi buruk. Lulus SMA,
kuliah di Malang, jurusan Ekonomi Akuntansi, sambil membawa pulang lebih dari
sekadar ijazah: kenangan indah dan jodoh hidupku.
Sekarang, aku dikenal sebagai sosok tegas tapi santun, berpikiran
modern tapi berakar kuat pada tradisi. Anak bandara, darah pesantren, trah
keraton, lulusan ekonomi, dan tetap rendah hati. Semua itu mengajarkanku satu
hal: akar leluhur, pendidikan, dan pengalaman hidup hanya bermakna jika
dijalani dengan rendah hati. Kemuliaan sejati bukan asal-usul atau gelar, tapi
bagaimana kita menjaga prinsip, tradisi, dan kebaikan dalam setiap langkah.
Dan itulah alasan aku menulis buku ini: bukan sekadar bercerita
tentang diri sendiri, tapi berbagi pelajaran hidup—tentang diam, keberanian,
kesalahan, tawa, cinta, kehilangan, dan kebangkitan—supaya pembaca bisa ikut
merasakan bahwa hidup ini, pada akhirnya, adalah madrasah terbesar yang pernah
kita jalani.
lanjut baca ke https://nucky-nucky.blogspot.com/2025/12/2-kompleks-bandara-dunia-kecil-yang.html