Langsung ke konten utama

1- MENGAPA AKU MENULIS HIDUPKU








Kalau kamu tanya, kenapa aku sampai menulis hidup sendiri, jawabannya gampang: karena hidup ini terlalu ramai untuk hanya disimpan di kepala. Bayangkan saja—dari masa kecilku yang berantakan tapi lucu, sampai remaja yang penuh drama persahabatan, dari cinta pertama yang polos banget sampai dunia kerja yang bikin kepala panas… semuanya bikin aku berpikir, “Kalau aku nggak catat, bisa-bisa kelak lupa sama semua pelajaran hidup ini.”

Masa kecilku? Ah, jangan dibayangkan seperti anak-anak film Disney yang manis-manis itu. Aku lahir dan tumbuh di kompleks bandara—iya, tepat di tengah hiruk-pikuk pesawat lepas landas, suara ATC yang kadang bikin telinga panas, dan tetangga yang kadang lebih heboh daripada televisi. Dari situ aku belajar banyak hal: bagaimana beradaptasi dengan orang berbeda karakter, bagaimana berteman, dan—yang paling penting—bagaimana tertawa walau keadaan nggak selalu ideal.

Masuk masa remaja, dunia terasa lebih dramatis. Ada cinta pertama yang bikin dag-dig-dug tiap lihat dia, ada persahabatan yang kadang bikin aku mau geleng-geleng kepala karena tingkah konyol teman-teman, dan ada juga pertarungan kecil yang bikin aku sadar, bahwa keberanian itu bukan soal memukul balik, tapi tahu kapan harus berdiri tegak dan minta maaf. Percayalah, masa-masa itu penuh warna… dan kadang warna-warni itu bikin kamu sakit kepala, tapi juga bikin kenangan jadi manis.

Kuliah dan dunia kerja? Wah, itu cerita panjang. Di kampus aku belajar jati diri, menemukan teman sejati, dan—tentu saja—mendapatkan pengalaman pahit manis yang bikin aku sedikit lebih dewasa. Dunia kerja mengajarkanku tentang tanggung jawab, integritas, dan kadang, rasa frustasi yang membuat kamu pengin nangis sambil ketawa. Tapi semua itu adalah batu loncatan, membentuk siapa aku sekarang.

Dan soal cinta… oh, itu cerita panjang. Dari cinta pertama, pernikahan, kehilangan yang mengejutkan, sampai pernikahan kedua yang datang bersamaan dengan pukulan hidup lainnya, aku belajar satu hal: cinta itu bukan sekadar perasaan hangat di hati, tapi ujian kesabaran, keberanian, dan keikhlasan. Kehilangan orang yang kita cintai itu sakit, tapi dari situ kita belajar untuk tetap berdiri, untuk terus melangkah, dan yang terpenting… untuk tetap membuka hati.

Kenapa semua ini aku tulis? Bukan untuk pamer atau mencari simpati. Aku menulis karena aku ingin berbagi—bahwa hidup itu guru paling lengkap. Semua fase, tawa, luka, cinta, persahabatan, sampai tanggung jawab keluarga, semuanya adalah madrasah kehidupan. Dan di setiap halaman buku ini, aku ingin kamu bisa tersenyum, merenung, bahkan meneteskan air mata, sambil sadar bahwa nilai sejati hidup bukan diukur dari harta, gelar, atau panggung megah… tapi dari keberanian menjaga nilai, kerendahan hati untuk belajar, dan keikhlasan memberi manfaat bagi sesama.

 

Kalau hidupku ini puisi, mungkin nadanya seperti ini:

Hidup ini bukan soal cepat atau lambat,
tetapi tentang seberapa dalam kita memaknainya.
Setiap luka adalah pelajaran,
setiap tawa adalah pengingat bahwa kita pernah bahagia.
Sahabat datang dan pergi,
cinta kadang tumbuh lalu layu,
namun nilai yang kita jaga—itulah yang menetap.
Allah menghadirkan sakit bukan untuk melemahkan,
melainkan agar kita belajar ikhlas,
belajar kuat,
belajar pulang hanya kepada-Nya.
Maka berjalanlah dengan hati yang ringan,
karena pada akhirnya,
yang abadi hanyalah jejak kebaikan
yang kita tinggalkan di dunia ini.

Jadi, selamat datang di kehidupanku. Duduklah sebentar, tarik napas, dan bersiaplah menelusuri perjalanan seorang manusia biasa yang mencoba memahami dirinya sendiri. Ada tawa, ada air mata, ada cinta, ada kehilangan, tapi yang paling penting… ada pelajaran hidup yang semoga bisa kamu bawa pulang. Dan percayalah, kadang hanya dengan sedikit humor dan senyum, luka terbesar pun terasa lebih ringan.

CATATAN SEORANG PENONTON YANG KINI DIMINTA BICARA

Ada masa dalam hidupku ketika aku lebih sering diam. Bukan karena aku nggak punya suara, tapi karena aku merasa suaraku tak akan mengubah apa-apa. Aku duduk di belakang, jadi penonton kehidupan orang lain, memperhatikan dengan takjub orang-orang yang tampak begitu yakin dengan arah hidup mereka. Sementara aku? Masih sibuk mencari pintu keluar dari labirin pikiran sendiri.

Lalu, kenapa aku menulis buku ini? Karena ternyata… hidup yang penuh keraguan, kegagapan, kecanggungan, dan keheningan itu justru menyimpan begitu banyak pelajaran. Dari balik diamku, muncul ledakan refleksi yang kadang bikin malu, kadang bikin lucu. Dan aku yakin, banyak orang di luar sana pernah—atau sedang—merasa seperti aku: kecil, ragu, merasa tak cukup, dan bingung harus mulai dari mana.

Buku ini bukan tentang kesuksesan besar yang bikin orang bertepuk tangan. Ini bukan kisah viral yang ditayangkan di TV atau koran. Ini adalah kisah nyata, jujur, dan tumbuh perlahan. Tentang seseorang yang awalnya tak berani tampil, tapi akhirnya belajar berdiri di panggung hidupnya sendiri.

Aku dulu hampir seluruh energiku terkumpul di dalam: diam, mengamati, berpikir, merasa, membayangkan. Hidupku terasa seperti memproses, bukan menyalurkan. Tapi menyimpan energi terlalu lama ternyata bikin gelisah, overthinking, dan muncul rasa, "Kenapa aku begini terus?" Pintu perubahan terbuka saat aku memberanikan diri melangkah. Aku mulai ikut kegiatan, menjadi bagian dari tim kecil, bicara satu-dua kalimat di forum, atau menawarkan diri mengurus konsumsi—ya, karena kalau bicara masih takut, ya bantu diam-diam dulu aja.

Ternyata bergerak itu bukan soal berani dulu baru jalan. Jalan dulu, nanti keberanian ikut datang. Energi pasifku perlahan berubah menjadi aktif, sedikit demi sedikit. Dengan kebiasaan kecil—mencatat, bertanya, mencoba, tertawa atas kegagalan, dan belajar mencintai proses—aku mulai tahu bahwa diam bukan tanda ketidakmampuan. Diam hanya belum tahu arah. Dan begitu arah mulai tampak, aku berubah: dari pengamat jadi pelaku, dari pendengar jadi penyampai, dari penunggu jadi penjemput makna.

Menemukan jati diri ternyata bukan soal menemukan versi paling hebat dari diriku—paling cerdas, paling mengesankan. Menemukan jati diri adalah berdamai dengan apa adanya. Aku nggak harus jadi si paling cerewet, si paling vokal, atau si paling aktif untuk punya pengaruh. Aku hanya perlu menjadi versi paling jujur dari diriku sendiri. Menemukannya bukan di panggung besar, tapi dalam kesunyian: di tengah malam di asrama, saat ditolak cinta, dalam tawa kecil teman yang nggak menilai, dan sujud yang diam-diam tapi dalam.

Sekilas tentangku: di pagi yang cerah, 29 Mei 1972, lahirlah seorang bayi laki-laki di Denpasar—yang kelak dipanggil Nucky. Nama panggilan sederhana untuk seseorang yang punya nama resmi panjang dan berkelas: Rahadhian Inu Kertapati. Kalau dengar namanya, orang bisa mikir, "Wah, ini kayak pangeran dari novel Jawa klasik." Ya… nggak salah juga sih.

Aku lahir dari perpaduan dua darah biru. Ayahku berdarah Madura, keturunan KH. Moh. Kholil Bangkalan, ulama besar yang melahirkan banyak guru dan pendiri Nahdlatul Ulama. Ibuku berdarah Solo, keturunan trah Mangkunegara I, tokoh penting sejarah Kerajaan Islam Jawa Tengah. Jadi kalau kamu mikir nama “Inu Kertapati” itu pangeran zaman Majapahit… ya memang itu niatnya!

Pengaruh paling kuat datang dari Eyangku, RA. Kusbandi, semacam “grandmaster tata krama Jawa.” Dari salam, posisi tangan, cara tersenyum, sampai bahasa Jawa yang pas—ngoko, kromo, kromo inggil—semua diajarkan serius. Hasilnya? Mental dan karakternya terbentuk sopan, santun, tapi tegas dan berprinsip. Perpaduan pesantren, keraton, dan bandara.

Ya, bandara. Ayahku bekerja di Pelabuhan Udara Tuban (sekarang Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai), jadi aku tumbuh akrab dengan suara mesin pesawat dan deru landasan. Pendidikan dimulai dari TK Wipara, SD Ngurah Rai, SMP Cipta Dharma, lalu SMA Negeri 1 Denpasar jurusan Fisika—jurusan yang bikin rumus percepatan dan medan magnet hadir dalam mimpi buruk. Lulus SMA, kuliah di Malang, jurusan Ekonomi Akuntansi, sambil membawa pulang lebih dari sekadar ijazah: kenangan indah dan jodoh hidupku.

Sekarang, aku dikenal sebagai sosok tegas tapi santun, berpikiran modern tapi berakar kuat pada tradisi. Anak bandara, darah pesantren, trah keraton, lulusan ekonomi, dan tetap rendah hati. Semua itu mengajarkanku satu hal: akar leluhur, pendidikan, dan pengalaman hidup hanya bermakna jika dijalani dengan rendah hati. Kemuliaan sejati bukan asal-usul atau gelar, tapi bagaimana kita menjaga prinsip, tradisi, dan kebaikan dalam setiap langkah.

Dan itulah alasan aku menulis buku ini: bukan sekadar bercerita tentang diri sendiri, tapi berbagi pelajaran hidup—tentang diam, keberanian, kesalahan, tawa, cinta, kehilangan, dan kebangkitan—supaya pembaca bisa ikut merasakan bahwa hidup ini, pada akhirnya, adalah madrasah terbesar yang pernah kita jalani.

 lanjut baca ke   https://nucky-nucky.blogspot.com/2025/12/2-kompleks-bandara-dunia-kecil-yang.html








Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...