Langsung ke konten utama

3 - MENAPAKI DUNIA DI LUAR KANDANG

 





1985 di hari-hari terakhir menjelang kelulusan itu rasanya seperti berdiri di depan pintu besar yang lama terkunci. Pintu tua, berderit, warnanya sudah pudar, tapi di baliknya entah apa. Gelap? Mungkin. Menakutkan? Bisa jadi. Tapi justru di situlah rasa penasaran tumbuh. Deg-degan, iya. Tapi tetap sok santai, biar kelihatan dewasa dikit. Padahal dalam dada, jantung lari maraton tanpa pemanasan.

Di lapangan sekolah, bangku-bangku plastik disusun rapi. Teman-teman berdiri berkelompok. Ada yang ketawanya keras banget, padahal matanya merah kayak habis ngupas bawang sekampung. Ada yang sok kuat, bahunya tegap, tapi hidungnya memerah dan napasnya berat. Ada juga yang sibuk foto-foto, kamera sana-sini, takut kalau kenangan ini keburu kabur sebelum sempat ditangkap lensa.

Aku ikut tersenyum. Ikut ketawa. Ikut berdiri di tengah keramaian. Tapi di dalam, ada satu ruang sunyi yang cuma aku yang masuk.

Malam sebelum acara perpisahan, aku duduk di kamar. Meja belajar tua dengan cat mengelupas itu menatapku seperti saksi bisu enam tahun perjalanan. Di atasnya, terlipat rapi seragam putih—yang sebentar lagi tak akan pernah benar-benar putih lagi.

Aku menyentuh kainnya pelan.

“Besok kamu nggak akan putih lagi,” bisikku sambil senyum kecil. “Tapi semoga tetap jadi saksi langkah-langkah baru.”

Lucu ya, betapa benda yang biasanya kita anggap remeh bisa tiba-tiba jadi penting di saat-saat seperti ini. Seragam itu bukan cuma kain. Ia menyimpan jatuh bangun, takut ujian, senang naik kelas, dimarahi guru, dan tawa di sela-sela jam kosong. Ia seperti teman lama yang harus dilepas, walau hati belum sepenuhnya rela.

Hari Perpisahan: Saat Hati Kalah oleh Kenangan

Siang itu panggung di lapangan sekolah dihiasi lampu dan kain warna-warni. Cuaca mendung, entah benar-benar mendung atau cuma perasaanku yang ikut-ikutan. Musik instrumental mengalun pelan, bercampur tawa yang terasa dipaksakan dan napas yang ditahan-tahan.

Pertunjukan demi pertunjukan berjalan.
Drama yang lucunya kebangetan sampai aku lupa kalau ini hari terakhir.
Puisi yang menusuk tempat-tempat sunyi di hati—yang bahkan aku sendiri jarang kunjungi.

Dan di satu titik… aku kalah.

Aku menunduk, tersenyum kecut. Di kepalaku muncul bayangan diriku yang lebih kecil: polos, apa adanya, belum kenal patah hati, belum tahu kehilangan, belum paham bahwa hidup itu sering lebih rumit dari soal matematika dengan tiga halaman.

Aku menepuk dada pelan. “Pelan-pelan ya,” kataku dalam hati. “Kita masih belajar.”

Buku Kenangan dan Pelukan yang Tak Dijadwalkan

Waktu itu belum ada corat-coret baju. Yang ada cuma buku kenangan kecil dengan halaman kosong yang kemudian penuh oleh pesan-pesan aneh tapi tulus. Ada nomor telepon rumah (yang sering salah satu digit), alamat yang tulisannya bikin pusing tukang pos, sampai gambar hati segede panci.

Ada yang nulis puitis.
Ada yang kebanyakan gambar.
Ada yang tulisannya kayak cacing lagi senam pagi.

Salah satu temanku yang biasanya paling ribut tiba-tiba menulis pelan:

“Ky, kamu mungkin pendiam… tapi kamu selalu ada. Makasih ya. Tetap jadi dirimu.”

Aku berhenti membaca.
Pesan sederhana, tapi hangatnya lama.
Ternyata, menjadi “ada” saja sudah cukup berarti bagi seseorang.

Pesan lain berbunyi:

“Jangan hilang ya. Kita ketemu lagi di masa depan.”

Aku tersenyum. Tapi di dalam hati aku tahu, perpisahan tidak pernah benar-benar menjanjikan pertemuan. Yang bisa kita jaga cuma doa, kenangan, dan rasa baik yang pernah dibagi.

Menyimpan Suara Masa Lalu

Sebelum pulang, aku berjalan pelan ke halaman sekolah. Tempat yang dulu terasa besar dan menakutkan, kini tampak kecil—tapi hangat. Angin malam berembus pelan, seolah tembok, lorong kelas, dan lapangan bermain berbisik:

“Terima kasih sudah tumbuh di sini.”

Aku menarik napas panjang.

“Mulai besok,” kataku pada diri sendiri, “aku harus lebih berani.”

Karena terkadang, yang menahan langkah kita bukan dunia di depan, tapi kenangan di belakang.

 

Cinta Masa Kecil: Guru yang Datang Tanpa Syarat

Kalau aku memejamkan mata dan membiarkan angin sore lewat, kenangan masa kecil sering datang tanpa permisi. Kayak tamu lama yang datang pakai sandal jepit, bawa nostalgia, dan duduk santai di ruang hati.

Dan di antara semua itu, ada satu benang merah: cinta—yang polos, jujur, dan murni.

Semua bermula dari TK Wipara.
Tempat aku belajar bernyanyi fals, antri setengah niat, dan… pipi merah Merie.

Merie duduk di pojok ruangan, rambutnya diikat dua, pipinya merah kayak habis kena angin pagi. Setiap kali dia lewat, aku pura-pura sibuk nyari pensil. Padahal pensilku cuma satu dan nempel terus di tangan.

Suatu hari aku nekat.

“Tadi kamu… bagus nyanyinya.”

Keberanian sebesar kacang rebus.
Dia senyum.
Aku diam.
Guru lewat.
Momen selesai.

Tapi kenangan itu tinggal lama.

Di SD, cinta berubah bentuk. Duduk sebangku, main kasti, ulang tahun hasil nabung di kantor pos. Cinta hadir bukan dalam drama, tapi dalam hal-hal kecil: berbagi jajanan, nunggu teman beda agama berdoa, guru yang tetap tersenyum walau suara habis.

Cinta masa kecil tidak ribet.
Tidak pakai strategi.
Tidak pakai gengsi.
Ia hadir begitu saja.

Dan dari sanalah fondasi itu terbentuk.

 

Dunia di Luar Kandang

Tahun 1985, dunia terasa lebih luas dari kompleks bandara. Hari pendaftaran SMP Cipta Dharma, Papa nyetir, Mama di samping, aku di belakang—napas diatur kayak mau audisi TVRI.

“Tenang,” kata Mama. “Ini bukan daftar naik haji.”

Nomor pendaftaranku keluar: 01.

Papa senyum lebar. “Kayaknya kamu bakal jadi orang besar.”

Aku cuma nyengir. Mana ngerti takdir.

Di SMP itu aku belajar banyak: tentang minder, tentang sepatu bukan Nike, tentang sahabat, tentang keberanian menahan emosi, tentang menerima diri sendiri.

Aku bertemu Putra, anak kota yang baik hatinya. Frans, si jenius pendiam. Kami bertiga jadi Trio Gagal Gaya—beda-beda, tapi saling jaga.

Aku belajar bahwa dunia baru memang kadang bikin ciut, tapi selalu menyediakan tangan-tangan baik untuk yang berani melangkah.

Dan di situlah aku mengerti:
Hidup bukan soal dari mana kita datang, tapi mau jadi apa kita melangkah.

CATATAN NUCKY: Kadang, satu langkah keluar dari zona nyaman membuat dunia terlihat lebih terang. Kita diremehkan, lalu dikuatkan. Kita takut, lalu tertawa. Dan tanpa sadar, kita tumbuh—pelan-pelan, tapi pasti.

Dari seragam putih, buku kenangan, cinta masa kecil, sampai sepatu bukan Nike—
semuanya mengajarkanku satu hal: untuk terbang, kita harus berani meninggalkan tanah

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...