ALL I AM


UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :



Hidup mempertemukan dua manusia yang sama-sama pengin disayang tapi trauma buat berharap, sama-sama ingin dekat tapi refleks pasang pagar, sampai akhirnya sadar bahwa cinta itu bukan soal jadi pahlawan yang selalu kuat, melainkan keberanian bilang, “Aku nggak sempurna, kadang capek, kadang salah, kadang pengin nyerah,” lalu tetap memilih tinggal, saling pegang tangan, saling menunggu, sambil ketawa kecil karena ternyata value paling mahal dalam hidup bukan kesempurnaan, tapi kejujuran dan keberanian untuk berjalan bareng meski hati masih penuh bekas luka.

Mereka tidak bertemu di momen paling keren dalam hidup masing-masing. Tidak ada latar hujan romantis, tidak ada musik pelan yang sengaja diputar semesta. Mereka bertemu di fase hidup yang agak berantakan—pikiran penuh, hati setengah kosong, dan senyum yang kadang dipaksakan demi terlihat “baik-baik saja”. Dua manusia saling memandang dengan perasaan yang sama: berharap bisa dekat, tapi takut kalau harus kecewa lagi. Harap ingin disayang, takut kalau ternyata hanya singgah.

Ia datang bukan sebagai sosok yang ingin dipuja. Tidak membawa janji akan selalu kuat, tidak menawarkan masa depan versi brosur pernikahan. Yang ia bawa cuma kejujuran yang sedikit bergetar: “Aku manusia biasa. Kadang kesepian, kadang rapuh, kadang pengin nyerah tanpa alasan jelas.” Kalimat itu tidak terdengar heroik, tapi justru di sanalah keberaniannya. Ia tidak menjual mimpi, hanya menyerahkan hati—tanpa garansi, tanpa asuransi perasaan.

Di hadapannya, berdiri seseorang yang juga menyimpan luka. Senyumnya hangat, tapi ada ketakutan yang belum sepenuhnya sembuh. Ia ingin percaya, tapi pengalaman mengajarkannya untuk waspada. Maka mereka berdiri di jarak yang aman, saling menimbang: kalau aku melangkah satu langkah, apakah kamu akan tinggal atau pergi? Lucunya, dua-duanya ingin didekati, tapi sama-sama takut membuka pintu.

Hari-hari berikutnya diisi percakapan sederhana. Tentang lelah bekerja, tentang mimpi yang tertunda, tentang hal-hal kecil yang sering disepelekan tapi justru paling jujur. Mereka belajar bahwa cinta bukan selalu tentang kata-kata manis, tapi tentang mau mendengar tanpa menyela, mau tinggal tanpa diminta. Ada hari tawa terasa ringan, ada hari diam terasa berat. Ada momen salah paham yang bikin hati mendidih, tapi juga ada momen di mana satu kalimat sederhana bisa meredakan segalanya: “Aku masih di sini.”

Pelan-pelan mereka paham, cinta bukan soal menyelamatkan satu sama lain seperti pahlawan dalam cerita besar. Tidak ada yang benar-benar diselamatkan—yang ada hanya dua manusia yang memilih untuk tidak lari. Mereka berjalan berdampingan, kadang tertatih, kadang tertawa menertawakan diri sendiri. Tentang ego yang masih suka muncul, tentang cemburu yang datang tanpa undangan, tentang betapa sulitnya jadi dewasa tanpa kehilangan sisi manusiawi.

Dan di titik tertentu, mereka berhenti berharap pada kesempurnaan. Mereka berhenti menuntut untuk selalu kuat, selalu bahagia, selalu benar. Yang tersisa hanya satu keinginan sederhana: berjalan bersama, sejauh yang bisa. Karena cinta, pada akhirnya, bukan tentang menjadi segalanya bagi seseorang, tapi tentang berani berkata jujur, “Aku tidak sempurna, hidupku juga belum rapi, tapi kalau kamu mau, aku ingin menjalani hari-hari ini bersamamu.” Di situlah nilai kehidupan manusia terasa paling nyata—rapuh, jujur, dan indah justru karena ketidaksempurnaannya.

Dan setelah semua itu, mereka mulai menyadari satu hal yang pelan tapi dalam: berjalan bersama bukan berarti hidup otomatis jadi mudah. Masalah tetap datang tepat waktu, tagihan tetap jatuh tempo tanpa peduli perasaan, dan luka lama kadang muncul lagi di saat yang tidak sopan. Ada hari ketika salah satu ingin menyerah, bukan pada cinta, tapi pada hidup itu sendiri. Di momen-momen seperti itu, yang lain tidak datang membawa solusi cerdas atau ceramah panjang—cukup duduk di samping, menawarkan bahu, dan berkata setengah bercanda, setengah serius, “Tenang, hari ini kamu boleh lelah, besok gantian aku yang kuat.”

Mereka belajar bahwa cinta tidak selalu berbentuk pelukan hangat atau kata manis yang bikin meleleh, kadang justru hadir sebagai kesabaran saat emosi naik, sebagai pilihan untuk tidak membalas luka dengan luka. Ada saat mereka berbeda pendapat, bahkan bertengkar kecil karena hal sepele—hal yang setelahnya terasa konyol, seperti debat panjang soal hal yang sebenarnya tidak penting. Tapi dari situ mereka belajar satu nilai hidup yang jarang disadari: mempertahankan hubungan bukan soal menang argumen, tapi soal menjaga hati.

Waktu terus berjalan, dan mereka pun berubah. Tidak selalu jadi versi terbaik, tapi jadi versi yang lebih jujur. Mereka tidak lagi berusaha tampil hebat, tidak sibuk membuktikan siapa paling kuat. Mereka saling melihat apa adanya—dengan lelah, dengan takut, dengan kekurangan yang kadang menyebalkan. Namun justru di sanalah tumbuh rasa aman, karena dicintai tanpa harus berpura-pura adalah kemewahan yang langka.

Akhirnya mereka paham, cinta bukan tentang janji besar yang diucapkan lantang, melainkan pilihan kecil yang diulang setiap hari: untuk tinggal, untuk mendengar, untuk memaafkan, dan untuk tetap berjalan meski langkah tidak selalu seirama. Dua manusia biasa, tanpa mahkota, tanpa gelar pahlawan—hanya hati yang berani jujur dan tekad sederhana untuk tidak meninggalkan satu sama lain, selama masih ada hari yang bisa dijalani bersama.

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN