LOVE ME LIKE THERE’S NO TOMORROW
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Kami duduk berhadapan di kafe kecil yang dulu jadi saksi banyak rencana besar. Meja kayunya masih sama, kopinya masih pahit kalau diminum tanpa gula, tapi kami—entah sejak kapan—sudah berubah. Tidak ada pertengkaran besar, tidak ada teriakan, apalagi drama lempar piring. Yang ada justru sunyi. Sunyi yang terlalu rapi, terlalu sopan, sampai terasa kejam. Dari cara kami saling menatap, kami sama-sama tahu: cinta ini belum habis, tapi jalannya sudah buntu.
Lucunya, cinta jarang benar-benar berakhir karena benci. Ia sering mati pelan-pelan karena arah hidup yang tidak lagi sejalan. Aku ingin menetap, kau ingin pergi. Aku ingin pulang, kau ingin terus berjalan. Dan kami terlalu dewasa untuk saling menyalahkan, tapi terlalu manusia untuk tidak merasa kalah. Ada penyesalan yang nyempil diam-diam—tentang kata-kata yang tak sempat diucapkan, pelukan yang dulu ditunda karena gengsi, dan rencana-rencana yang kini tinggal kenangan manis sekaligus perih.
“Kita masih punya hari ini,” katamu sambil tersenyum kecil, senyum yang berusaha kuat tapi matanya bocor duluan. Aku hampir tertawa karena kalimat itu terdengar seperti diskon terakhir sebelum toko tutup. Tapi justru di situlah kejujurannya. Hari ini adalah satu-satunya milik kami. Besok, hidup akan membawa kami ke alamat yang berbeda, dengan nama panggilan yang mungkin tak lagi sama.
Hari itu kami memutuskan hal paling sederhana sekaligus paling sulit: mencintai tanpa perhitungan. Tidak membahas masa depan, tidak menghitung siapa lebih berkorban. Kami berjalan kaki tanpa tujuan, tertawa di hal-hal receh seperti papan reklame aneh dan lagu lama yang tiba-tiba diputar dari warung. Aku mengejek caramu berjalan terlalu cepat, kau mengejek caraku yang selalu salah belok. Humor kecil itu seperti plester di luka—tidak menyembuhkan, tapi cukup membuat hari terasa layak dijalani.
Di sela tawa, ada jeda-jeda sunyi yang berat. Di situlah kesepian duduk, menunggu giliran bicara. Kesepian yang bukan karena sendiri, tapi karena tahu sebentar lagi akan benar-benar sendiri. Namun anehnya, justru di sana kami paling jujur. Aku mengakui ketakutanku, kau mengakui keraguanmu. Tidak ada janji kosong. Tidak ada “nanti kita lihat lagi.” Hanya pengakuan polos: kita pernah saling mencintai, dan itu nyata.
Malam datang terlalu cepat. Kami berdiri di tempat yang sama seperti awal kami bertemu dulu. Kau memelukku, lama. Pelukan yang tidak meminta ditahan, tidak memohon dilanjutkan. Pelukan yang berkata, “Terima kasih sudah mencintai aku sebisanya.” Aku membalasnya dengan kalimat yang sederhana, tapi paling jujur malam itu, “Cintai aku seperti tak ada hari esok.” Dan kau melakukannya—dengan pelukan, dengan tatapan, dengan kehadiran utuh di detik terakhir.
Saat kami akhirnya berpisah, rasanya seperti menutup buku favorit. Sedih, iya. Tapi juga lega karena ceritanya dibaca sampai halaman terakhir, tidak ditinggalkan di tengah. Aku belajar sesuatu hari itu: hidup tidak selalu memberi kita akhir bahagia, tapi hampir selalu memberi kita kesempatan untuk bersikap manusiawi. Untuk jujur. Untuk hangat. Untuk mencintai tanpa sisa, meski hanya sebentar.
Karena pada akhirnya, ketika masa depan tidak pasti dan perpisahan tidak terelakkan, yang paling berharga bukan berapa lama kita bersama, tapi bagaimana kita hadir di saat itu. Dan hari itu, kami hadir sepenuhnya. Seperti tidak ada hari esok.