2045 – MUHAMMADIYAH, NU, DAN PERTARUHAN GENERASI DIGITAL (GEN Z & ALPHA)
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Banyak referensi tentang betapa beratnya tantangan hidup di masa depan — krisis moral, krisis ekologi, ketimpangan sosial, dan kegelisahan batin manusia modern — aku terdiam lama. Lalu muncul pertanyaan yang menohok: apa sebenarnya yang bisa kita wariskan?
Bukan harta yang paling bernilai, bukan jabatan yang paling tinggi. Mungkin yang paling layak kita tinggalkan hanyalah jejak nilai — tentang bagaimana kita mencintai dengan tulus, berjuang dengan jujur, dan bertahan dengan sabar di tengah dunia yang makin riuh ini.
Karena ketika dunia semakin bising, warisan terbaik kita mungkin bukan kata-kata besar… tapi keteladanan kecil yang diam-diam menginspirasi.
Tahun 2045 Indonesia genap seratus tahun merdeka — usia
yang, kalau diibaratkan manusia, mestinya sudah bijak, tenang, berwibawa, dan
paham arah hidupnya. Tapi negeri ini tak lagi seperti yang dulu kita kenal.
Masjid kini menjulang megah dengan kubah hologram, karpetnya
otomatis membersihkan diri, dan lampu LED-nya bisa berubah warna sesuai tema
dakwah. Tapi anehnya, shaf Subuh tetap saja renggang. Kadang yang paling rajin
datang justru robot pembersih lantai, bukan manusia.
Ustaz kampung, yang dulu jadi tempat curhat warga soal jodoh,
utang, dan anak yang susah bangun subuh, kini kalah tenar oleh Ustaz TikTok
— berdakwah dengan filter kucing dan backsound lo-fi. Kajian agama tak lagi di
serambi masjid, tapi di ruang maya bernama AI Dakwah Hub. Fatwanya bisa
dipesan sesuai selera:
“Saya mau fatwa yang ringan-ringan aja, ya. Jangan yang terlalu
menghakimi.”
Lucu, tapi juga sedih. Karena dari situ muncul satu pertanyaan
besar yang menampar hati kita semua:
Di mana Muhammadiyah dan NU saat itu?
Apakah mereka masih tegak sebagai pelita umat, atau sudah berubah jadi museum
ideologi — megah dari luar, tapi sunyi di dalam?
Generasi Abu-Abu dan Dunia Tanpa Batas
Anak-anak muda 2045 adalah Generasi Z dan Alpha — mereka lahir
dengan jempol yang lebih cepat dari lidah, dan pikirannya lebih sering nyasar
ke dunia digital daripada ke papan tulis. Mereka bisa ikut ngaji online di
Jepang pagi hari, lalu malamnya debat filsafat dengan teman dari Kanada lewat
Discord.
Mereka bukan generasi yang anti agama. Tidak. Mereka hanya alergi
pada cara lama menyampaikan agama.
Mereka tidak tertarik dengan rapat formal yang hasilnya “akan dibahas lagi
minggu depan.” Mereka ingin ruang interaktif — tempat mereka bisa bertanya,
tertawa, dan menangis dalam satu sesi live streaming.
Sementara sebagian ormas masih sibuk menyiapkan format rapat dan
daftar hadir, anak muda sudah bikin startup dakwah yang bisa mendeteksi
kadar keikhlasan lewat ekspresi wajah.
Dunia mereka cepat, cair, dan menuntut relevansi — bukan formalitas.
Ketika Otoritas Pindah ke Dunia Digital
Dulu, fatwa dikeluarkan setelah musyawarah panjang para ulama.
Sekarang, otoritas agama pindah ke tangan kreator konten.
Orang lebih percaya pada “Ustaz FYP” yang punya dua juta follower, daripada
ulama sepuh yang menulis kitab selama dua puluh tahun.
Di zaman ini, konten jadi raja, algoritma jadi mufti.
Yang viral dianggap benar. Yang bijak sering dicap membosankan.
Kalau Muhammadiyah dan NU tidak segera membangun ekosistem dakwah
digital, mereka hanya akan jadi penonton — di panggung yang dulu mereka dirikan
sendiri. Dunia dakwah sudah bergeser, bukan lagi siapa yang paling hafal kitab,
tapi siapa yang paling bisa menyentuh hati lewat layar.
Krisis Regenerasi: Ketika Anak Muda Pergi
Bahaya terbesar bukan pada teknologi, tapi pada ego generasi.
Generasi tua masih sibuk bilang, “Dulu juga begini berhasil, kok.”
Sementara generasi muda mulai frustasi karena setiap ide mereka ditolak dengan
kalimat, “Belum saatnya, Nak.”
Akhirnya mereka pergi.
Bukan karena tidak cinta, tapi karena tidak diberi ruang untuk tumbuh.
Ironisnya, mereka membawa nilai-nilai asli ormas: tajdid,
wasathiyah, dan semangat pelayanan umat — tapi dalam bentuk gerakan baru yang
tak lagi memakai nama Muhammadiyah atau NU.
Perpecahan pun terjadi, bukan karena beda ideologi, tapi karena ketidakmampuan
mengelola perubahan.
Ketika Amal Usaha Kalah oleh Korporasi
Dulu, sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan ormas jadi pilar
bangsa.
Tapi di 2045, NGO internasional dan korporasi global melaju jauh lebih cepat.
Mereka punya big data, teknologi AI, dan efisiensi super tinggi.
Sementara sebagian amal usaha ormas masih sibuk dengan tanda
tangan manual dan laporan keuangan di kertas buram.
Kalau tidak berubah, sejarah pengabdian bisa hilang — bukan karena kalah niat,
tapi kalah adaptasi.
Tapi Tidak Semua Harus Kelam
Bayangkan, seorang kader Muhammadiyah memimpin AI Dakwah Global,
menciptakan sistem tafsir interaktif yang menjangkau jutaan jiwa.
Atau seorang santri NU menjadi arsitek Metaverse Pesantren, tempat murid
dari seluruh dunia bisa ngaji langsung dengan kiai virtual yang santun dan
berilmu.
Semua itu bisa terjadi — asal ormas hari ini berani membuka ruang.
Bukan sekadar memberi tugas, tapi memberi kepercayaan.
Bukan sekadar berkata, “Nanti kalau kamu sudah senior,” tapi, “Sekarang
giliranmu mencoba.”
Dakwah Masa Depan: Multi-Layar, Multi-Rasa
Dakwah masa depan bukan lagi ceramah satu arah.
Umat ingin interaksi, personalisasi, dan koneksi emosional.
Mereka ingin merasa didengar — bukan hanya disuruh mendengar.
Bayangkan bentuknya:
- Podcast
spiritual yang ringan tapi ngena.
- Konten
visual dengan narasi yang menyentuh dan jenaka.
- Kelas
tafsir berbasis AI yang interaktif.
- Platform
digital untuk fatwa lintas mazhab.
Dakwah masa depan adalah multi-layar, bukan mimbar tunggal.
Namun semangatnya tetap sama: menebar rahmat, bukan debat.
Indonesia dan Cahaya Islam Dunia
Indonesia berpotensi besar jadi pusat ekonomi Islam dunia 2045.
Kuncinya: kemandirian umat.
Muhammadiyah dan NU bisa membangun fintech syariah
komunitas, menggerakkan ekonomi kreatif Islami, dan menyatukan amal usaha lewat
sistem digital global.
Tapi di atas semua itu, yang paling penting adalah jiwa moderasi.
Dunia 2045 akan makin terbelah: antara ekstremisme yang kaku dan
sekularisme yang dingin.
Dan di tengah itu, Islam moderat ala Muhammadiyah dan NU bisa jadi pelita —
asal tidak berhenti di spanduk konferensi.
Diri Kita di Tengah Algoritma
Tantangan terbesar ormas bukan cuma teknologi, tapi menjaga niat
di tengah logika pasar digital.
Platform lebih menghargai viralitas daripada kedalaman.
Kalau ormas ikut arus demi eksposur, bisa kehilangan ruh.
Tapi kalau terlalu puritan, bisa kehilangan generasi.
Maka, yang dibutuhkan bukan sekadar transformasi teknologi, tapi inovasi
cara berpikir.
Bagaimana nilai-nilai Islam klasik dikemas dengan bahasa modern — tanpa
kehilangan maknanya.
Langkah Menuju Indonesia Emas
- Digitalisasi
total – riset dakwah digital, big data umat, dan AI Islam.
- Regenerasi
visioner – beri ruang anak muda untuk memimpin inovasi.
- Ekosistem
kolaboratif – bersatu membangun platform dakwah bersama.
- Bahasa
ideologi baru – ubah nilai klasik jadi narasi pop lintas generasi.
- Transformasi
amal usaha – jadikan lembaga sosial sebagai pusat inovasi digital.
Menjadi Pemimpin, Bukan Penonton
Semua ini bukan sekadar ramalan, tapi cermin bagi kita hari ini.
Apakah Muhammadiyah dan NU akan tetap jadi penjaga peradaban, atau sekadar
penonton sejarah?
Masa depan tidak ditentukan oleh umur organisasi, tapi oleh
keberanian bertransformasi tanpa kehilangan arah.
Kalau ormas berani berubah tanpa kehilangan ruh, berinovasi tanpa kehilangan
akidah, maka dari Nusantara —
cahaya Islam bisa kembali menerangi dunia.
Dan di tahun 2045 nanti, mungkin seorang anak muda akan tersenyum
sambil menatap layar dan berkata dengan bangga:
“Kami adalah generasi digital,
tapi kami lahir dari rahim ormas yang tak pernah padam imannya.”