BELAJAR DARI PERJALANAN MUHAMMADIYAH

   UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :



(Sebuah Catatan Reflektif tentang Kecerdasan Sejarah dan Seni Bertahan Hidup)

Oleh: [Rahadhian Inu Kertapati/Nucky- Sekretaris PCM Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Propinsi Bali]

Kadang, di media sosial atau obrolan warung kopi yang penuh asap kopi sachet dan suara motor lewat, kita sering mendengar kalimat yang membuat kening berkerut:

“Ah, Muhammadiyah itu kan kenyang di Orde Baru. Terlalu dekat dengan kekuasaan.”

Kalimat itu sering diucapkan seolah Muhammadiyah adalah anak emas penguasa zaman itu. Tapi, benarkah begitu?
Yaa… kalau mau jujur, mungkin ada sedikit benarnya. Tapi hanya sedikit. Sisanya adalah potongan sejarah yang sering dilihat setengah mata—atau dibaca setengah halaman.

Saya jadi tergerak mencari tahu. Saya membaca, menelusuri, dan merangkai kembali kisah panjang Muhammadiyah. Dari situ saya belajar satu hal penting: Muhammadiyah bukan sekadar organisasi. Ia adalah gerakan panjang, lebih dari satu abad usianya, yang tumbuh bersama denyut sejarah bangsa.

Seperti manusia bijak yang telah menua, Muhammadiyah tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam, kapan menepi dan kapan melangkah. Kadang dianggap terlalu tenang, padahal sedang berpikir. Kadang dikira kompromis, padahal sedang realistis.
Dan yang paling penting—Muhammadiyah tetap teguh memegang nilai-nilai KH Ahmad Dahlan: berdiri di atas Al-Qur’an dan Hadis, sambil berani menatap masa depan Indonesia.

 

Masa Kolonial: Melawan dengan Otak, Bukan Otot

Kita mulai dari masa Hindia Belanda. Tahun 1922, Muhammadiyah mendaftarkan diri secara resmi ke pemerintah kolonial.
Sekilas terdengar aneh: “Lho, kok malah daftar ke penjajah?”
Tapi di situlah letak kecerdasan politiknya.

Muhammadiyah sadar, kalau mau mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan tanpa diganggu-gugat, mereka butuh payung hukum. Status badan hukum bukan bentuk tunduk, tapi strategi legal formal untuk bertahan.

Sementara Belanda sibuk menghitung pajak dan mengatur rakyat, Muhammadiyah diam-diam melahirkan generasi cerdas yang bisa membaca, berpikir, dan berani bermimpi.
Perlawanan mereka bukan dengan senjata, tapi dengan pena, ilmu, dan keteladanan.
Itu perlawanan paling elegan: melawan ketidakadilan dengan pendidikan.

 

Masa Pendudukan Jepang: Bertahan di Tengah Represi

Kemudian datang masa Jepang — masa yang bikin rakyat seperti direbus dalam air mendidih. Semua serba diawasi, semua dibatasi. Tapi Muhammadiyah tetap tidak padam.

Tokohnya, K.H. Mas Mansur, ikut dalam Masyumi yang diinisiasi Jepang. Sekilas seperti tunduk. Tapi kalau dicermati, ini strategi bertahan hidup.
Daripada dakwahnya dibungkam total, lebih baik ikut arus sesaat, tapi tetap pegang kemudi.

Di tengah represi dan propaganda, Muhammadiyah tetap menjaga denyut kehidupan dakwah. Itulah pelajaran besar: tidak semua bentuk diam berarti kalah, kadang itu cara menjaga nyala lilin di tengah badai.

 

Era Revolusi: Dari Parit ke Meja Diplomasi

Saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Muhammadiyah tidak duduk manis di pinggir jalan sejarah.
Dari parit hingga meja diplomasi, kader Muhammadiyah memainkan perannya.

Jenderal Sudirman, sang panglima gerilya, adalah guru Muhammadiyah. Ia berperang dengan paru-paru tinggal separuh, tapi semangatnya utuh untuk negeri.
Di ruang perundingan, ada Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo—dua tokoh Muhammadiyah yang ikut merumuskan dasar negara.

Bayangkan, dari ruang kelas hingga ruang diplomasi, kader Muhammadiyah bekerja dalam senyap tapi berdampak. Mereka tidak hanya berdoa untuk kemerdekaan, tapi juga turun langsung memperjuangkan dan menjaganya.

 

Era Orde Baru: Strategi Aman, Bukan Penjinakan

Nah, ini masa yang sering disalahpahami.
Era Soeharto membuat banyak organisasi Islam berada di posisi sulit. Muhammadiyah memilih jalur akomodatif. Tapi jangan salah tafsir—itu bukan karena takut, melainkan karena mereka tahu cara main di masa itu: keras di depan, habis di belakang.

Muhammadiyah memutuskan untuk tidak menjadi partai politik. Itu langkah cerdas. Dengan begitu, mereka tidak dianggap ancaman oleh rezim.
Dan ketika banyak organisasi lain dibungkam, Muhammadiyah justru berkembang pesat.

Sekolah-sekolah Muhammadiyah menjamur, rumah sakitnya tumbuh di banyak kota, panti asuhannya mengasuh ribuan anak yatim tanpa pandang latar belakang.
Mereka tidak berteriak di jalan, tapi bekerja di lapangan.
Tidak sibuk berdebat di parlemen, tapi sibuk mengubah hidup orang lewat pendidikan dan pelayanan sosial.

Itulah trade-off politik yang cerdas. Muhammadiyah tidak kehilangan prinsip, tapi juga tidak membenturkan diri secara frontal.
Mereka memilih jalan tengah: tetap teguh, tapi fleksibel.

Seperti orang tua bijak di kampung, yang tahu kapan harus menasihati, kapan harus menahan lidah, agar anak-anaknya tetap bisa makan dan tumbuh.

 

Reformasi dan Zaman Kini: Tetap di Jalur, Meski Angin Berubah

Ketika reformasi datang dan politik terbuka lebar, Muhammadiyah tidak tergoda berubah jadi partai.
Mereka kembali pada khittah: dakwah dan pendidikan.

Kadernya boleh saja jadi tokoh politik, seperti Amien Rais. Tapi organisasi tetap menjaga jarak dari kekuasaan.
Di tengah politik yang penuh intrik dan ambisi, Muhammadiyah memilih fokus ke pemberdayaan masyarakat.

Lahir lembaga seperti Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), pusat riset kebangsaan, dan gerakan filantropi digital.
Di era ketika banyak orang sibuk membangun pencitraan, Muhammadiyah sibuk membangun peradaban.

 

Seni Bertahan Hidup dan Nilai Kecerdasan

Bagi saya, perjalanan Muhammadiyah ini seperti kisah manusia bijak yang sudah kenyang pengalaman hidup.
Tidak emosional, tidak reaksioner, tapi selalu bergerak dalam kerangka rasional.

Kedekatan dengan penguasa?
Bagi Muhammadiyah, itu bukan aib. Itu ruang dakwah.
Karena mereka paham, berjarak terlalu jauh membuat suara tak terdengar. Tapi terlalu dekat pun bisa kehilangan arah.

Maka mereka berdiri di garis tengah—tidak tunduk, tapi juga tidak melawan membabi buta.
Dan karena itulah, Muhammadiyah selalu survive di setiap zaman.
Dari penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi yang serba tak pasti, ia tetap kokoh berdiri.

 

 

 

Refleksi untuk Kita Hari Ini

Di era media sosial sekarang, banyak orang ingin tampak benar dan paling heroik.
Padahal, sejarah Muhammadiyah mengajarkan satu hal sederhana tapi dalam:

“Kadang, yang paling bijak bukan yang paling keras berteriak, tapi yang paling sabar bekerja dalam senyap.”

Muhammadiyah menunjukkan bahwa kekuatan sejati tidak datang dari sorakan, tapi dari keteguhan nilai dan konsistensi amal.
Sekolah yang berdiri, rumah sakit yang melayani, anak yatim yang tersenyum—itulah dakwah paling nyata.

Kita belajar bahwa mendekat pada kekuasaan bukan selalu tanda kompromi, asal niatnya untuk kemaslahatan.
Dan menjauh pun bukan selalu bukti idealisme, bila akhirnya membuat kita tak bisa berbuat apa-apa.

 

Muhammadiyah telah mengajarkan “seni bertahan hidup” yang luhur: tetap bergerak di tengah badai, tetap menebar manfaat di tengah bising dunia politik.

Dalam panggung sejarah bangsa ini, Muhammadiyah bukan penonton apalagi pengikut kekuasaan.
Ia adalah pemain cerdas yang tahu kapan harus melangkah, kapan menepi, dan kapan bersuara — selalu dengan satu tujuan:

“Menebar rahmat bagi umat dan bangsa.”

.

Ini bukan kompromi ideologis, tapi strategi survival yang cerdas.
Seperti kata pepatah: “Kalau tidak bisa melawan ombak, jadilah peselancar yang piawai menungganginya.”

 

Reformasi dan Era Kini: Tetap di Jalur, Meski Angin Berubah

Ketika Orde Baru tumbang dan pintu politik terbuka lebar, Muhammadiyah tidak tergoda untuk berubah jadi partai. Mereka ingat khittah-nya: dakwah dan pendidikan.
Memang ada kadernya yang masuk politik, seperti Amien Rais, tapi organisasi tetap berdiri di tengah—tidak menumpang pada kekuasaan siapa pun.

Bahkan, di masa demokrasi yang sering “kebablasan,” Muhammadiyah justru tampil dengan inovasi-inovasi baru: dari Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), pusat riset kebangsaan, sampai gerakan filantropi digital yang melintasi batas zaman.

 

Seni Bertahan Hidup dan Kecerdasan Politik

Kalau dirangkum, perjalanan Muhammadiyah ini seperti kisah manusia bijak: tidak gampang tersulut emosi, tapi juga tidak pernah menyerah.
Kedekatan dengan penguasa? Bagi Muhammadiyah, itu bukan aib, tapi ruang dakwah.

Bayangkan, kalau sejak dulu Muhammadiyah memilih frontal dan konfrontatif, mungkin sekolah dan rumah sakit yang sekarang jadi tumpuan jutaan umat itu tidak akan pernah ada. Kadang, bijak itu bukan berarti berani melawan, tapi tahu kapan harus menepi agar bisa terus berjalan.

Itulah the art of survival—seni bertahan hidup yang beradab.

 

Hikmah untuk Kita Hari Ini

Di zaman sekarang, di mana semua orang ingin tampak benar dan paling heroik di media sosial, kisah Muhammadiyah ini memberi pelajaran berharga:
Bahwa menjadi kuat bukan berarti harus berteriak.
Bahwa menjadi dekat dengan kekuasaan tidak selalu berarti kehilangan idealisme.
Dan bahwa bekerja dalam diam kadang lebih dahsyat daripada berdebat tanpa arah.

Muhammadiyah sudah membuktikan satu hal: berdakwah bukan hanya urusan mimbar, tapi juga soal cara berpikir dan bertindak dalam sistem yang terus berubah.

Kalau mau jujur, dunia ini butuh lebih banyak orang yang berpikir seperti itu — tenang, rasional, dan tulus dalam bekerja.
Sebab kadang, yang kita perlukan bukan revolusi besar, tapi langkah kecil yang konsisten untuk membangun manusia dan peradaban.

 

Dan di situlah letak kebesaran Muhammadiyah: bukan pada jumlah anggotanya, tapi pada kebijaksanaannya.
Bukan pada kekuatannya di politik, tapi pada keteguhannya menjaga nurani dan akal sehat.

Sejarah bukan soal siapa yang paling keras berteriak, tapi siapa yang paling lama bertahan sambil terus membawa manfaat.
Dan dalam babak panjang sejarah Indonesia, Muhammadiyah telah membuktikan bahwa diam pun bisa jadi dakwah, asal disertai niat dan kerja nyata untuk umat dan bangsa.

 

Apakah ini bentuk kompromi? Tidak.
Ini adalah bentuk kematangan.
Dan di dunia yang serba bising hari ini, mungkin justru kematangan seperti inilah yang paling kita butuhkan.

 

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN