ANTARA NYAMAN, BANGGA, DAN TENANG: SEBUAH PERCAKAPAN DENGAN DIRI SENDIRI
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Kadang aku suka mikir begini: sebenarnya, apa sih yang kita cari
dalam hidup ini?
Kita kerja keras, banting tulang, berjuang siang malam — katanya buat cari
“kebahagiaan.” Tapi pas udah dapet, anehnya, kok tetap aja ada rasa kosong yang
nggak bisa dijelaskan.
Kita pengin hidup nyaman — punya rumah yang adem, kendaraan yang
mulus, rekening yang aman, dan kopi susu yang bisa kita nikmati tiap sore tanpa
mikirin cicilan. Itu enak banget, nggak salah. Siapa juga yang mau hidup susah?
Tapi sering kali, kenyamanan itu cuma menenangkan tubuh, bukan menenangkan
hati.
Terus kita juga pengin sukses — biar orang lain lihat kita dengan
mata kagum, biar dibilang hebat, pintar, berprestasi. Dan jujur aja, itu juga
nikmat. Rasanya bangga kalau hasil kerja kita diakui, kalau nama kita dipanggil
di depan panggung, atau kalau orang tua bisa senyum bangga karena anaknya
“berhasil.” Tapi di balik semua itu, pernah nggak kamu ngerasa... hampa?
Kayak, “Oke, aku udah sampai sini. Terus, abis ini ngapain?”
Lucu ya. Kita sering kali lari sekuat tenaga ke arah yang bahkan
nggak yakin ujungnya di mana.
Kita kejar uang, padahal waktu yang hilang nggak bisa dibeli. Kita kejar
jabatan, tapi malah kehilangan orang-orang yang dulu selalu ada buat kita. Kita
kejar “lebih,” padahal yang kita butuh cuma “cukup.”
Dan di tengah semua kesibukan itu, kita lupa: ujung hidup ini
bukan di panggung penghargaan, bukan di kantor megah, bukan di rumah dua lantai
dengan pagar otomatis. Ujung hidup ini adalah kembali kepada Allah.
Kita kadang mencampuradukkan antara “mencari rezeki” dan “mencari
ridha.”
Padahal itu dua hal yang sama-sama baik, tapi beda arah. Rezeki bikin kita
punya, tapi ridha bikin kita tenang. Rezeki bisa dibagi, tapi ridha cuma bisa
dirasakan.
Aku jadi ingat satu momen kecil tapi nyantol banget.
Suatu hari, aku lagi sibuk banget — rapat ini, proyek itu, pokoknya otak
rasanya udah mau meledak. Pas magrib, aku duduk di teras rumah. Angin sore
pelan banget, suara adzan dari masjid kecil di ujung gang nyampai ke telinga.
Tiba-tiba aja, ada rasa hening. Tenang. Damai.
Bukan karena gajian baru cair. Bukan karena proyek sukses. Tapi karena... aku
ngerasa “pulang.”
Mungkin itu yang selama ini kita cari: bukan kenyamanan, bukan
kebanggaan, tapi ketenangan.
Karena yang tenang itu bukan dompet, tapi hati.
Yang damai itu bukan rumah megah, tapi jiwa yang tahu arah pulangnya ke mana.
Allah udah kasih petunjuknya lewat firman yang luar biasa lembut:
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
ridha dan diridhai...” (QS. Al-Fajr: 27–30)
Coba deh, bayangin kalau kalimat itu Allah tujukan langsung buat
kita.
Panggilan pulang yang hangat, yang bukan sekadar “selamat datang,” tapi
“selamat pulang, kamu sudah berjuang.”
Aku kadang senyum sendiri kalau mikir: betapa banyak waktu yang
kita habiskan untuk jadi “seseorang” di mata dunia, tapi lupa untuk jadi
“sesuatu” di mata Tuhan. Kita sibuk menghitung berapa banyak yang kita punya,
tapi jarang menghitung berapa banyak yang kita syukuri.
Padahal, dunia ini cuma tempat singgah.
Kita cuma numpang lewat — kayak orang mampir di rest area, beli teh botol,
istirahat sebentar, lalu lanjut jalan lagi. Tapi entah kenapa, banyak dari kita
yang malah bangun rumah di rest area itu, pasang pagar, bahkan bikin taman.
Padahal sebentar lagi juga berangkat lagi.
Dan lucunya, ketika hidup menampar keras — entah lewat kehilangan,
kegagalan, atau penyakit — baru kita sadar bahwa semua pencapaian dunia itu
cuma sementara. Yang abadi adalah rasa tenang karena merasa dekat
dengan-Nya.
Jadi kalau ditanya lagi, “apa yang sebenarnya kita cari?”
Mungkin jawabannya sederhana: bukan untuk terlihat berhasil di mata manusia,
tapi diterima dengan ridha di sisi Allah.
Sebab, kenyamanan itu bikin kita nyaman sementara.
Keberhasilan itu bikin kita bangga sesaat.
Tapi ketenangan dari iman, itu bikin kita bahagia selamanya.