PERJALANAN MENUJU SEMBUH PARIPURNA

   UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :



(Catatan Syukur dari Desember 2024 – November 2025)

 

Desember 2024 — Bulan yang Mengubah Segalanya

Hidup kadang berjalan seperti jalan raya yang tiba-tiba berlubang besar tanpa peringatan. Hari itu, aku jatuh. Separuh tubuh kiriku terkulai, bibirku mencong, kata-kataku cadel. Dokter menatapku dengan wajah serius dan berkata pelan,

“Pak, ini bapak kena stroke.”

Dunia seketika berhenti berputar.
Rasanya seperti menabrak dinding waktu. Tubuh yang dulu sigap dan penuh rencana, kini diam tak berdaya. Bahkan untuk sekadar mengucapkan “Alhamdulillah” saja, aku harus mengerahkan tenaga seperti menenteng karung beras lima kilo.

Aku menatap langit-langit rumah sakit, menahan tangis yang akhirnya jatuh juga. Di situ aku benar-benar merasa kecil. Lemah. Tidak punya kuasa apa-apa. Tapi justru di situ pula, aku mulai belajar apa artinya berserah diri. Bahwa manusia ini hanyalah tamu di bumi Allah, dan setiap nikmat — bahkan kemampuan menggenggam sendok — bisa diambil kapan saja.

“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.”
(QS. Asy-Syu’ara: 80)

 

Januari 2025 — Bab Baru Dimulai

Aku keluar dari rumah sakit. Kursi roda menjadi “kendaraan resmi” baruku. Tubuh masih berat sebelah, tapi hati terasa ringan — bebas dari aroma obat dan bunyi beep beep mesin monitor.

Hari itu aku berjanji pada diri sendiri:

Aku tidak akan menunggu sembuh. Aku akan menjemput kesembuhan itu.

Aku mulai menulis catatan harian kecil: setiap kedutan otot, setiap sensasi hangat, setiap gerak halus di jari kiriku.
Mungkin bagi orang lain itu tidak penting, tapi bagiku itu seperti pelukan lembut dari Allah — tanda bahwa aku masih diberi kesempatan memperbaiki diri.

 

Februari 2025 — Kabar Manis dan Semangat Baru

Kata dokter, kadar gula darahku sudah membaik. Tidak perlu lagi suntikan insulin setiap hari. Aku tersenyum — bukan hanya karena bebas dari jarum, tapi karena aku tahu: ini hasil dari kesabaran, doa, dan perubahan cara pandang terhadap hidup.

Tubuhku seolah berbisik pelan,

“Aku belum menyerah, tenang saja. Kita akan sembuh bersama.”

 

Maret 2025 — Sujud yang Berbeda Rasanya

Aku mulai bisa sholat lagi, meski masih di tepi ranjang.
Tapi anehnya, sujudku terasa lebih dalam dari sebelumnya.
Dulu aku sujud karena rutinitas. Sekarang karena kerinduan.

Di titik itu aku paham, kebebasan sejati bukanlah berjalan ke mana saja, melainkan terbebas dari kesombongan. Dari keyakinan palsu bahwa kita bisa segalanya tanpa Allah.
Dan setiap kali kening ini menyentuh sajadah, aku merasakan ketenangan yang tak pernah aku temukan di ruang HCU sekalipun.

 

April 2025 — Berdamai dengan Takdir

Aku berhenti bertanya, “Kenapa aku?”
Kini aku tahu, ini bukan hukuman — tapi kasih Allah dalam bentuk lain.
Sejak aku menerima semuanya dengan ikhlas, entah mengapa tubuhku mulai patuh.

Aku bisa berdiri dengan tongkat, berjalan lima meter, bahkan ikut rapat kecil lagi — walau masih gemetar dan lambat.
Aku tertawa dalam hati: rupanya benar, tubuh mulai sembuh ketika jiwa sudah berdamai.

 

Mei 2025 — Kembali ke Rumah Allah

Hari itu aku kembali ke Masjid Al Fattah untuk sholat Jumat.
Duduk di kursi roda, di barisan belakang.
Begitu imam mulai membaca,

“Ar-Rahman, ‘allamal Qur’an...”

Aku tak bisa menahan air mata.
Bukan karena sedih, tapi karena rasa syukur yang begitu besar.
Dulu aku sering datang ke masjid dengan tergesa, seolah waktu selalu cukup. Kini hanya bisa duduk dan mendengar pun terasa seperti nikmat surga.

Aku juga mulai ikut rapat sosial lagi. Rasanya seperti menemukan kembali diriku yang dulu sempat hilang — tapi kini dengan versi yang lebih lembut dan lebih banyak bersyukur.

 

Juni 2025 — Kemenangan Kecil yang Besar Artinya

Hari itu jempol kiriku bergerak. Sedikit, tapi nyata.
Aku sampai tertawa sendiri di ruang terapi, seperti anak kecil yang baru bisa menggenggam mainannya.

Langkahku dengan tongkat kini sudah 10–15 meter.
Setiap meter bukan sekadar jarak, tapi doa yang diwujudkan.

 

Juli 2025 — Tangga Masjid dan Nafas yang Tersengal

Tangga Masjid Al Fattah yang dulu terasa seperti “gunung Himalaya” kini kuhadapi lagi. Dengan bantuan, aku naik pelan-pelan. Nafasku tersengal, tapi hati terasa lapang.

Yang naik bukan hanya kaki, tapi juga semangatku.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.”
(QS. Al-Baqarah: 286)

 

Agustus 2025 — Janji Allah Itu Nyata

Hari itu aku berdiri sendiri. Tanpa sadar, tanpa tongkat.
Beberapa detik — tapi cukup untuk membuat air mata jatuh.

“Fa inna ma’al ‘usri yusra.”
(QS. Al-Insyirah: 6)

“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”

Aku tersenyum — ayat itu bukan sekadar bacaan di mushaf.
Ia kini hidup di dalam tubuhku sendiri.

 

September 2025 — Tegak Bersama Iman

Kini lutut kiriku sudah kuat menopang tubuh. Aku bisa berdiri tegak, dan rasanya bukan hanya fisik yang kembali tegak — tapi juga hatiku.
Aku berdiri di depan cermin dan tersenyum. “MasyaAllah, ternyata Engkau masih memberiku kesempatan menjadi kuat.”

 

Oktober 2025 — Tangga Masjid dan AC Baru

Bulan ini aku punya “prestasi” lucu tapi bermakna:
Aku sholat Jumat di lantai dua Masjid Al Fattah!

Tangga sekitar 30 derajat itu dulu seperti puncak Everest. Tapi kini, aku menapakinya satu per satu. Sesampainya di atas, aku langsung menikmati semilir udara dari AC baru yang dulu kami perjuangkan bersama para pengurus masjid.

Aku tertawa kecil dalam hati.
“Ya Allah, ternyata rasanya seperti naik haji versi mini,” pikirku.
Perjalanan kecil, tapi maknanya luar biasa besar.

 

November 2025 — Kulkas, Kemandirian, dan Kesyukuran

Bulan ini istimewa.
Pertama, aku diundang jadi pembicara di World Stroke Days.
Dulu aku sering berbicara di berbagai forum, tapi kali ini berbeda.
Aku tampil bukan sebagai orang yang “menguasai panggung,” tapi sebagai orang yang sudah belajar dari kelemahan tubuhnya sendiri.
Setiap kata yang keluar terasa lebih jujur, lebih hidup, dan lebih penuh makna.

Dan di sisi lain, aku kini bisa naik turun tangga sendiri di rumah.
Ke dapur, buka kulkas, ambil makanan, siapkan sendiri.
Dulu remeh, sekarang terasa seperti keajaiban.

Setiap langkah menuju kulkas adalah perjalanan spiritual:
dari rasa lemah menuju rasa syukur,
dari keterbatasan menuju kebebasan.

Aku tersenyum sambil berbisik pelan,

“Ya Allah, ternyata Engkau tak pernah meninggalkanku. Engkau hanya menuntunku untuk belajar menghargai setiap nikmat kecil.”

 

Kini aku benar-benar paham: Kesembuhan sejati bukan hanya soal tubuh yang pulih.
Kesembuhan sejati adalah ketika hati belajar menerima, jiwa belajar bersabar, dan iman tumbuh lebih kokoh dari sebelumnya.

Aku masih berproses, iya. Tapi arahku jelas.
Aku sedang berjalan — bukan sekadar menuju sehat,
melainkan menuju SEMBUH PARIPURNA.

“Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Anfal: 46)

Alhamdulillah yaa Allah…
Atas setiap sakit yang justru menghidupkan hatiku kembali.
Atas setiap keterbatasan yang justru meluaskan makna syukur.
Dan atas setiap langkah kecil yang Kau jadikan bagian dari perjalanan besar:

Menuju sembuh paripurna.

(Karena kadang, mukjizat itu bukan datang tiba-tiba — tapi tumbuh pelan-pelan, di tengah rasa sabar dan doa yang tak pernah berhenti.)

 

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN