CERITA SEJARAH PENULISAN AL-QUR’AN

 
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :

 

“Dari Gua Hira hingga Mushaf di Pangkuan Kita Hari Ini”

 

Pada suatu malam yang sunyi di bulan Ramadhan, ketika seluruh Mekah terlelap dalam gelapnya pasir gurun, seorang lelaki bernama Muhammad SAW duduk sendirian di dalam Gua Hira. Malam itu, dalam kesenyapan yang menenangkan, turunlah wahyu pertama yang kelak mengubah wajah dunia.

Suara itu datang begitu tiba-tiba—tegas, agung, dan tidak menyisakan keraguan.

“Iqra’…”

Itulah awal dari perjalanan panjang penulisan Al-Qur’an. Sebuah perjalanan yang penuh air mata, pengorbanan, darah syuhada, dan tekad manusia-manusia mulia yang ingin menjaga setiap huruf wahyu agar tetap hidup.

 

1. MASA NABI: Ketika Wahyu Turun dan Manusia Berlomba Menghafalnya

Setiap kali wahyu turun, Rasulullah SAW seperti menampung cahaya yang mengisi hatinya. Ia segera memanggil para sahabat penulis wahyu.

"Tulislah…," kata Rasulullah, sembari menunjuk tempat ayat itu harus diletakkan.

Namun ingat, di zaman itu tidak ada buku, tidak ada kertas. Maka tulisan-tulisan ayat suci itu menempel pada:

  • pelepah kurma,
  • tulang belikat unta,
  • kepingan batu tipis,
  • kulit binatang,
  • dan potongan kayu.

Bayangkan para sahabat membawa pecahan tulang di bawah terik matahari, hanya untuk memastikan ayat Ilahi tidak hilang. Dan setelah ditulis, mereka menghafalnya.

Zaid bin Tsabit, seorang pemuda cerdas yang menjadi sekretaris Nabi, suatu hari berkata:

"Demi Allah, seandainya aku diminta memindahkan gunung, tidak akan lebih berat rasanya dibandingkan menuliskan ayat Al-Qur’an dari Rasulullah."

Karena apa?
Karena setiap kata adalah amanah yang tak boleh salah, tak boleh hilang, tak boleh bergeser satu huruf pun.

Ayat demi ayat, surat demi surat, tersimpan dalam dada dan lembaran-lembaran sederhana. Namun tidak pernah dikumpulkan menjadi satu mushaf. Itu akan terjadi setelah Nabi wafat.

 

2. MASA ABU BAKAR: Ketika para penghafal wafat dan ketakutan mulai tumbuh

Waktu bergulir. Rasulullah wafat, dan umat diuji dengan perang Yamamah melawan Musailamah al-Kadzdzab. Banyak sahabat syahid—termasuk 70 hafizh Al-Qur'an.

Umar bin Khattab melihat situasi itu dan wajahnya pucat. Ia mendatangi Abu Bakar sambil berkata:

“Aku khawatir Al-Qur’an akan hilang dari umat ini. Kumpulkanlah menjadi satu mushaf.”

Abu Bakar tertegun.
“Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah?”
Namun Umar menjawab tegas,
“Demi Allah, itu adalah kebaikan.”

Abu Bakar akhirnya menangis dan berkata,
“Dadaku menjadi lapang… memang ini kebaikan.”

Lalu tugas berat itu jatuh lagi kepada pemuda cerdas itu: Zaid bin Tsabit.

Bayangkan perasaan Zaid saat itu.
Ia mengumpulkan ayat-ayat yang tercecer dari berbagai tempat: rumah para sahabat, lembaran tulang, hafalan para sahabat tua dan muda.

Ia tidak menerima satu ayat pun kecuali:

  1. ada dua saksi yang mengaku mendengar sendiri dari Rasulullah,
  2. dan sesuai dengan hafalan para sahabat.

Ia berkata:

“Seandainya aku diminta memindahkan gunung, itu lebih mudah daripada mengumpulkan Al-Qur’an.”

Setelah berbulan-bulan, terkumpullah mushaf pertama. Mushaf itu disimpan oleh Abu Bakar, lalu berpindah ke Umar, lalu akhirnya berada di rumah Hafshah binti Umar.

Mushaf ini menjadi fondasi kemurnian Al-Qur’an.

 

3. MASA UTSMAN: Ketika umat Islam mulai meluas dan dialek hampir memecah belah

Islam yang tadinya kecil kini menyebar sampai Syam, Irak, Persia, hingga Afrika.
Namun ada satu masalah besar yang mulai timbul:

Setiap daerah membaca Al-Qur’an dengan dialek berbeda.

Pada sebuah ekspedisi ke Armenia dan Azerbaijan, Hudzaifah ibn Yaman mendengar pasukan Irak dan Syam saling mengoreksi bacaan.
Ada yang berkata, “Bacaanmu salah!”
Yang lain membalas, “Kalianlah yang sesat!”

Hudzaifah panik. Seusai perang ia langsung pulang dan berkata kepada Utsman:

“Selamatkanlah umat sebelum mereka berselisih seperti Yahudi dan Nasrani.”

Maka Utsman memutuskan langkah besar dalam sejarah:
menyatukan mushaf umat Islam.

Ia memanggil Zaid bin Tsabit dan tiga Quraisy terbaik:

  • Abdullah bin Zubair
  • Sa’id bin Al-Ash
  • Abdurrahman bin Harits

Mereka menyalin mushaf Abu Bakar sesuai standar dialek Quraisy.

Beberapa mushaf dibuat dan dikirim ke:

  • Makkah
  • Madinah
  • Kufah
  • Basrah
  • Syam
  • Bahrain
  • Yaman

Dan untuk mencegah konflik bacaan, mushaf pribadi yang berbeda dialek diperintahkan untuk dihancurkan.

Keputusan ini menyelamatkan umat dari perpecahan besar.

 

4. Masa Setelahnya: Ketika Al-Qur’an diberi titik dan harakat

Tahukah Anda?
Huruf Arab zaman dulu tidak bertitik, tidak berharakat.

Bacanya bagaimana?
Hanya orang Arab asli yang bisa membedakan.

Namun ketika Islam meluas, non-Arab banyak yang kesulitan membaca mushaf. Maka dua tokoh besar muncul:

1. Abu al-Aswad Ad-Du'ali

Ia menambahkan titik merah untuk menandai:

  • fathah
  • kasrah
  • dhammah
  • sukun

2. Al-Khalil Ibn Ahmad al-Farahidi

Ia menyempurnakannya menjadi harakat modern:

  • garis miring (fathah)
  • garis bawah (kasrah)
  • koma kecil (dhammah)
  • tanda tanwin

Sistem ini membuat Al-Qur’an mudah dibaca oleh siapa pun, dari bangsa mana pun.

 

Penutup: Al-Qur’an yang Kita Baca Hari Ini adalah Buah Pengorbanan

Dari Gua Hira, ke tangan para penulis wahyu, ke dadanya para sahabat, ke meja kerja Zaid bin Tsabit, ke keputusan besar Utsman, hingga ke titik-titik dan harakat para ulama—semua usaha itu menjaga satu hal:

Agar tidak ada satu huruf pun berubah.

Dan Allah berfirman:

“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur’an dan Kami pula yang menjaganya.”
(QS. Al-Hijr: 9)

Benar saja.
Al-Qur’an yang Anda baca hari ini adalah Al-Qur’an yang sama dibaca Rasulullah 1400 tahun lalu.

Setiap huruf, setiap titik, setiap urutannya—semuanya terjaga.

 

 

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN