KETIKA HATI PANAS, DAN SUARA MIRING DATANG TANPA DIUNDANG

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :




(Sebuah kisah tentang hati yang ingin pulang dan lelah berperang sendiri)

 

Ada masa dalam hidup, di mana hati ini rasanya seperti kompor minyak tanah jaman dulu—yang kalau goyang sedikit saja, WOOSH! langsung nyala besar. Gampang panas, gampang tersinggung, gampang merasa jadi korban semesta. Padahal ya… yang goyangin juga bukan orang lain. Yang bikin nyala itu bisikan-bisikan kecil yang entah datang dari mana.

Dalam tradisi para ulama, bisikan itu punya nama.
Satu: At-Tafriq—spesialis pemecah-belah hati.
Dua: Qarin—ahli bikin film skenario buruk di kepala kita, tanpa henti, tanpa jeda, tanpa iklan.

 

Kalau dua makhluk ini lagi lembur, hati manusia bisa kacau balau. Kamu lihat teman salah ngomong dikit, pikiran langsung lari maraton:

“Ini orang maksudnya apa sih? Nyindir? Menyerang? Musuh nih…”

Padahal ya… mungkin dia cuma salah ketik. Atau salah milih emoji.
Harusnya senyum 🙂 malah ngirim 😏.
Selesai urusan.

 

Lihat status orang, hati langsung panas.
Padahal statusnya ngajak kebaikan untuk semua orang:

“Sampaikanlah walau satu ayat.”

Eh di otak kita yang muncul:

“Ihhhh ini orang pamer… pengin diakui… NPD banget, halah!”

Kadang kita lupa melihat kaca. Yang panas itu sebenarnya bukan status orang—tapi hati kita sendiri yang sudah lama sesak.

 

Karena Penyakit Hati Itu Aneh…

Ia bisa muncul dari hal-hal kecil: salah baca nada suara, salah interpretasi emoji, salah paham maksud ucapan. Lucunya, penyakit hati ini sering kita rawat sendiri, seperti memelihara kaktus berduri di dada.

Dan ketika sudah panas sekali, kita mencoba memadamkannya dengan cara duniawi:

– Rebahan (ending-nya makin overthinking)
– Ngemil (yang dipanasin hati, yang gemukan badan)
– Curhat di status WA atau Medsos panjang banget,
yang dibaca cuma dua orang,
itupun centang biru tanpa balas.

Kita mencoba semua cara. Tapi tetap saja ada panas yang nggak bisa dipadamkan pakai es krim, apalagi pakai debat kusir.

 

Karena Ternyata… Hati yang panas hanya bisa didinginkan dengan satu cara:

kembali kepada Allah.

 

Para guru kita bilang:

“Obat hati itu ada pada sujud yang panjang dan zikir yang tulus.”

Karena saat kita bersujud dan memohon, “Ya Allah, tenangkanlah hatiku,”
ada hawa sejuk yang datang pelan-pelan… seperti angin malam lewat jendela.
Tidak heboh, tidak dramatis. Tapi cukup.
Cukup untuk membuat kita merasa tidak sendirian.

Dari sini, kita belajar bahwa Allah-lah yang memberi tenang,
bukan likes, bukan komentar orang, bukan validasi dunia.

 

Lalu Kita Sampai pada Pelajaran Kedewasaan Terberat:

Pembenci tidak selalu layak mendapat klarifikasi.

Ada orang yang membenci bukan karena kita salah.
Tapi karena mereka sudah terbiasa hidup dengan “kacamata gelap.”
Cahaya apa pun yang kita nyalakan, selalu dianggap lampu bohongan.

Kita memaksakan diri menjelaskan.


Meyakinkan.
Membela diri.
Supaya orang percaya kita ini tidak seburuk itu.

Tapi kenyataannya?

Allah tidak pernah mewajibkan kita menjelaskan hidup kita kepada orang yang memang tidak mau mengerti.

Kalau dituruti, capek sendiri.
Kita sibuk menjelaskan niat kita pada orang yang tidak peduli.
Mereka sibuk mencari celah karena memang itu hobinya.

Dan hobi mereka?
Ya, bikin sumpek.

Tapi sumpeknya sebenarnya bukan di kita…
melainkan di hati mereka sendiri.

 

Sampai Akhirnya…

Kita tiba di tahap paling dewasa dalam perjalanan hidup:

Biarkan saja.

Biarkan mereka terseret oleh benci yang mereka rawat sendiri.
Biarkan mereka sesak oleh racun hati yang mereka simpan rapat-rapat.
Biarkan mereka menafsirkan dengan gelap, karena itu pilihan mereka.

Bukan tugas kita membuat semua orang suka.
Bukan tanggung jawab kita menyenangkan semua kepala.
Bukan tujuan hidup kita menjawab semua komentar miring.

Tugas kita hanyalah menjaga hati tetap dekat dengan Allah.

 

Dan di akhir hari…

Ketika lampu sudah dimatikan,
ketika dunia akhirnya diam,
kita kembali pada satu kalimat sederhana:

 

“Astaghfirullahaladzim…” Sebuah permohonan maaf,
sekaligus permohonan ketenangan.

Semoga Allah menjaga hati kita,
mendinginkannya ketika panas,
melunakkannya ketika keras,
dan melapangkannya ketika dunia terasa sempit. Amin.

Tugas kita cuma satu: berjalan dengan tenang, menjaga martabat, menjaga hati, dan berusaha tetap ikhlas. Menjadi manusia yang tidak bereaksi berlebihan, tidak terpancing, tidak ikut bermain di lumpur tempat orang lain menunggu kita jatuh.

Karena pada akhirnya, yang menilai terbaik bukan mereka—tapi Dia yang lebih tahu isi hati. Dia yang tahu di mana kita jatuh, bagaimana kita bangun, dan seberapa keras kita berjuang untuk menjaga diri agar tidak tenggelam dalam kebencian yang sama.

Dan lucunya, ketika kita tenang, biasanya hidup jadi lebih lucu. Suara miring terdengar seperti radio rusak; lama-lama tidak kita dengarkan. Hati yang tadinya panas mendadak adem, seperti AC yang baru dibersihkan filternya. Dan kita sadar satu hal sederhana namun berharga:

Tidak semua orang harus kita jelaskan. Tidak semua pandangan harus kita layani. Tapi semua luka hati, pasti ada jalannya kalau kita kembali pada Allah.

Dan begitulah hidup: kadang kita diserang dari luar, kadang diganggu dari dalam. Tapi selama kita tahu jalan pulang—sujud, zikir, dan ketenangan—maka tidak ada kebencian yang bisa menjatuhkan kita.


Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN