LANGKAH KECIL ANAK MINDER YANG BELAJAR MENJADI BESAR

 UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :


Ada satu masa dalam hidup ketika aku merasa jadi manusia paling “biasa-biasa saja” di dunia. Lahir dari keluarga sederhana, pendidikan pas-pasan, pengalaman hidup juga nggak dramatis-dramatis amat. Kalau hidup itu lomba lari, rasanya aku ini peserta yang datang paling belakang sambil ngos-ngosan dan sepatunya salah ukuran. Minder? Jangan ditanya. Datangnya bisa kapan saja — seperti notifikasi tagihan listrik yang selalu muncul di saat paling tidak tepat.

Tapi hidup, ternyata, tidak sedang bermain-main denganku. Justru melalui rasa minder itulah aku perlahan diajarkan hal-hal yang tidak pernah kupelajari dari sekolah mana pun: bahwa akar leluhur, pendidikan, dan pengalaman hidup itu baru berguna kalau dijalani dengan hati yang rendah. Dan bahwa kemuliaan manusia tidak pernah diukur dari dari mana kita datang, tetapi bagaimana kita melangkah.

Aku ingat sekali seorang teman pernah nyeletuk, “Bro, yang bikin orang kelihatan besar itu bukan nasab, tapi bagaimana dia memperlakukan orang lain.” Waktu itu aku cuma ketawa, padahal dalam hati rasanya seperti kena tampar pakai sandal jepit—perih, tapi benar.

Pelan-pelan aku mulai memperhatikan orang-orang di sekitarku. Ada bapak tua penjaga parkir yang selalu tersenyum meski dimarahi pengunjung. Ada ibu warung yang tetap mau memberi hutang mie instan, bahkan ketika aku lupa bayar dua kali. Ada guru ngaji yang bicaranya selalu lembut, seolah dunia tidak pernah menyakitinya. Mereka tidak punya gelar panjang, tidak lahir dari keluarga elite, tapi sikap mereka—MasyaAllah—rendah hati dan penuh kebaikan.

Di situ aku belajar satu hal penting: ternyata manusia bisa menjadi mulia bukan karena apa yang menempel pada dirinya, tetapi karena apa yang ia sebarkan dari dalam dirinya. Ada orang lahir dari garis keturunan terhormat, tapi kalimatnya lebih sering merendahkan daripada menguatkan. Ada pula orang berpendidikan tinggi, tapi hatinya tipis seperti kertas struk minimarket. Sebaliknya, ada orang sederhana tapi langkah hidupnya penuh cahaya.

Ternyata, hidup itu soal bagaimana kita menjaga prinsip. Bagaimana kita menghormati tradisi baik yang diturunkan keluarga—bukan sekadar membanggakannya. Bagaimana kita menebarkan kebaikan, bahkan ketika tidak ada kamera yang merekam. Dan bagaimana kita tetap rendah hati, bahkan ketika orang lain memuji kita sampai langit ketujuh.

Rasa minder yang dulu jadi beban, perlahan berubah menjadi guru. Ia mengajarkanku untuk tidak besar kepala, tidak gampang meremehkan orang, dan tidak merasa hidup ini harus mengikuti standar orang lain.

Sekarang, setiap kali aku merasa kecil, aku ingat satu hal: Langkah kecil dengan hati yang besar jauh lebih berarti daripada langkah besar dengan hati yang kosong.

Dan aku belajar untuk tidak malu dengan latar belakangku. Karena asal-usul itu seperti akar pohon—menentukan dari mana kita tumbuh, tetapi bukan itu yang membuat orang terpesona. Orang-orang justru melihat pada batang yang kokoh, daun yang rimbun, dan buah yang manis.

Jadi hari ini, aku memilih untuk melangkah pelan tapi mantap. Menjaga nilai-nilai baik yang kupunya. Menghormati tradisi yang membentukku. Menebarkan kebaikan sebisaku, meski kecil. Berharap kelak, ketika orang mengenangku, bukan nama keluargaku yang diingat, tapi jejak kebaikan yang aku tinggalkan.

Dan siapa sangka… anak minder yang dulu selalu menunduk, kini belajar menapaki hidup sambil tersenyum—meski kadang masih takut salah langkah. Tidak apa-apa. Yang penting setiap langkahnya jujur, tulus, dan rendah hati.

Karena pada akhirnya, kemuliaan bukan tentang siapa kita di mata manusia, tapi bagaimana kita di hadapan Allah dan sesama.

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN