DARI BICARA UNTUK DIDENGAR, KE BICARA UNTUK MEMAHAMI
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
(Sebuah Kisah dari Lorong Belakang Hingga Panggung Aula Utama)
Ada masa
dalam hidupku—masa yang penuh idealisme, penuh ego muda, penuh ambisi ala
mahasiswa yang baru menemukan “suara”—ketika aku percaya bahwa menjadi
pembicara berarti harus tampil keren. Harus bikin ruangan diam. Harus bikin
orang takjub waktu aku buka mulut. Pokoknya, kalau bisa, aura-aura “tokoh
inspiratif” muncul otomatis begitu langkahku naik panggung.
Tapi hidup,
seperti biasa, punya cara halus untuk menepuk kepalaku dan bilang,
“Eh, bukan begitu.”
Karena makin
banyak aku bicara, makin aku sadar…
Ternyata pembicara sejati bukan yang membuat orang mendengarkan,
tapi yang membuat orang merasa didengar.
Aneh ya?
Tapi justru itu yang akhirnya menghantamku paling keras.
Karena aku
pernah jadi anak yang tidak pernah benar-benar didengar.
Anak yang
suaranya pelan.
Yang kalau gugup, tangan bingung mau ngapain.
Yang waktu ngomong, kadang malah ngomel ke diri sendiri:
“Aduh, salah ngomong nggak ya?”
Anak yang duduk di pojok kelas, bukan karena anti-sosial… tapi takut salah
tempat.
Dulu, aku
cuma butuh satu hal:
Seseorang yang mau mendengar sebelum mengajari.
Dan hari
ini, ketika Allah menempatkanku di panggung-panggung itu, aku hanya ingin
membayar hutang masa lalu—menjadi pembicara yang bukan hanya memberi materi,
tapi memberi ruang aman.
Bukan pembicara yang menggurui, tapi yang memeluk jiwa-jiwa yang hampir
menyerah.
Mentor
dan Momentum: Ketika Allah Mengirim Orang Tepat di Waktu yang Tepat
Ada
orang-orang tertentu yang Allah kirim bukan untuk mengubah hidupmu…
tapi untuk mengingatkan bahwa kamu patut diperjuangkan.
Banyak orang
melihatku hanya sebagai anak pendiam yang “sopan kalau disuruh”.
Tapi para mentorku melihat sesuatu yang lain.
Ada celah cahaya kecil yang bahkan aku sendiri tidak sadari.
Mas Lukman.
Mas Imran.
Almarhum Mas Munir.
Tiga nama
yang kalau kusebut, rasanya seperti menyebut malaikat dengan jaket almamater.
Mereka
mengajariku hal-hal teknis:
- cara memegang mic,
- cara berdiri,
- cara mengambil napas,
- cara tidak kelihatan kaku kayak papan triplek.
Tapi yang
paling penting:
mereka mengajariku percaya bahwa aku bisa.
Dan percaya
itu… jujur aja… jauh lebih menyelamatkan daripada semua buku public speaking
yang pernah kubaca.
Jadi ketika
panggilan untuk mengisi acara pertama datang, aku tidak lari.
Bukan karena aku sudah jago.
Tapi karena aku tahu—aku punya hutang pada diriku yang dulu:
anak yang pernah merasa kecil tapi ingin berdiri tegak.
Menjadi
Mentor Bagi Mereka yang Pernah Menunduk
Waktu
akhirnya aku duduk sebagai pembicara tetap di forum-forum kampus, aku selalu
mencari mereka yang duduk paling belakang.
Bukan untuk
disuruh maju.
Bukan untuk dimarahi.
Tapi karena aku dulu ada di sana.
Anak-anak
yang kalau bicara suaranya nyangkut di tenggorokan.
Yang kalau diminta pendapat, rasanya kayak mau ujian disetorin ke malaikat.
Yang keringatnya keluar duluan sebelum kalimatnya selesai.
Pada mereka
aku selalu bilang:
“Aku dulu
duduk di tempatmu.
Aku bukan tidak bisa, aku cuma takut terlihat salah.
Dan ternyata, begitu aku berani jadi diriku sendiri… dunia ikut berani
mempercayaiku.”
Aku tidak
ingin jadi pembicara yang meninggalkan tepuk tangan.
Aku ingin jadi pembicara yang meninggalkan keberanian.
Aku ingin
jadi cermin:
ketika mereka melihatku, mereka bisa melihat potensi mereka sendiri.
Semua
Orang Punya Panggungnya
Panggung
bukan cuma aula megah, podium tinggi, atau ruangan penuh sorotan.
Panggung
bisa jadi:
- tangan yang membantu diam-diam,
- telinga yang mendengar tanpa menghakimi,
- atau pelukan yang datang saat kata-kata tak
cukup.
Semua orang
punya panggungnya sendiri.
Dan Allah
sudah menegaskan dalam Al-Qur’an:
“Dan
janganlah kamu merendahkan dirimu karena kekurangan yang tidak kamu ciptakan.”
(QS. An-Najm: 32)
Tidak semua
harus jadi matahari.
Karena bintang pun ditugaskan untuk menerangi malamnya masing-masing.
Babak Geger
Mahasiswa Baru
Dari Lorong
Kompleks ke Panggung Aula Utama
Nah, ini
bagian yang kalau di film bisa jadi adegan antara komedi dan drama.
Penerimaan
Mahasiswa Baru.
Acara sakral fakultas.
Sakral bukan karena religius—
tapi karena salah ngomong sedikit saja, bisa viral di kalangan gosip kampus.
Bayangkan:
2000
mahasiswa baru
dengan logat berbeda, mimpi berbeda, dan kecemasan yang kurang lebih sama.
Kami di
Senat?
Persis tim Avengers:
sibuk, tegang, tapi tetap gaya sedikit—biar dihormati adik tingkat.
Latihan,
rapat, revisi rundown…
Pokoknya persiapan kayak mau launching roket NASA.
Dan tibalah
hari H.
Aula penuh
sesak.
Mahasiswa baru duduk rapi, tegang tapi semangat.
Semua mata ke arah panggung.
Aku berdiri
di podium.
Mikrofon di
depanku.
2000 wajah menatap.
Haru? Banget.
Karena ini
anak yang dulu duduk di pojok kelas,
sekarang berdiri di panggung utama.
Aku tarik
napas… dan mulai.
“Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh!”
Suara
menggema.
“Adik-adikku
sekalian! Kenapa kalian ada di sini?!”
“Karena
kalian agen perubahan!”
“Perubahan
apa?!”
“Perubahan
menjadi lebih baik!!”
“SIAP?!”
“SIAPPPPPPP!!!”
Gemuruh itu,
MasyaAllah…
sampai sekarang masih terasa.
Di situ aku
sadar:
Ini bukan tentang keren-kerenan.
Bukan tentang jadi idola kampus.
Ini tentang
kepercayaan.
Tentang amanah.
Tentang menyalakan api-keyakinan di hati orang lain.
Sama seperti
dulu mentorku menyalakan api itu dalam diriku.
Soekarno
pernah bilang:
“Berikan aku
10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Hari itu,
aku bukan bertemu 10.
Aku bertemu 2000.
Dan aku ingin mereka pulang dengan keyakinan bahwa mereka bukan sekadar
mahasiswa—
mereka adalah harapan bangsa.
Refleksi :
Keberanian
Tidak Selalu Berteriak—Kadang Ia Berbisik, “Ayo Jalan Pelan-Pelan.”**
Penerimaan
mahasiswa baru bukan cuma seremoni.
Itu panggung pertama generasi perubahan.
Aku yang
dulu takut bicara saat OSPEK…
kini memimpin OSPEK.
Dan aku
belajar:
Keberanian
bukan berarti tidak takut.
Keberanian adalah tetap melangkah meski rasa takut itu ada.
Ketika kita
percaya pada potensi orang lain,
dan mereka percaya pada kita—
di situlah lahir energi perubahan yang tidak main-main.
Dari lorong
kompleks ke panggung aula…
aku belajar bahwa suara kecil pun bisa menggerakkan gelombang besar,
asal lahir dari hati yang tulus dan niat yang bersih.
Seperti
pesan Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(HR. Ahmad)
Dan aku
ingin hidupku menuju ke sana—
belajar, memberi, berbagi…
menyulut semangat, bukan memadamkan.
Catatan
Nucky ; “Berbicara bukan soal didengar,
melainkan memberi ruang bagi orang lain untuk merasa berarti.
Sebab suara yang paling kuat bukan yang paling keras,
tapi yang lahir dari hati dan menyalakan hati orang lain.”