“KETIKA BANYAK BAJU, TAPI TAK SATU PUN PAS – (Sebuah Catatan Harapan untuk Organisasi Islam di Bali)
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Kadang hidup
itu suka ngasih kita adegan-adegan kecil yang bikin kita garuk-garuk kepala
sambil senyum miris. Kayak momen ketika kita berdiri di depan lemari pakaian
yang penuh sesak… tapi tiap baju yang kita coba terasa nggak pas. Entah
kepanjangan, kependekan, kegedean, atau warnanya bikin kita kelihatan kusut.
Nah, persis
kayak itulah rasanya ketika melihat banyaknya organisasi Islam di Bali.
Benderanya banyak, logonya keren-keren, visi misi tertulis rapi, postingan
Instagramnya estetik banget… tapi pas “dicoba dipakai” oleh ummat, kok ya
pas-nya itu cuma di kertas, bukan di kehidupan nyata.
Awalnya kita
berpikir:
“Wah, lengkap banget ini! Ummat pasti aman banget.”
Tapi setelah
ikut turun lapangan, ikut rapat, ngopi sama para pengurus, denger keluhan sama
keluhan… tibalah kesadaran pahit itu:
“Lho… kenapa semua ini terasa kayak toko baju besar… tapi ruang nyatanya
kosong?”
Padahal
orang-orangnya baik-baik. Banyak yang ikhlas. Banyak yang sungguh-sungguh ingin
ummat sejahtera. Tapi tetap saja, mesin organisasi mogok di tengah jalan. Dan
kalau dicari akar masalahnya, ternyata tiga baut utamanya lepas:
VISI, KOMUNIKASI, dan KOMITMEN.
Lalu dimulailah
perjalanan kecil kita menyusuri “ruangan-ruangan kosong” itu.
Episode 1:
Ketika Pemimpin Bingung, Pengikut Pun Hilang Arah
Jujur aja,
banyak organisasi jatuh bukan karena serangan luar… tapi karena dalamnya
sendiri remuk pelan-pelan. Pemimpin bingung mau dibawa ke mana. Arah kerja
nggak jelas. Visi hanya numpang lewat dalam AD/ART lalu tidur panjang di map
plastik.
Padahal
pemimpin itu ibarat baterai. Ketika semua anggota drop, dia yang harus tetap
menyala. Bukan minta dilayani, tapi melayani. Bukan tampil gagah di depan, tapi
mampu mengarahkan yang di belakang.
Pemimpin Islam
itu harus:
- fokus pada manusia, bukan popularitas,
- menginspirasi, bukan mengatur seenaknya,
- membangun, bukan meruntuhkan,
- doing the right things, bukan sekadar doing
things right.
Rasulullah ﷺ
mengajarkan hal itu.
Allah bahkan menegaskan:
“Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”
(QS. Al-Ahzab: 21)
Visi tanpa
teladan itu kayak spanduk tanpa acara—cuma dekorasi.
Dan mungkin memang kini kita sedang krisis kepemimpinan… karena pemimpinnya
tidak pernah benar-benar dibentuk.
Episode 2:
Program Kerja yang Penting Ada, Bukan Penting Berguna
Ini bagian yang
paling sering bikin kita ketawa ketir.
Programnya
banyak… tapi rasanya hambar.
- Baksos dadakan.
- Kajian itu-itu saja.
- Workshop yang pesertanya itu-itu lagi.
- Kegiatan sosial tanpa evaluasi.
Bukan karena
malas. Tapi karena orientasinya “yang penting jalan”, bukan “yang penting
bermanfaat”.
Padahal Nabi ﷺ
bilang:
“Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”
(HR. Ahmad)
Manfaat itu
bukan cuma jumlah foto yang diposting.
Tapi kualitas dampaknya di hati dan hidup ummat.
Episode 3:
Sosialisasi Zonk – Poster Mewah, Jamaah Kosong
Ini favorit
orang lapangan.
Sudah bikin acara keren, konsep mantap, poster HD…
eh, yang datang cuma panitia plus beberapa keponakan.
Kenapa?
Karena sosialisasinya cuma mengandalkan intuisi.
Flyer baru keluar H-1.
Diposting di grup yang isinya itu-itu saja.
Tidak ada strategi. Tidak ada pengulangan. Tidak ada koordinasi.
Padahal
Rasulullah ﷺ mengingatkan:
“Sampaikanlah
(kebenaran) walau satu ayat.”
(HR. Bukhari)
Kalau
menyampaikan ilmu saja harus jelas, apalagi menyampaikan informasi organisasi.
Episode 4:
Seleksi Pengurus = Yang Kenal, Bukan yang Mampu
Nah, ini
penyakit klasik dari Sabang sampai Merauke.
Pengurus
dipilih bukan karena kompetensi, tapi karena:
“Kenal”,
“Dekat”,
“Atau paling tidak: mau.”
Akibatnya?
- Ada pengurus yang nggak pernah muncul.
- Ada pengurus yang nggak ngerti jobdesc-nya.
- Ada pengurus yang sibuknya melebihi kalender.
Padahal Nabi ﷺ
pernah menegaskan:
“Jangan
engkau meminta jabatan…”
(HR. Bukhari & Muslim)
Karena jabatan
itu bukan hadiah—tapi amanah. Berat.
Kalau salah pilih, yang menanggung akibat bukan hanya organisasi… tapi ummat.
Lalu,
Bagaimana Cara Memperbaikinya?
Bukan teori
Google, bukan teori Harvard. Tapi langkah-langkah realistis yang bisa langsung
dipakai.
1. Hidupkan
Visi, Jangan Cuma Ditulis
Visi itu harus
sering diulang, dipahami, dan dirayakan.
Buat blueprint 1–5 tahun.
Sampaikan terus menerus.
Tegaskan arah setiap rapat.
Visi yang hidup
= organisasi yang bergerak.
2.
Tingkatkan Kompetensi Pemimpin dan Pengurus
Adakan:
- pelatihan leadership,
- workshop manajemen waktu,
- coaching komunikasi,
- pembinaan spiritual.
Karena memimpin
organisasi bukan soal hafalan doa, tapi ilmu manajemen + kelapangan
jiwa.
3. Rancang
Program Berdasarkan Kebutuhan Nyata
Caranya
sederhana:
Tanya jamaah.
Lewat survei,
diskusi ringan, FGD, ngobrol sambil ngopi.
Dari situ akan muncul arah kerja yang benar-benar dibutuhkan.
4. Buat
Pengelolaan SDM dan Dana yang Transparan
- Jobdesc jelas
- Struktur jelas
- Evaluasi 3–6 bulan
- Laporan dana terbuka
Allah menyukai
orang-orang yang adil—dan adil itu salah satunya adalah transparan.
“…Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
(QS. Al-Ma'idah: 42)
5. Bangun
Budaya Organisasi yang Sehat dan Religius
Budaya itu
bukan slogan.
Dia lahir dari kebiasaan.
- Kajian internal
- Gathering ukhuwah
- Doa sebelum rapat
- Saling menguatkan, bukan saling serang
6.
Sosialisasi yang Rapi dan Masif
- Tim media khusus
- Publikasi mulai H-7
- Semua kanal dipakai
- Gaya komunikasi ringan, jelas, dan konsisten
7. Seleksi
dan Pembinaan Pengurus Secara Serius
- Rekrut berbasis kompetensi
- Onboarding sistematis
- Pembinaan rutin
- Penilaian kinerja
Karena umur
organisasi ditentukan oleh kualitas SDM-nya.
Harapan Itu
Masih Ada
Mungkin banyak
yang sudah lelah.
Sudah terlalu sering melihat “rame di awal, sepi di tengah, hilang di akhir.”
Tapi ingat…
Allah tidak menuntut hasil besar.
Yang Allah minta hanyalah:
niat yang lurus, usaha yang sungguh, dan komitmen memperbaiki diri.
Organisasi
Islam bukan sekadar bendera.
Bukan sekadar nama.
Bukan sekadar stempel.
Itu amanah.
Amanah untuk
menghadirkan kebaikan bagi ummat.
Amanah untuk menjadi cahaya kecil di tengah keramaian Bali.
Dan ketika amanah itu dijaga…
pelan-pelan organisasi itu akan hidup kembali—lebih matang, lebih kuat, dan
lebih bermanfaat.
Karena cahaya
tidak perlu besar untuk mengusir gelap.
Cukup tulus… dan konsisten.
Dan Bali, pulau
yang kita cintai, selalu punya ruang untuk cahaya-cahaya kecil yang ingin
menerangi.