PELAJARAN TOLERANSI DARI KOMPLEK PERUMAHAN TEMPAT AKU TUMBUH
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Masa kecil dan remajaku adalah halaman pertama paling indah dalam buku hidupku—halaman yang ditulis oleh suara tawa, aroma tanah basah, dan denting lonceng sepeda anak komplek Perumahan Bandara Ngurah Rai. Lingkungan itu mungkin sederhana, kadang lebih ramai dari pasar malam, tetapi hangatnya… ah, hangatnya mengalahkan rumah-rumah mewah yang AC-nya dingin sampai ke tulang. Di gang-gang kecil itu, aku pertama kali belajar arti toleransi yang tidak diajarkan di buku pelajaran. Toleransi yang tidak datang dari seminar, bukan dari status panjang di media sosial, tapi dari hidup yang berjalan begitu saja, apa adanya.
Di komplek itu, suara adzan berkawan akrab dengan tawa anak-anak yang pulang sekolah, lalu dilengkapi denting lonceng dari rumah tetangga yang berbeda iman—semua hidup berdampingan tanpa ada yang merasa lebih tinggi. Tidak ada kompetisi soal siapa yang paling benar; yang ada justru siapa yang paling duluan berebut bola plastik kalau sudah masuk got. Itulah dunia kecilku dulu.
Aku diajari sejak dini untuk memegang teguh aqidah tanpa mencampuradukkan keyakinan. Tapi lucunya, aku juga diajari untuk menghormati yang berbeda tanpa harus canggung atau minder. Misalnya, saat tetangga mengadakan upacara, aku ikut bantu angkat kursi, tapi tetap bilang baik-baik kalau ada bagian yang tidak bisa kuikuti. Mereka mengangguk, tersenyum, dan bilang, “Oh iya, nak… makasih sudah bantu ya.” Tidak ada drama. Tidak ada debat. Tidak ada yang tersinggung. Di sisi lain, mereka pun sering ikut bersihin halaman masjid saat gotong royong, padahal mereka tidak shalat di sana. Semua dilakukan dengan tulus dan sederhana.
Yang paling kuingat adalah seorang teman yang tiap sore di bulan Ramadan suka nongkrong di beranda rumahku. Dia bukan puasa, tapi dia bilang, “Nunggu maghrib seru, soalnya kamu kalau haus ngomongnya belepotan.” Dia tidak makan di depanku, ikut jaga suasana, dan selalu mengingatkan, “Sebentar lagi… sabar… tinggal tiga puluh detik.” Sederhana, tapi sikap seperti itu membentuk karakter kami hingga dewasa—bahkan sampai uban mulai nongol pun rasa hormat itu tidak hilang.
Begitu pula ketika aku melihat sahabat-sahabatku yang Hindu saling bahu-membahu mempersiapkan Galungan dan Kuningan. Aku turut merasakan kebahagiaan mereka. Nyepi adalah salah satu hari favoritku—silent day terbaik di dunia. Rasanya seperti seluruh bumi menarik napas panjang dan beristirahat. Saat sahabat-sahabat Kristiani memasuki masa Natal pun semangat mereka menular—riang, hangat, dan saling mendatangkan berkat. Semua terasa indah karena kami hidup dalam ruang saling memahami.
Dan ketika dewasa, kami—Muslim, Hindu, Katolik, Protestan, Buddha—tetap bisa duduk berdampingan, ngobrol, bercanda, saling menguatkan. Tidak ada yang merasa perlu menggurui. Tidak ada yang merasa paling suci. Semua tahu batas, tahu adab, tahu kapan bicara dan kapan mendengarkan.
Pada akhirnya aku sadar: begitulah sebenarnya ajaran Islam. Rasulullah ﷺ adalah guru terbaik dalam hal toleransi tanpa kompromi akidah. Ketika delegasi Nasrani Najran datang ke Masjid Nabawi, Rasulullah ﷺ bukan hanya menyambut mereka dengan hormat, tapi juga membiarkan mereka beribadah di dalam masjid. Tidak ada larangan, tidak ada bentakan, tidak ada ancaman. Beliau tidak mencampuradukkan keyakinan, tapi juga tidak menutup pintu rahmat.
Allah sendiri berfirman dalam QS. Al-Kafirun:
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
Ayat ini bukan pernyataan permusuhan—tapi deklarasi paling elegan tentang batas yang jelas, namun penuh adab dan kehormatan.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Barang siapa menyakiti seorang dzimmi (non-Muslim yang dilindungi), maka ia telah menyakitiku.” (HR. Thabrani).
Hadis ini seperti sentilan lembut bagi kita yang kadang suka merasa paling benar dan paling tinggi. Betapa besar perhatian Rasulullah terhadap non-Muslim yang hidup berdampingan dengan umat Islam.
Dari semua itu aku belajar bahwa toleransi bukan berarti melebur atau kehilangan prinsip. Toleransi adalah berdiri tegak di atas aqidah sambil tetap memiliki hati yang lapang. Kita boleh bangga dengan keyakinan kita—itu bagian dari iman—tapi kebanggaan itu tidak boleh berubah menjadi penghinaan terhadap keyakinan orang lain. Karena setiap keyakinan punya sejarah, punya perjalanan, punya tempat tersendiri dalam hati pemeluknya.
Di tengah dunia yang kini semakin bising, aku sering merindukan suasana komplek perumahan masa kecilku. Tempat di mana toleransi tumbuh alami tanpa teori rumit. Tempat di mana perbedaan membuat kami justru semakin lengkap. Tempat di mana kesederhanaan menjadi guru terbaik tentang rasa syukur.
Dan akhirnya, baru sekarang aku benar-benar paham bahwa kebersamaan dalam keberagaman, kemandirian yang ditempa oleh perjalanan hidup, serta rasa syukur atas kesederhanaan—itulah bahan bakar hidup yang membuat langkah terasa ringan. Di sanalah kasih tumbuh: dari hati yang lapang, dari karakter yang ditempa sejak kecil, dari jiwa yang ikhlas menerima bahwa dunia memang tidak harus sama untuk bisa hidup damai.
Di komplek perumahan Bandara Ngurah Rai itu… aku belajar menjadi manusia.
Dan pelajaran itu—Alhamdulillah—terus menjagaku sampai hari ini.