EKSPEKTASI TINGGI, REALITA SANTAI


 

Dulu aku punya daftar panjang tentang hidup yang “harus” aku capai. Dari bangun pagi tanpa snooze tiga kali, ngerjain semua target kerja tepat waktu, sampai bikin makan malam yang Instagramable tiap hari. Pokoknya, ekspektasi hidupku tinggi banget. Rasanya kayak lagi main game level dewa: semua misi harus kelar, semua skor maksimal.

Tapi, realita bilang: “Santai, bro.”

Aku masih inget waktu itu, minggu pertama aku kerja di kantor baru. Aku bikin jadwal super ketat: bangun jam 5, olahraga, sarapan sehat, siap kerja jam 8. Hari pertama sih semangat banget. Tapi jam 7.30, aku ketiduran lagi di sofa sambil nonton video kucing lucu. Bangun-bangun, eh… jam 8 lewat lima menit. Alarm hidup, kopi dingin, sarapan belum disentuh. Aku cuma bisa geleng-geleng kepala sambil bilang, “Ya udahlah… santai aja.”

Ternyata, hidup itu nggak selalu sesuai dengan ekspektasi kita. Ada momen-momen lucu, momen-momen gagal, dan momen-momen absurd yang bikin kita sadar: terlalu serius juga nggak enak. Aku belajar, kadang hal-hal kecil yang nggak sesuai rencana justru bikin cerita hidup kita lebih berwarna.

Contohnya, aku pernah berencana liburan ke Bali, bikin itinerary super rapi. Semua tempat wisata dicatat, semua foto Instagram disiapin. Eh, begitu sampai sana, motor sewaan mogok di tengah jalan, hujan deras turun, dan aku cuma bisa duduk di warung makan sambil minum teh hangat. Tapi lucunya, itu malah jadi momen paling berkesan. Aku ketawa sendiri, ngobrol sama pemilik warung, dan bikin kenangan yang nggak bakal ada di itinerary manapun.

Ekspektasi tinggi itu penting, tapi jangan sampai bikin kita lupa nikmatin perjalanan. Kadang realita santai justru ngajarin kita hal-hal berharga: sabar, fleksibel, dan menikmati hal sederhana yang bikin hati tenang.

Jadi sekarang, aku belajar bikin ekspektasi… tapi dengan disclaimer: “Realita boleh santai, asal hati tetap senang.” Ternyata, hidup nggak selalu soal hasil maksimal. Kadang soal momen-momen lucu yang bikin kita bilang, “Ya ampun, ternyata begini juga seru.”

Ekspektasi tinggi boleh, tapi kalau realita ngajak santai… ya ikutin aja. Hidup kan nggak perlu diburu-buru. Dan percaya deh, nanti suatu hari kita bakal ketawa lihat semua “gagal lucu” itu dan sadar: itu bagian dari seni hidup yang nggak bisa diajarin di buku manapun.

Tapi ya, jangan kira hidupku cuma soal “bangun kesiangan dan hujan deras.” Ada momen lain yang bikin aku sadar, ekspektasi tinggi kadang bikin kita lupa sama hal-hal kecil yang seharusnya dinikmati.

Aku masih ingat, suatu kali aku pengen banget masak spaghetti ala chef terkenal. Aku ngebayangin: piring cantik, saus merah mengkilap, taburan keju di atasnya, terus foto dulu buat feed Instagram. Semua sudah disiapin. Tapi pas prosesnya… sausnya gosong, pasta lengket, dan aku malah menumpahkan keju ke lantai. Aku cuma bisa duduk, geleng-geleng kepala, sambil bilang ke diri sendiri, “Ya udahlah… spaghetti versi realita santai.”

Lucunya, adikku datang, nyodorin piring sambil tertawa:
“Kamu serius ini spaghetti atau eksperimen ilmiah gagal?”
Aku cuma bisa ketawa, sambil nyadari satu hal: hidup itu nggak harus selalu sempurna. Kadang momen gagal itu yang bikin kita ketawa bareng orang terdekat.

Ada juga kejadian di kantor. Aku punya target tinggi: harus presentasi lancar, slide rapi, jawaban mantap. Tapi pas hari H, proyektor nggak nyala, laptop ngehang, dan aku cuma bisa berdiri di depan teman-teman sambil ngomong, “Yah… kita bayangin aja slide-nya lagi jalan ya.” Semua orang ketawa, dan ternyata itu malah bikin suasana lebih santai dan hangat. Dari situ aku belajar: kadang ekspektasi tinggi harus dibumbui fleksibilitas dan sedikit humor.

Dan bukan cuma soal kerja atau masak, ekspektasi tinggi vs realita santai juga muncul dalam hal personal. Aku pernah berencana olahraga tiap pagi selama sebulan. Hari pertama oke, hari kedua semangat juga. Tapi hari ketiga hujan deras, hari keempat aku sakit kepala, hari kelima… aku cuma tidur sambil nonton drama Korea. Ekspektasi: sehat, bugar, produktif. Realita: rebahan, ngemil, dan tertawa sendiri karena gagal disiplin. Tapi, itu nggak apa-apa. Justru dari situ aku belajar: hargai diri sendiri, jangan terlalu keras, dan nikmati proses, bukan hanya hasil.

Nah, pelajaran paling penting dari semua itu: hidup nggak selalu soal memenuhi ekspektasi sendiri atau orang lain. Kadang realita santai malah ngajarin kita: tersenyum saat gagal, tertawa saat rencana kacau, dan bersyukur atas momen sederhana yang nggak pernah direncanain.

Jadi sekarang, aku menulis ini sebagai reminder untuk diriku sendiri dan siapa pun yang baca: ekspektasi tinggi itu keren, tapi jangan lupa nikmati realita yang santai. Karena kalau terlalu fokus ke hasil sempurna, kita bisa kelewat momen lucu, momen hangat, dan momen yang bikin hati bahagia.

Ekspektasi tinggi boleh, tapi realita santai itu… worth it. Dan percaya deh, suatu hari nanti, semua momen “gagal lucu” itu bakal jadi cerita yang kita ingat, senyum sendiri, dan mungkin ketawa ngakak bareng teman-teman.

 

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN