MENYEMPURNAKAN TANPA KEHILANGAN DIRI
Aku ingat betul satu masa dalam hidupku — masa di mana aku hampir “kehilangan diriku sendiri”.
Bukan karena jatuh cinta (walau itu juga pernah bikin hilang akal), tapi karena terlalu sibuk “menyesuaikan diri” dengan dunia kerja.
Waktu itu aku baru pindah ke lingkungan kantor yang wah banget.
Orang-orangnya keren, rapi, ngomongnya pakai istilah Inggris campur singkatan yang bikin kuping kudu mikir dua kali.
Meeting aja bisa kayak debat calon menteri ekonomi — serius, cepat, dan kalau kamu salah ngomong dikit, bisa langsung kena tatapan “nggak kompeten”.
Jujur, awalnya aku minder banget.
Aku yang biasanya santai dan suka bercanda, tiba-tiba berubah jadi kaku kayak papan setrika.
Setiap kali mau ngomong, aku mikir dulu: “Kalimat ini profesional nggak, ya? Jangan-jangan kurang strategic thinking?”
Sampai akhirnya aku sadar — aku jadi orang lain di tempat yang seharusnya menumbuhkan versi terbaikku.
Suatu hari, di tengah rapat yang tegang, aku tanpa sengaja nyeletuk,
“Wah, ini rencananya kayak hubungan LDR ya — kalau komunikasi nggak jalan, bisa bubar di tengah jalan.”
Semua orang langsung hening.
Aku kira bakal dimarahi… tapi ternyata seluruh ruangan ketawa.
Dan, anehnya, suasana rapat jadi cair.
Sejak itu, setiap kali ada momen berat, mereka justru nungguin celetukan konyolku.
Dari situ aku belajar:
Ternyata jadi diri sendiri, yang apa adanya dan tulus, justru bisa membawa suasana lebih hidup.
Bukan berarti nggak profesional — tapi aku menemukan cara profesional versi diriku sendiri.
Nggak harus meniru gaya orang lain, cukup jadi versi terbaik dari diriku yang tetap manusiawi.
Kita sering berpikir bahwa untuk diterima, kita harus “menyesuaikan diri”.
Padahal kadang, dunia justru butuh keberbedaan kita.
Butuh cara pandang, cara bicara, cara bercanda, atau bahkan cara berpikir yang unik dari diri kita sendiri.
Karena kalau semua orang sama, dunia ini bakal ngebosenin banget — kayak nonton sinetron rerun yang ending-nya bisa ditebak dari menit pertama.
Sekarang, setiap kali aku mulai merasa “nggak cukup baik”, aku ingat kalimat sederhana:
“Kesempurnaan itu bukan hasil, tapi perjalanan.
Dan perjalanan itu nggak akan berarti kalau kamu kehilangan dirimu di tengah jalan.”
Kita boleh memperbaiki diri, belajar dari orang lain, bahkan meniru hal-hal baik dari mereka — tapi jangan sampai lupa menambahkan rasa kita sendiri.
Karena justru di situlah nilai hidupnya: di keaslian, bukan keseragaman.
Kadang, yang membuat seseorang memikat bukan karena dia sempurna, tapi karena dia jujur dengan dirinya sendiri.
Orang yang berani bilang, “Aku masih belajar,” atau “Aku masih berproses,” itu justru lebih berkelas daripada yang pura-pura “sudah sampai.”
Dan percayalah — dunia bisa merasakan mana yang asli, mana yang palsu.
Yang asli mungkin butuh waktu untuk diakui, tapi sekali dipercaya… akan bertahan lama.
Yang palsu, cepat viral, tapi juga cepat hilang.
Jadi hari ini, kalau kamu sedang berusaha jadi versi terbaik dari dirimu — teruskan.
Tapi pastikan satu hal: jangan sampai proses menyempurnakan diri malah membuatmu kehilangan “rasa kamu” yang unik, yang tulus, dan yang membuat orang lain merasa nyaman di sekitarmu.
Karena pada akhirnya, dunia ini nggak butuh kamu jadi sempurna.
Dunia cuma butuh kamu tetap jadi dirimu sendiri, tapi dengan niat yang lebih baik setiap hari.