“KOPI HITAM, ORGANISASI, DAN PERCAKAPAN SERIUS YANG TERSELIP TAWA”


 

(Obrolan Nucky dan Rizal di Masa Kuliah)

Suatu sore di kantin fakultas Ekonomi, dua mahasiswa semester tengah duduk santai di pojokan, sambil menatap gelas kopi hitam yang aromanya menusuk hidung lebih tajam daripada nilai IPK semester lalu. Mereka adalah Nucky dan Rizal, dua sahabat seperjuangan yang sering jadi duo penggerak sekaligus duo pengacau di organisasi kampus.

“Zal, lo sadar nggak sih,” kata Nucky sambil ngaduk kopi pakai sendok plastik yang sudah melengkung, “kita tuh udah kuliah hampir tiga tahun, tapi kayaknya masih banyak banget hal yang belum kita kuasai.”

Rizal menatap kosong ke arah mahasiswa yang sedang latihan orasi di depan aula kampus. “Iya, Ky. Ilmu kuliah banyak, tapi kadang yang paling kita butuhin justru nggak ada di modul dosen. Misalnya skill ngomong di depan umum, manajemen waktu, atau cara pura-pura paham waktu dosen nanya.”

Nucky ngakak. “Nah, yang terakhir itu skill level dewa! Tapi serius, Zal. Kadang gue mikir, pendidikan formal tuh cuma pondasi. Selebihnya kita harus gali sendiri.”

Rizal manggut-manggut, lalu menyesap kopinya yang mulai dingin. “Bener juga. Kayak di organisasi kampus misalnya. Banyak yang mikir cuma buang waktu, padahal justru di situ tempat belajar skill beneran. Lo inget nggak waktu pertama kali lo jadi MC di acara fakultas?”

Nucky langsung menepuk jidat. “Jangan diinget, Zal! Gue salah nyebut nama dosen pembimbing. Harusnya ‘Pak Suyatno’, malah keluar ‘Pak Sujatuh’. Itu auditorium langsung ketawa semua.”

Rizal ketawa ngakak sampai hampir nyembur kopinya. “Tapi dari situ lo jadi terbiasa ngomong di depan umum, kan? Sekarang lo malah sering diminta bawain acara.”

“Iya juga sih,” kata Nucky sambil nyengir. “Dulu gue remeh banget sama diri sendiri. Ngerasa nggak punya bakat apa-apa. Tapi ternyata, kalau kita mau nyoba dan konsisten, skill itu bisa tumbuh pelan-pelan.”

Rizal mengangguk bijak, sesuatu yang jarang ia lakukan. “Itu dia, Ky. Banyak orang pinter di kampus, tapi sayangnya mereka minder duluan. Meremehkan diri sendiri. Padahal kadang mereka jauh lebih mampu dari yang mereka kira.”

“Yup,” sahut Nucky sambil menunjuk temannya itu dengan sendok plastik. “Ada juga kebalikannya — orang yang nilainya biasa aja, tapi punya kepercayaan diri tinggi. Mereka berani ambil kesempatan, berani gagal, dan akhirnya justru berhasil.”

“Kayak si Adit tuh,” kata Rizal. “Nilai dia nggak pernah menyentuh angka 4, tapi sekarang dia jadi koordinator nasional organisasi mahasiswa. Gue aja kagum.”

“Karena dia ngerti kekuatannya di mana,” lanjut Nucky. “Dia jago lobi, jago ngomong, dan bisa bikin orang lain percaya. Itu skill yang nggak diajarin di kelas. Tapi dia latih terus sampai tajam.”

Rizal menatap Nucky sambil tersenyum kecil. “Kadang gue iri sih, Ky. Gue suka ngeliat orang-orang kayak Adit, atau bahkan lo. Gue ngerasa kayak masih gini-gini aja.”

Nucky meletakkan sendok, menatap Rizal dengan nada serius tapi tetap santai. “Zal, denger ya. Semua orang punya waktunya masing-masing. Kadang Tuhan ngasih kita waktu lebih lama buat ‘masak’. Jadi pas waktunya matang, hasilnya lebih nikmat. Lo nggak harus jadi kayak Adit, lo cuma perlu jadi versi terbaik dari Rizal.”

Rizal tertawa kecil. “Versi terbaik dari gue kayaknya masih dalam tahap beta test, Ky.”

“Yang penting jangan uninstall!” sahut Nucky cepat. “Serius, Zal. Jangan remehin diri lo sendiri. Lo tuh punya potensi. Lo jago banget ngatur orang, lo tuh manajer alami. Inget waktu acara Bazar Kampus? Kalo bukan lo yang ngatur, panitia bisa bubar sebelum acara mulai.”

Rizal nyengir malu. “Iya sih, tapi gue cuma ngatur doang, nggak ngerasa istimewa.”

“Nah itu! Lo terlalu ngeremehin hal-hal yang justru skill utama lo. Orang sukses bukan karena mereka bisa semuanya, tapi karena mereka fokus di satu hal dan ngembangin itu sampai ahli.”

Rizal terdiam, lalu menatap langit kampus yang mulai jingga. “Jadi intinya, kita harus kenal diri sendiri dulu ya, baru bisa ngembangin skill?”

“Exactly,” kata Nucky sambil mengangkat gelas kopi. “Kenalin dulu diri lo. Apa yang lo suka, apa yang lo bisa, dan apa yang bikin lo lupa waktu pas ngelakuinnya. Itu petunjuk paling jujur dari Tuhan soal bakat lo.”

“Wih, dalem banget Ky,” kata Rizal sambil tersenyum. “Lo belajar dari buku motivasi atau dari skripsi yang belum kelar?”

“Dari hidup, Zal,” jawab Nucky pura-pura bijak. “Dan sedikit dari obrolan warung kopi.”

Keduanya tertawa. Di tengah tawa itu, mereka sadar bahwa kampus bukan cuma tempat mencari gelar, tapi juga tempat belajar mengenal diri, gagal, bangkit, dan tumbuh.

Sore pun menjelang malam. Lampu-lampu kampus mulai menyala, seperti sinar kecil yang mengingatkan mereka bahwa setiap orang punya cahaya sendiri — tinggal berani atau tidak menyalakannya.

Dan malam itu, dua sahabat itu sepakat dalam diam: hidup bukan soal siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling sabar dan percaya pada prosesnya.

Kopi habis, tapi semangat mereka baru saja diseduh.

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN