Z-CORNER: DARI KOPI, AYAM, DAN HARAPAN YANG DIHIDANGKAN
Bayangkan kamu masuk ke sebuah tempat yang aroma kopinya
langsung bikin tenang, wangi ayam gorengnya menggoda iman, dan rak kecil di
pojok ruangan penuh kebutuhan harian masyarakat. Tempat itu bukan sekadar
warung, bukan pula kafe kekinian yang dikelola influencer.
Itu adalah Z-Corner, karya keren dari BAZNAS — media syiar Islam yang
bukan cuma ngomong soal pahala, tapi juga side effect ekonomi yang
nyata.
Kalau mau dibilang keren, ya keren banget. Karena Z-Corner
ini ibarat satu atap yang menaungi tiga bintang usaha: Z-Coffee, Z-Mart, dan
Z-Chicken.
Bayangin: satu tempat, bisa ngopi, bisa makan, bisa belanja — sekaligus jadi
ladang keberkahan.
Tapi tunggu dulu. Di balik aroma kopi dan ayam goreng itu,
ada perjuangan yang nggak main-main.
Para penggeraknya adalah mereka yang disebut mustahik — saudara-saudara
kita yang sebelumnya berada di bawah garis ekonomi mapan. Mereka bukan sekadar
pekerja, tapi pejuang kehidupan yang sedang belajar naik kelas.
Dan di sinilah menariknya.
Karena di atas kertas, program ini tuh “brilyan”. Tapi di lapangan? Hmm...
perlu sentuhan lebih holistic.
Kenapa? Karena yang dihadapi bukan mesin produksi, tapi manusia — dengan
mental, perasaan, dan latar belakang yang berbeda-beda.
Sebagian dari mereka mungkin baru pertama kali pegang wajan
besar, atau baru tahu bedanya “goreng garing” dan “gosong total”.
Ada juga yang masih takut ngitung modal, apalagi kalau sudah dengar istilah COGS,
food costing, atau menu engineering — yang kedengarannya kayak
mata kuliah ekonomi campur kimia.
Padahal untuk sukses di dunia kuliner, semua itu penting.
Mulai dari belajar mengolah makanan enak, tahu selera pasar, paham harga bahan,
sampai bisa promosi dengan gaya “soft selling” tapi tetap syar’i.
Dan semua itu butuh satu hal utama: mental bertanding yang tangguh.
Nah, di sinilah peran BAZNAS jadi kunci.
Bukan cuma ngasih modal dan tempat, tapi juga pendampingan dan pendekatan
manusiawi.
Karena kalau cuma dikasih alat tanpa arah, mustahik bisa bingung. Tapi kalau
dibimbing dengan kasih dan strategi, mereka bisa berubah — dari penerima zakat
menjadi pemberi zakat. Dari mustahik, menjadi muzaki sejati.
Makanya, BAZNAS perlu pakai pendekatan ala startup: integrated
and holistic penetration.
Bahasanya mungkin ribet, tapi intinya sederhana: dampingi mereka dari nol
sampai tumbuh, dari jualan kecil sampai punya sistem.
Seperti perusahaan rintisan yang melahirkan “bayi usaha”, lalu membimbingnya
sampai jadi perusahaan besar yang bermanfaat.
Dan di ujung perjalanan itu, manfaatnya berlapis:
- Mustahik
jadi mandiri,
- Muzaki
merasa zakatnya berdampak,
- BAZNAS
makin dipercaya,
- Dan
umat merasakan manfaat nyata dari sistem zakat yang hidup, bukan sekadar
slogan.
Karena sejatinya, syiar Islam tak hanya lewat mimbar,
tapi juga lewat kerja nyata.
Lewat secangkir kopi yang diracik mustahik dengan senyum penuh semangat.
Lewat sepotong ayam goreng yang jadi bukti bahwa rezeki bisa diolah dengan niat
baik.
Dan lewat Z-Corner — pojok kecil yang membawa manfaat besar bagi umat.
Jadi, kalau ada yang tanya, “Apa manfaat zakat di zaman
sekarang?”
Jawab saja dengan santai:
“Datang aja ke Z-Corner. Di situ, zakat bisa diseruput, digoreng, dan dijual
dengan penuh keberkahan.”
Bismillah... Shall we?

