AFIRMASI YANG HANYA KEPADA ALLAH

 UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :

 

Ada masa dalam hidupku di mana aku benar-benar berhenti sibuk menjelaskan diri pada orang lain. Bukan karena aku sok kuat, bukan pula karena merasa paling benar. Tapi karena capek. Capek dianggap salah tangkap meski niat baik. Capek dituduh punya motif tertentu, padahal cuma pengin bantu. Capek dijadikan bahan obrolan oleh orang-orang yang bahkan tidak pernah benar-benar tahu cerita di balik senyumku.

Aku sampai di titik di mana aku berkata pada diriku sendiri,

“Sudahlah, cukup. Aku nggak lagi peduli bagaimana lingkungan menilai — apakah mereka menghargai atau meremehkan, menuduh ini atau itu. Kalau setuju, tanganku masih terbuka. Kalau tidak,ya sudah aku pasrah pada ketetapan Allah dan belajar ikhlas.” Dan Allah semoga mengampuni dosa2mu

Karena jujur, mereka nggak pernah tahu rasanya berjuang dengan kaki tangan sendiri. Mereka hanya lihat dari permukaan — senyum di wajah, status di media sosial, atau cerita sepotong dari orang lain yang belum tentu benar. Tapi mereka cepat banget mengambil kesimpulan, seperti hakim yang baru nonton trailer film tapi sudah berani memvonis ending-nya.

Padahal, kalau mereka tahu betapa beratnya langkah yang kutapaki, mungkin mereka akan diam sebentar. Karena jujur saja — hidup ini tidak selalu baik-baik saja. Ada masa di mana aku nyaris menyerah. Tapi anehnya, di tengah segala kesulitan itu, aku gak pernah meninggalkan siapapun yang sedang kesulitan. Aku masih berusaha hadir untuk orang lain, walau dengan segala keterbatasan. Meskipun diriku sendiri sedang nyaris roboh.

Kadang aku bantu orang yang bahkan gak tahu betapa berat hidupku saat itu. Tapi tidak apa-apa. Aku percaya, kalau tangan ini masih bisa memberi, berarti Allah masih memberiku kekuatan untuk bertahan. Dan terbukti, Allah itu ada. Dia tidak pernah pergi, bahkan ketika manusia berpaling. Maka referensiku tetap satu: Al-Qur’an, bukan status orang.

Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 286,

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Ayat itu seperti pelukan lembut di tengah badai. Bahwa seberat apa pun ujian yang datang, kalau itu terjadi padaku, berarti aku mampu — meski kadang harus tertatih-tatih membuktikannya.

Aku pernah berpikir, mungkin inilah makna “berjuang dengan kaki tangan sendiri.” Bukan soal hebat atau tangguh, tapi tentang terus melangkah walau lutut gemetar, tentang tetap tersenyum walau hati kadang sepi, tentang tetap memberi walau isi dompet lagi “puasa sunnah” tanpa niat. Hehe.

Sekarang, aku belajar bersyukur dalam bentuk yang lebih sederhana. Aku bahagia bukan karena semua berjalan lancar, tapi karena di tengah segala keterbatasanku, aku masih bisa berbuat kebaikan, masih bisa memberi manfaat untuk orang lain. Rasanya seperti menyalakan lilin kecil di tengah malam panjang — cahayanya memang kecil, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa aku masih hidup, masih bermanfaat.

Aku juga mulai belajar satu hal penting: kebaikan itu nggak perlu panggung. Kadang Allah memang sengaja menyembunyikan amal kita dari sorotan dunia supaya kita bisa ikhlas tanpa tepuk tangan. Karena sejatinya, kalau niatnya untuk dilihat manusia, cepat atau lambat kita akan kecewa. Tapi kalau afirmasinya hanya kepada Allah, sekecil apa pun yang kita lakukan akan tetap besar di sisi-Nya.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)

Hadits itu menegaskan, penilaian manusia itu fana. Hari ini dipuji, besok bisa dicaci. Tapi penilaian Allah? Abadi, jujur, dan sempurna.

Aku sering mengingat satu ayat yang menenangkan hati:

“Cukuplah Allah sebagai penolong, dan cukuplah Allah sebagai pelindung.” (QS. Al-Ahzab: 3)

Ayat itu jadi jangkar di saat aku nyaris karam. Karena ketika semua orang menjauh, Allah tetap dekat. Ketika semua pintu terasa tertutup, Dia masih memberi celah sekecil harapan. Aku belajar bahwa bahagia itu bukan tentang siapa yang mendukung, tapi tentang siapa yang kita jadikan sandaran.

Sekarang, kalau ada yang masih menilai buruk atau salah paham, aku cuma bisa tersenyum. Kadang sambil bergumam pelan,

“Nggak apa-apa, mereka belum baca bab lengkap hidupku.”

Aku tidak butuh semua orang paham. Cukup Allah tahu apa yang ada di hati. Cukup Dia yang menilai. Karena hanya penilaian-Nya yang benar-benar berarti.

Dan kalau pun nanti hidup ini selesai, aku ingin berlabuh di tempat yang selama ini jadi tujuan akhir dari segala perjuangan dan air mata: kepada Allah.
Tempat di mana setiap luka jadi pahala, setiap sabar jadi keindahan, dan setiap kebaikan sekecil apa pun tidak pernah sia-sia.

Maka untuk hari ini, aku hanya ingin melanjutkan langkah — mungkin pelan, tapi pasti. Dengan hati yang masih mau berbuat, tangan yang masih ingin memberi, dan keyakinan bahwa selama afirmasiku hanya kepada Allah…
aku tidak pernah berjalan sendirian.

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN