YAMAHA ALFA 2R: TIGA STRIP GANTENG DAN KEHILANGAN YANG MENGGORES
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
(Sebuah catatan dari hati, tentang cinta, kehilangan, dan belajar
melepaskan)
Ya, Yamaha
Alfa 2R. Warna hitam legam, bodi mulus dengan tiga strip biru metalik yang
membuatnya terlihat seperti pejuang jalanan sejati. Itu motor pemberian Ayah.
Dan buatku, itu bukan sekadar kendaraan. Itu simbol kasih, kebanggaan,
sekaligus mahkota diam yang membuatku tampil ganteng tiga strip lebih terang
dari biasanya.
Saat aku
mengendarainya, aku bukan lagi mahasiswa pas-pasan dari Denpasar yang ngekos di
Malang. Aku berubah jadi pangeran aspal. Jalanan pun seperti memberi
ruang hormat — lampu-lampu kota memantul di bodinya yang berkilau, membuatnya
tampak seperti makhluk suci dari showroom langit.
Bahkan helm
baret pun — yang kalau dipakai orang lain bisa mirip toples tumpah — jadi
terlihat gagah kalau kupadankan dengan Alfa 2R-ku.
Ritual
Minggu Pagi: Aku, Dia, Dan Air Sabun
Ada satu ritual
sakral yang tak pernah kulewatkan: mandi pagi untuk sang Alfa.
Setiap Minggu,
saat matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya, aku sudah siap di halaman.
Sepanci air hangat. Sabun motor. Lap mikrofiber kesayangan. Semuanya tertata
rapi — seperti persiapan prajurit sebelum perang.
Kusiram bodinya
pelan. Spons kugosok lembut, seperti menyentuh masa depan. Saat aku lap sisa
busa di tangkinya, aku sering tersenyum sendiri. Ada sensasi bahagia yang sulit
dijelaskan.
Selesai
dibersihkan, kulapisi pelindung bodi. Kilauannya luar biasa — sampai aku bisa
bercermin di sana dan berkata, “Ini baru definisi ganteng totalitas.”
Dan setiap kali
berhenti di lampu merah, aku tahu… cewek-cewek fakultas ekonomi itu pasti
menoleh sedikit lebih lama dari seharusnya. Kadang aku pura-pura garuk helm,
biar terlihat santai. Padahal di dalam hati, aku berseru, Yes! Alfa, kita
menang lagi hari ini!
Tragedi Sore
Itu: Modul Di Tangan, Musibah Di Depan
Hari itu tampak
biasa. Terlalu biasa, sampai aku tak merasa ada yang aneh. Aku pulang kuliah,
mampir ke bengkel langganan — ganti oli, cek rantai, semuanya seperti rutinitas
yang sudah hapal.
Sore menjelang
Maghrib, aku sempat pulang. Sholat. Makan sedikit. Ambil diktat kuliah
tambahan. Lalu keluar lagi dengan semangat dan rencana.
Tapi… begitu
aku melangkah ke tempat parkir biasa di depan rumah…
Kosong.
Kosong yang
mencekam. Kosong yang menusuk lebih dalam dari pedang samurai. Tak ada Alfa.
Tak ada suara mesin lembutnya. Tak ada kilau yang memantulkan cahaya lampu
teras.
Aku terdiam.
Napas tercekat. Dunia terasa berhenti berputar.
“Ya Allah…” aku
berbisik lirih. “Motorku… hilang?”
Dan kemudian —
teriakanku menggema di malam yang baru turun, “YA ALLAH! MOTORKU HILANG!!!”
Panik,
Pencarian, Dan Tangis Dalam Doa
Aku masuk rumah
dengan langkah gemetar. “Tante… motorku ilang…”
Tanteku pucat. Satpam komplek segera kami hubungi. Handy-talkie berbunyi,
senter menyala, koordinasi berjalan. Tapi semua… terlambat.
Aku menelpon
Heri, teman satu kelas. “Her, motorku hilang.”
Tanpa tanya panjang, dia datang. Langsung gas.
Kami menyusuri
gang-gang gelap Malang. Dari kawasan padat kos mahasiswa sampai sudut-sudut
kota yang bahkan Google Maps pun menyerah. Kami datangi bengkel gelap, tempat
nongkrong preman, tukang tambal misterius. Semua orang kami tanya.
“Mas, ada liat
motor Yamaha Alfa 2R, tiga strip biru, kinclong banget?”
Sebagian menjawab kosong. Sebagian pura-pura sibuk. Sebagian cuma menatap
kasihan.
Malam itu
panjang. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa hampa. Seperti separuh diriku
hilang bersama motor itu.
Orang Pintar
Dan Keheningan Tanpa Jawab
Usaha kami
berlanjut. Kami bahkan pergi ke Pasuruan. Probolinggo. Datangi “orang pintar”.
Ada yang pakai
dupa. Ada yang baca ayat. Ada yang nunjuk arah. Tapi semua… semu. Tak ada
hasil.
Katanya,
“Motormu dibawa ke arah barat laut, dekat sawah besar.”
Aku datang ke sana. Sawahnya luas. Tapi yang kutemui cuma jangkrik dan rasa
kecewa.
Rasa Yang
Tertinggal
Hari-hari
setelah itu terasa kosong.
Tidur tak nyenyak. Makan terasa hambar. Kuliah pun terasa seperti berjalan
tanpa arah.
Setiap kali
melihat jalan tempat biasa aku dan Alfa melintas, hatiku seperti diremas. Di
sana ada kenangan: suara mesinnya, getarannya, bahkan cara lampu depannya
menembus kabut malam.
Alfa bukan
sekadar motor. Dia teman seperjalanan. Saksi jatuh cintaku. Kendaraan yang
kupakai mengantar diktat kuliah, bawa gorengan buat teman
Kini semua
tinggal bayangan. Foto yang kusimpan di album, dan doa yang tak pernah berhenti
kupanjatkan.
Waktu berlalu,
dan aku mulai belajar sesuatu yang dalam.
Kehilangan ternyata bukan sekadar tentang barang yang hilang. Tapi tentang
latihan hati — bagaimana melepaskan sesuatu yang kita cintai, tanpa
kehilangan diri sendiri.
Dalam
Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan sungguh,
Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang
sabar.”
(QS. Al-Baqarah: 155)
Ayat itu dulu
hanya lewat di telinga. Tapi saat motorku hilang, aku baru paham: kehilangan
adalah bagian dari ujian kesabaran. Allah sedang mengajarkan — bahwa cinta
sejati bukan tentang memiliki, tapi tentang menerima.
Rasulullah ﷺ
pun pernah bersabda:
“Tidaklah
seorang Muslim tertimpa musibah, lalu ia mengucapkan: Inna lillahi wa inna
ilaihi raji’un — kecuali Allah akan memberi pahala dan mengganti dengan
yang lebih baik.”
(HR. Muslim)
Dan benar.
Waktu berjalan. Luka perlahan sembuh. Aku belajar ikhlas.
Kini aku tahu,
mungkin Tuhan ingin aku belajar bahwa tidak semua yang kita rawat akan tinggal.
Tidak semua yang kita sayang akan kembali. Tapi kita tetap bisa mengenang tanpa
harus memilikinya lagi.
Yamaha Alfa
2R-ku mungkin sudah hilang, tapi kisah kami tak akan pernah benar-benar lenyap.
Ia hidup di setiap jalan kenangan kota Malang, di setiap senyum kecil saat aku
mengenangnya, dan di halaman memoar ini — yang kelak akan kubaca lagi sambil
tertawa kecil dan berkata,
“Ah, itu motor…
yang dulu membuatku ganteng tiga strip lebih tinggi dari takdir.”
Catatan
Nucky: Kadang, hidup mengajarkan bahwa kehilangan bukan tentang barang yang
pergi. Tapi tentang belajar melepaskan, menghargai kenangan, dan tumbuh menjadi
versi diri yang lebih dewasa — yang tahu bahwa setiap kehilangan, jika
disyukuri, adalah cara Allah memelukmu dengan cara yang lain.