HIDUP ITU BUKAN SIAPA YANG TERBAIK, TAPI SIAPA YANG BISA BERBUAT BAIK
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Kadang kita
terlalu sibuk mengejar jadi “yang terbaik”, sampai lupa bahwa hidup ini
sebenarnya bukan lomba siapa paling hebat, paling kaya, atau paling terkenal.
Padahal, kalau mau jujur, banyak orang hebat di dunia yang akhirnya disegani
bukan karena gelarnya, tapi karena kebaikannya. Hidup ini, kata orang bijak,
bukan soal siapa yang paling cepat sampai di puncak, tapi siapa yang paling
banyak menolong orang di jalan menuju ke sana.
Aku pernah
ketemu seseorang yang sederhana banget. Nggak punya jabatan, nggak punya banyak
harta, tapi setiap kali ada orang susah, dia yang paling duluan datang bantu.
Kadang cuma bantu beliin nasi bungkus, kadang cuma dengerin curhat. Tapi entah
kenapa, orang kayak gini malah rasanya lebih “kaya” daripada mereka yang punya
segalanya. Mungkin karena hatinya lapang. Mungkin karena dia ngerti satu hal:
hidup itu bukan tentang jadi yang terbaik, tapi berbuat baik sebaik mungkin.
Rasulullah ﷺ
pernah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
manusia lainnya.” (HR. Ahmad).
Hadis ini
sederhana, tapi dalam banget maknanya. Karena di mata Allah, ukuran kemuliaan
bukan pada titel, jabatan, atau pencapaian duniawi, tapi seberapa besar manfaat
yang kita kasih buat sesama. Kadang kita sibuk banget bikin orang kagum,
padahal Allah cuma pengin kita bikin orang lain merasa terbantu.
Ada satu kisah
yang selalu aku ingat. Seorang pemuda datang ke masjid dengan wajah murung.
Katanya, dia gagal dapet kerjaan yang dia impikan. “Saya pengen banget sukses,
biar bisa bantu orang lain,” katanya dengan nada kecewa. Seorang tua di
sebelahnya cuma senyum dan bilang pelan, “Nak, kadang Allah nggak langsung
kasih posisi tinggi, karena Dia pengin kamu belajar jadi rendah hati dulu.”
Kalimat itu menampar lembut tapi dalam. Kadang Allah nggak pengin kita jadi
yang terbaik di atas, tapi jadi yang paling baik di mana pun kita berdiri.
Kebaikan itu
nggak selalu besar, dan nggak harus diumumkan. Kadang bentuknya cuma seulas
senyum, yang Nabi bilang adalah sedekah. Kadang cuma kata maaf yang kita
ucapkan duluan meski bukan kita yang salah. Kadang cuma sabar menghadapi orang
yang nyebelin. Tapi itulah nilai hidup — kebaikan kecil yang kalau dikumpulkan,
bisa jadi pahala besar di sisi Allah.
Aku jadi ingat
ayat dalam Al-Qur’an, “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah
(sekecil biji atom) pun, niscaya dia akan melihat (balasannya).” (QS.
Az-Zalzalah: 7). Bayangin, sekecil biji atom aja Allah hitung. Artinya, nggak
ada kebaikan yang sia-sia. Bahkan ketika kita bantu orang tapi nggak ada yang
lihat, Allah tetap catat. Bahkan kalau kebaikan itu ditolak, Allah tetap simpan
sebagai amal.
Tapi ya, kadang
manusia itu aneh. Kita lebih sibuk terlihat baik daripada benar-benar berbuat
baik. Kita berbuat baik supaya difoto, disukai, diviralkan. Padahal Allah tuh
nggak butuh konten, Dia cuma lihat niat. Kalau niatnya karena manusia, capeknya
juga akan datang dari manusia. Tapi kalau niatnya karena Allah, lelahnya
berubah jadi berkah.
Lucunya, dalam
hidup ini, orang yang paling banyak menolong sering kali justru yang paling
sedikit diceritakan jasanya. Tapi tenang, mereka nggak kehilangan apa-apa,
karena pahala mereka disimpan oleh Zat yang Maha Menghitung dengan sempurna.
Bukankah lebih indah begitu? Kita berbuat baik diam-diam, dan Allah yang
“posting” hasilnya di buku amal kita kelak.
Jadi kalau kamu
hari ini merasa belum jadi “yang terbaik” — nggak apa-apa. Nggak semua orang
ditakdirkan jadi bintang di panggung besar. Tapi semua orang punya kesempatan
untuk jadi cahaya kecil yang menerangi di kegelapan. Dunia nggak butuh banyak
orang hebat; dunia cuma butuh lebih banyak orang baik.
Karena pada
akhirnya, ketika kita dipanggil pulang, Allah nggak akan tanya seberapa besar
jabatan kita, seberapa banyak likes di postingan kita, atau seberapa keren
prestasi kita. Yang Dia tanya hanyalah: “Apa yang kamu lakukan dengan
kebaikan yang Aku titipkan di hatimu?”
Dan mungkin,
saat itu kita baru sadar — hidup bukan tentang menjadi yang terbaik. Tapi
tentang berbuat baik, dengan sebaik-baiknya hati.