JIKA KITA MEMULAI KARENA ALLAH, MAKA JANGANLAH KITA MENYERAH KARENA MANUSIA.

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :






Kalimat sederhana itu terdengar seperti nasihat klise pada awalnya—sampai akhirnya hidup sendiri mengajarkanku betapa dalam maknanya.

Bayangkan, berapa banyak dari kita yang memulai sesuatu dengan semangat membara—entah itu bekerja di tempat baru, membangun bisnis kecil-kecilan, menjadi pengajar di komunitas, atau bahkan sekadar ikut kegiatan sosial di masjid, bahkan memulai keluarga baru—tapi perlahan padam hanya karena komentar orang lain. Kadang bukan karena kita lemah, tapi karena manusia memang punya lidah yang tajam dan hati yang rapuh. Satu kritik bisa membuat kita mempertanyakan niat sendiri, satu cibiran bisa menghapus kerja keras berbulan-bulan.

Aku pernah mengalaminya. Dulu aku terlibat dalam sebuah kegiatan sosial—membantu anak-anak dari keluarga sederhana belajar setiap akhir pekan. Awalnya, niatku sederhana: ingin bermanfaat. Tapi belum seminggu berjalan, mulai muncul bisikan-bisikan halus, “Ah, paling cuma cari perhatian.”, “Nanti juga berhenti di tengah jalan.”, atau yang lebih menusuk, “Sok suci banget, kayak malaikat aja.”
Aku tertawa saat itu, tapi dalam hati rasanya seperti ditampar pakai daun kelor—nggak sakit secara fisik, tapi gatalnya lama banget.

Aku sempat hampir berhenti. Aku merasa, buat apa susah-susah kalau yang orang lihat cuma niat jelekku? Tapi malam itu, aku duduk lama di kamar, sambil menatap langit-langit yang entah kenapa terasa luas sekali. Aku mulai bertanya pada diri sendiri: “Kamu dulu mulai karena apa?”
Dan di situlah jawabannya muncul—aku mulai karena Allah. Karena ingin bermanfaat, karena ingin hidupku punya nilai di hadapan-Nya, bukan di mata manusia. Lalu kenapa aku harus berhenti hanya karena mereka tak mengerti niatku?

Keesokan harinya, aku datang lagi ke tempat mengajar itu. Anak-anak itu menyambutku dengan tawa dan sorakan sederhana, “Kak, hari ini kita belajar apa?”
Dan saat melihat senyum mereka, aku sadar—beginilah rasanya bekerja karena Allah. Tak butuh tepuk tangan, cukup tenang di hati. Tak perlu pujian, cukup keyakinan bahwa Allah tahu.

Hidup ini memang akan selalu memberi kita dua pilihan: berhenti karena kecewa oleh manusia, atau terus melangkah karena percaya pada Allah. Dan jujur saja, yang kedua jauh lebih sulit. Tapi di situlah nilainya. Karena setiap langkah yang tetap kita ambil, setiap air mata yang jatuh tanpa disaksikan siapa-siapa, akan dihitung oleh Allah sebagai bukti kesetiaan kita kepada-Nya.

Aku belajar bahwa manusia itu berubah-ubah—hari ini memuji, besok mencibir. Tapi Allah? Ia tak pernah berubah. Ia tahu kapan niat kita tulus, dan kapan kita hanya mencari perhatian. Maka kalau kita memulai sesuatu dengan niat karena-Nya, teruslah berjalan meski dunia seolah memalingkan wajah. Karena setiap langkah kecil yang kita ambil di jalan kebaikan, meskipun tanpa sorotan, sesungguhnya sedang dicatat di tempat yang tak pernah salah: Lauhul Mahfuz.

Dan lucunya, semakin aku berusaha tidak mempedulikan komentar orang, semakin ringan rasanya hidup. Aku tak lagi sibuk menilai siapa yang mendukung atau siapa yang menertawakan. Aku cuma ingin menyelesaikan apa yang sudah kumulai, karena kalau berhenti di tengah jalan, aku bukan mengecewakan mereka—aku mengecewakan diriku sendiri di hadapan Allah.

Jadi, jika suatu hari kamu merasa ingin berhenti karena orang-orang mulai membuatmu ragu, istirahatlah sebentar. Tapi jangan menyerah. Ingat, kamu tidak sedang bekerja untuk mereka. Kamu sedang menanam sesuatu untuk kehidupan yang jauh lebih panjang dari dunia ini.

Dan percayalah, tidak ada usaha yang sia-sia jika diniatkan karena Allah. Bahkan ketika manusia berpaling, langit masih mencatat.
Mungkin tidak ada tepuk tangan di dunia, tapi kelak akan ada sambutan yang jauh lebih indah: “Selamat datang, wahai jiwa yang tenang.”

Jadi, kalau kamu memulai karena Allah—selesaikan juga karena-Nya. Jangan biarkan omongan manusia memotong niat baikmu.
Karena manusia hanya bisa menilai dari kulit, tapi Allah selalu melihat ke dalam hati—tempat di mana segalanya bermula, dan seharusnya, di sanalah segalanya berakhir.

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN