DARI ANAK MINDER KE MEJA FORUM NASIONAL: PERJALANAN BOCAH KAMPUS YANG (AKHIRNYA) GAK BISA DIAM
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Sebuah
catatan tentang keberanian, perjalanan, dan makna tumbuh menjadi manusia yang
bermanfaat
Ya… itu aku.
Anak baru yang lebih takut ngomong dibanding push-up. Yang kalau dapat
pertanyaan, jantungnya langsung berubah jadi drum band.
Setiap kali ada
teman yang angkat tangan, ngomong lancar kayak penyiar radio, penuh logika dan
karisma… aku cuma bisa melongo sambil mikir, “Ini manusia apa slide
PowerPoint? Kok runut, jelas, meyakinkan pula.”
Sementara aku?
Paling mentok cuma jadi penonton setia.
Tepuk tangan pelan biar nggak kelihatan minder-minder amat.
Saat mereka
rapat di Badan Perwakilan Mahasiswa, aku sibuk milih pulpen warna buat nyatat:
• Merah buat materi keren.
• Biru buat materi yang bikin ngantuk.
• Hitam buat yang kira-kira keluar di ujian.
Kupikir hidup
mahasiswa cuma soal datang, duduk, nyatat, pulang.
Lalu menunggu skripsi datang seperti surat cinta dari dosen pembimbing.
Tapi ternyata,
Allah—dengan sense of humor yang luar biasa—punya skenario yang jauh lebih
seru.
Tamparan
Pertama di Teras Korkom
Suatu sore,
sahabatku Erry datang dengan semangat menyala.
“Ki, ikut yuk!
Ada diskusi di Korkom Merdeka!”
Aku, yang waktu
itu haus makna (dan jadwalnya hanya jemur baju), langsung mengiyakan.
Sepulang kuliah
aku datang. Maghrib baru selesai, orang-orang masih rapih habis sholat. Aku
nunggu di luar, tapi Erry nggak nongol. Sunyi, asing, dan jujur… deg-degan.
Lalu seorang
senior keluar.
Namanya: Almarhum Mas Bambang. Aktivis legendaris kampus.
Aku coba sopan,
“Assalamualaikum, Bang…”
“Waalaikumsalam.
Dari fakultas mana, dik?”
“Ekonomi,
Bang.”
“Ohh junior.
Kamu bawa bahan apa? Bawa ide apa?”
Dan otakku
langsung… blank.
Kayak laptop kena blue screen.
“Eee… nggak
bawa apa-apa, Bang. Cuma pengen belajar.”
Mas Bambang
menatap lama, lalu berkata pelan tapi menghujam:
“Kalau nggak
siap, jangan datang dengan otak kosong. Bisa kencing di celana kamu nanti.”
Aku cuma
berdiri terpaku.
Antara malu, tersinggung, tapi juga… tersadar.
Kalimat itu
menempel di kepala sampai rumah.
Menusuk, tapi justru menyalakan sesuatu.
Dari beliau aku
belajar:
datanglah dengan makna, bukan hanya dengan badan.
Hadir bukan cuma fisik, tapi juga pikiran.
Hari ini, tiap
mengingat almarhum Mas Bambang, aku tersenyum.
Tegurannya dulu kasar, tapi cintanya tulus.
Al-Fatihah untuk beliau.
Cinta
Pertama… pada Spanduk
Titik balikku
datang di semester tiga.
Seperti film yang tiba-tiba berubah dari hitam putih ke full color.
Aku jatuh
cinta.
Bukan pada seseorang, tapi pada spanduk bertuliskan:
“Penerimaan
Anggota Baru – FORDIMAPELAR.”
Namanya aja
udah berat.
Tapi dari kabar-kabar, itulah tempat otak berkarat dipoles ulang.
Aku daftar.
Masuk diklat.
Dan dunia baru terbuka.
Aku belajar
debat, riset, bikin proposal, sampai bikin kopi untuk senior—yang entah kenapa
mintanya selalu “pahit tapi manis di akhir,” kayak hubungan tidak jelas.
Mentorku luar
biasa:
- Mas Lukman Malanuang, lidahnya tajam tapi hatinya
lembut.
- Alm. Mas Akhmad Yanto, anak Masalembo—yang awalnya
kupikir cuma tempat kapal hilang, ternyata tempat aktivis tangguh tumbuh.
Mereka ngajari
bukan cuma cara ngomong, tapi cara bertanggung jawab atas kalimat.
Kata Mas
Lukman:
“Kalimat tanpa tanggung jawab itu kayak janji tanpa niat—manis di awal, getir
di belakang.”
Entah gimana,
aku terpilih jadi Sekretaris Umum FORDIMAPELAR.
Anak minder
yang dulunya takut ngomong, sekarang sibuk ngetik agenda rapat dan debat isu
nasional.
Lucu ya hidup?
Keberanian justru tumbuh di tempat yang dulu paling kita takuti.
Menyelam
Lebih Dalam: HMI dan Jalan Keberanian
Belum selesai
kaget jadi sekum, aku bertemu organisasi bernama HMI.
Aku ikut
LK1—rasanya seperti gabungan bootcamp spiritual dan intelektual.
Di sana ada
sahabat-sahabat yang sampai hari ini jadi saudara jiwa:
Rizal yang strategis, Rino si kompor cerdas, Adi pendobrak, Sony si pendiam
penuh ide, Erry sang pekerja keras, serta Helda dan Hermin yang smart dan
sigap.
Angkatan kami lengkap—kayak Avengers versi kampus.
Ngobrolnya
bukan lagi soal IPK, tapi soal makna keberadaan kita.
Mentor kami pun
hebat:
- Alm. Munir, aktivis HAM berhati lembut.
- Mas Imran Elly, filsuf santai yang bikin diskusi
berat terasa kayak nongkrong sambil kopi.
Saat negara
ribut soal SDSB, kami turun ke jalan.
Teriak: “SDSB musuh rakyat!”
Aku belum
bilang ke Ayah.
Kalau beliau tahu? Bisa dikirimin tiket pulang plus ceramah tiga babak.
Tapi idealisme
memang butuh ruang untuk tumbuh.
Dari sana aku
belajar:
diam itu aman, tapi belum tentu benar.
Dan aku nggak mau jadi mahasiswa yang cuma mengeluh di kamar kos tapi tak
pernah bersuara.
Dari Anak
Minder ke Forum Nasional
Waktu berjalan.
Aku dipercaya memimpin bidang PTKP di HMI Komisariat.
Lelah? Iya.
Tapi hatiku terasa makin hidup.
Lalu tibalah
hari itu:
Aku dikirim jadi pembicara di Lokakarya Mahasiswa Nasional di Universitas
Brawijaya.
Bayangkan:
Anak kompleks kampus yang dulu takut bicara, kini duduk di meja forum nasional,
berbicara di depan mahasiswa se-Indonesia.
Aku berdiskusi
dengan Helda, aktivis dari organisasi lain.
Kami debat keras, saling bantah, lalu makan bakso bareng sambil ngakak.
Dari situ aku
sadar:
Perbedaan bukan alasan untuk bermusuhan.
Yang penting: hormat, adab, dan niat baik.
Dan di momen
itulah aku benar-benar paham:
Aku bukan siapa-siapa.
Tapi aku tahu di mana aku harus berdiri.
Refleksi
Seorang Mantan Anak Minder
Kini, saat
menoleh ke belakang, aku tersenyum.
Dulu aku takut
bicara.
Kini aku bisa bicara di forum nasional.
Dulu aku
minder.
Kini aku tahu cara berdiri.
Dan semuanya
bermula dari tamparan kecil di teras Korkom.
Nelson Mandela
bilang:
“Courage is not the absence of fear, but the triumph over it.”
Rasulullah SAW
bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.”
Maka aku ingin
jadi manusia itu.
Bukan yang paling hebat, tapi yang paling berguna.
Yang kalau bicara, bukan karena ingin didengar, tapi karena ingin memberi
makna.
Catatan
Nucky “Rasa minder bukanlah akhir,
melainkan pintu awal menuju keberanian.
Karena saat kita melangkah meski gemetar,
di situlah kita menemukan jati diri,
makna hidup,
dan kesempatan untuk bermanfaat bagi sesama.”
Al-Fatihah
untuk semua guru, senior, dan mentor yang telah mendahului—
mereka yang menyalakan lentera di hati kami,
agar kami tak lagi takut gelap.