DREAMS ARE MY REALITY – KETIKA MIMPI MENYENTUH NYATA


 UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :




Aku masih ingat betul kapan pertama kali lagu itu mampir ke hidupku.
Reality, lagu lembut dari Richard Sanderson, yang dulu sering berkumandang di radio-radio jadul dan jadi soundtrack film La Boum—film yang dulu entah kenapa rasanya terlalu romantis buat anak SMP. Tapi waktu itu, di bangku SMP Cipta Dharma, aku justru merasa lagu ini seperti punya pintu rahasia ke dalam dunia yang tiba-tiba terasa lebih luas dari sekadar sawah, gang kecil, dan teman-teman di kampung.

Ya, begitulah... aku yang dulu anak kampung di kawasan Bandara Ngurah Rai—dunia kecil yang orangnya ya itu-itu lagi. Setiap pagi, wajahnya sama. Setiap sore, gosipnya juga sama.
Tapi begitu masuk SMP di Denpasar… wah, dunia seperti meledak penuh warna! Ada anak gaul, ada anak kutu buku, ada yang tiap hari bawa walkman, dan ada juga yang kelakuannya absurd tapi lucu. Dunia terasa lebih riuh, lebih beragam—dan jujur aja, lebih complicated. Tapi aku bahagia.
Dan di antara semua itu, lagu Reality seperti jadi teman perjalanan. Lagu itu menemani masa transisiku: dari bocah kampung yang kikuk, jadi remaja yang mulai kenal makna falling in love—meski waktu itu aku belum tahu, jatuhnya ke mana.

 

Kadang hidup memang suka bercanda, tapi dengan cara yang lembut.
Kita pikir hari itu biasa aja, tapi Tuhan rupanya menyiapkan kejutan kecil, cukup untuk menggoyang ritme hidup kita yang tadinya tenang-tenang aja. Hari itu aku cuma berdiri di sudut ruangan—nggak ada rencana besar, nggak ada target apa pun. Tapi lalu… aku melihatmu.

Lucunya, udara tiba-tiba terasa beda. Aku nggak tahu kenapa. Orang-orang lalu-lalang, tapi pandanganku berhenti di kamu. Mungkin karena kamu terlihat sederhana tapi punya sesuatu yang... entah, sulit dijelaskan. Cara kamu senyum setengah malu, atau caramu memutar rambut saat berpikir—hal-hal kecil yang nggak penting, tapi ajaibnya justru bikin hari itu jadi nggak kulupakan.

Aku bukan tipe orang yang percaya cinta pada pandangan pertama. Aku percaya listrik, tapi bukan “spark” yang katanya bikin jantung berdebar tanpa sebab. Tapi hari itu… mungkin aku sedang jadi pengecualian.
Entah apa yang Allah rencanakan hari itu, tapi jelas ada sesuatu yang berubah pelan-pelan di dalam diriku.

 

Setelah hari itu, bayanganmu mulai nyelinap pelan-pelan di sela pikiranku. Kadang muncul di tengah pelajaran, kadang di perjalanan pulang, kadang bahkan di mimpi. Dan dari situlah aku mulai paham makna lirik lagu itu: “Dreams are my reality.”
Iya… mungkin mimpilah yang justru terasa paling nyata.

Di dalam mimpi, aku bisa ngobrol sama kamu tanpa salah tingkah, bisa bercanda tanpa takut disalahpahami, bisa mencintai tanpa takut kehilangan.
Mimpi jadi tempat yang aneh tapi hangat.
Kadang aku merasa justru di sanalah aku hidup dengan lebih jujur.

Orang-orang sering bilang, “Jangan kebanyakan melamun, nanti lupa kenyataan.” Tapi buatku, di antara lamunan itu, justru aku menemukan siapa diriku.
Aku belajar kalau realita bukan cuma apa yang bisa kita sentuh, tapi juga apa yang bisa kita rasakan — meski cuma dalam sepotong mimpi.

 

Lucu ya, bagaimana sesuatu yang tidak nyata bisa terasa begitu sungguh?
Aku nggak tahu apakah kamu benar-benar ada, atau cuma bentuk dari harapan yang terlalu lama kusimpan. Tapi kalau kamu memang nyata…
“Please, honey, don’t resist.”
Bantu aku menemukan cara baru mencintai — bukan cuma lewat tatapan samar di mimpi, tapi juga lewat langkah nyata di bumi ini.

Aku sadar, cinta nggak selalu datang dengan sempurna. Kadang datangnya telat, kadang salah timing, kadang malah bikin bingung. Tapi dari situ, aku belajar bahwa setiap perasaan — sekonyol apa pun — tetap punya nilai.
Cinta bukan soal memiliki, tapi soal merasa hidup. Dan kamu, entah bagaimana, membuatku merasa hidup kembali.

 

Sekarang, waktu sudah berjalan jauh. Aku bukan anak SMP yang berdiri di pojokan itu lagi. Tapi setiap kali lagu Reality diputar, jujur saja — ada rasa hangat yang mengalir, seperti menonton ulang film hidupku sendiri.
Aku tersenyum. Kadang malu, kadang terharu. Tapi di balik semua itu, aku bersyukur.

Karena dari lagu dan kenangan itu, aku belajar sesuatu yang sangat manusiawi:
Bahwa cinta tidak selalu harus berakhir bersama.
Kadang, cukup ia hadir sebentar untuk mengingatkan kita bahwa hati ini masih bisa bergetar.
Masih bisa bermimpi.
Masih bisa berharap.

Dan jika suatu hari seseorang bertanya,
“Apa mimpi terindahmu?”
Aku akan menjawab dengan tenang,
“Ketika aku bermimpi tentang seseorang… dan untuk sesaat, mimpi itu terasa benar-benar nyata.”

 

Tapi seperti yang sering aku bilang pada diriku sendiri — Allah punya cara yang unik untuk menunjukkan kasih sayang-Nya. Kadang, Ia tidak memberi kita seseorang untuk dimiliki, tapi untuk diingat.
Agar kita tahu, bahwa hati yang pernah bergetar itu tanda bahwa kita masih manusia.
Masih bisa mencintai, bahkan dalam diam.
Masih bisa berharap, bahkan lewat mimpi.

Dan mungkin…
itulah REALITA paling indah dari sebuah mimpi.


Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN