MENGENANG KEJAYAAN BIOSKOP KELUD MALANG : MISBAR-GERIMIS BUBAR, MALAM, DAN MALANG DI ERA KEEMASAN
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Kalau kamu pernah tinggal di Malang era 70-an sampai awal 90-an, sebutan “Bioskop
Kelud” pasti bikin senyum kecil muncul di bibir, entah karena ingatan tentang
film-film legendaris, atau karena kenangan masa muda yang penuh cerita. Tapi
kalau kamu anak kos yang datang ke Malang di awal 90-an—seperti aku waktu
itu—nama itu lebih mirip legenda urban. Cerita tentang tempat hiburan rakyat,
murah meriah, yang katanya “kalau gerimis ya bubar.” Begitulah julukan
akrabnya: bioskop misbar.
Aku masih ingat, sekitar tahun 1991-an, saat pertama kali
menginjakkan kaki di Malang sebagai mahasiswa baru. Kota ini waktu itu masih
teduh, belum seramai sekarang. Pohon trembesi besar di pinggir jalan seakan
jadi payung alami bagi kota yang hidupnya pelan tapi hangat. Di sela rutinitas
kuliah dan perjuangan anak kos yang uangnya pas-pasan, hiburan paling masuk
akal ya cuma dua: makan bakso Malang, atau nonton film murah di Bioskop Kelud.
Awalnya aku cuma dengar cerita dari teman-teman kos. Katanya,
“Kalau belum nonton di Dulek, belum sah jadi Arek Malang.”
Dulek—ya, itu sebutan walikan khas Malang dari “Kelud”. Orang Malang memang
punya cara unik menciptakan identitas: semua dibalik, tapi tetap berisi makna.
Bioskop Kelud ini terletak di Jalan Kelud No. 9, dan sejak tahun
1970-an sudah jadi tempat hiburan paling ramai. Didirikan oleh dua anggota
Brimob, Noersalam dan Marsam, yang awalnya punya bioskop keliling. Dengan modal
dari layar tancap itulah, mereka akhirnya membeli lahan bekas gedung
bulutangkis dan membangun bioskop permanen. Tapi bukan sembarang bioskop —
konsepnya outdoor! Orang-orang menonton film di bawah langit malam, ditemani
aroma gorengan dan jagung bakar. Kalau hujan tiba-tiba turun, ya sudah, gerimis
bubar — misbar!
Suasana malam di sekitar bioskop itu seperti pasar malam mini.
Lampu-lampu redup, anak-anak berlarian sambil menggenggam balon, bapak-bapak
duduk di bangku panjang, dan pedagang berkeliling menjajakan minuman bersoda
dalam botol kaca. Ada aroma kacang rebus, jagung bakar, dan entah kenapa,
sedikit bau tanah basah yang selalu muncul sebelum hujan.
Film yang diputar? Campur aduk. Dari film lokal seperti “Warkop
DKI,” “Raja Dangdut,” sampai film India yang penuh nyanyian dan tarian
warna-warni. Kadang juga muncul film koboi, di mana para penonton spontan
bersorak setiap kali si jagoan berhasil menembak penjahat. Tapi puncaknya, kata
orang-orang lama, terjadi di tahun 1976 — ketika film “Inem Pelayan Seksi”
diputar.
Bayangkan saja, tujuh ribu orang datang nonton! Malam itu, katanya, seperti
festival rakyat. Semua kursi penuh, sebagian penonton bahkan rela duduk di
tanah atau berdiri di pinggir pagar hanya demi ikut menonton dari jauh.
Dan yang bikin lebih seru lagi, Kelud ini juga sempat menerapkan konsep
Drive-in Cinema—satu-satunya di Jawa Timur waktu itu! Jadi orang bisa nonton
dari mobil, ala film-film Amerika. Cuma bedanya, di sini bukan pakai mobil
sedan mewah, tapi kadang malah truk atau colt bak yang dimodifikasi seadanya.
Tapi ya, justru di situlah letak kerakyatannya.
Waktu aku akhirnya memutuskan datang sendiri ke sana sekitar tahun
1994, suasananya memang sudah mulai sepi. Bioskop modern mulai muncul, televisi
berwarna makin murah, dan VCD sedang naik daun. Tapi malam itu, aku nekat pergi
bersama dua teman kos. Bukan karena kami penggemar film India atau Warkop, tapi
cuma ingin merasakan sejarah sebelum ia benar-benar hilang.
Kami beli tiket yang harganya nggak sampai seribu perak. Masuk lewat pintu besi
tua yang catnya sudah pudar. Layar lebar di depan tampak sedikit miring, dan
suara speaker serak-serak basah. Tapi begitu film mulai, semua kekurangan itu
hilang. Orang-orang tertawa bareng, menjerit bareng, dan saling saling melempar
komentar. Rasanya seperti kembali ke masa kecil—tanpa beban, tanpa gengsi.
Malam itu aku ingat, sempat gerimis kecil. Tapi tak ada yang
bubar. Mungkin karena semua sadar: ini mungkin malam terakhir kami di Bioskop
Kelud.
Dan benar saja, tahun 1995, bioskop itu resmi ditutup.
Kini, di lokasi yang sama di Jalan Kelud 9, berdiri area parkir
biasa. Tak ada lagi gemuruh tawa penonton, tak ada bau kacang rebus atau jagung
bakar, tak ada dentuman lagu India di udara malam Malang. Hanya kenangan yang
tersisa, seperti bayangan samar di layar putih yang perlahan memudar.
Bioskop Kelud bukan sekadar tempat nonton film. Ia adalah potret
sederhana dari kehidupan masyarakat pada masanya—tentang kebersamaan,
kesederhanaan, dan cara manusia mencari bahagia dengan cara yang paling jujur.
Di sana, orang dari segala lapisan duduk berdampingan tanpa memandang status.
Semua hanya penonton yang ingin tertawa dan melupakan beratnya hidup sejenak.
Mungkin itulah kenapa kenangan tentang Bioskop Kelud begitu kuat.
Karena di balik layar putih dan bangku kayu reyotnya, ia mengajarkan satu hal
yang tak pernah usang oleh waktu:
Kebahagiaan itu sederhana—kadang cuma butuh selembar tiket murah,
secuil tawa, dan sedikit keberanian untuk menikmati malam yang mungkin tak akan
pernah terulang.
Dan setiap kali aku lewat Jalan Kelud, aku masih bisa mendengar
gema samar tawa orang-orang di masa lalu…
Tawa yang kini tinggal dalam kenangan, tapi hangatnya tak pernah benar-benar
hilang.