POLISI LEGEND PAK MIRAN: ANTARA PAKU, DISIPLIN, DAN CINTA UNTUK KOTA MALANG

   UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :






Aku sebenarnya tidak pernah benar-benar mengenal beliau secara pribadi. Tidak pernah berbincang, tidak pernah satu meja, bahkan mungkin tak pernah saling sapa. Tapi entah kenapa, setiap kali mendengar nama Pak Samiran, ada semacam rasa familiar yang hangat di hati—seolah aku pernah tumbuh bersama bayang-bayang ketegasan dan wibawanya di jalanan kota Malang tempo dulu.

Bagi anak-anak Malang di era 90-an, nama beliau bukan sekadar nama. Itu legenda. Sosok polisi yang mungkin dulu membuat para tukang becak berlari ketakutan, tapi juga membuat kota ini terasa aman, tertib, dan berwibawa. Di antara deru kendaraan, teriakan pedagang, dan hiruk pikuk Alun-Alun, kehadirannya adalah simbol ketegasan yang tulus. Galaknya bukan karena benci, tapi karena cinta pada keteraturan dan kejujuran.

Kini, beliau telah tiada. Namun kenangan tentangnya masih hidup dalam cerita warga, di tiap sudut jalan yang dulu dijaganya dengan sepenuh hati. Untuk beliau, Al-Fatihah — bagi sosok yang mungkin tidak semua orang pahami semasa hidupnya, tapi kini semua orang rindukan ketegasannya.

Kalau kamu tumbuh besar di Malang tahun 80-an sampai awal 90-an, pasti pernah dengar nama Pak Samiran. Polisi legendaris yang disebut-sebut lebih ditakuti tukang becak daripada razia pajak, tapi juga lebih disegani daripada pejabat mana pun yang suka duduk di belakang meja.
Nama beliau identik dengan dua hal: ketertiban dan paku 15 sentimeter — yang katanya selalu beliau bawa di sakunya setiap kali bertugas. Paku itu bukan buat menakuti orang sebenarnya, tapi buat “menertibkan ban becak bandel” yang parkir sembarangan di tengah jalan Alun-Alun Malang.
Katanya, kalau sudah lihat Pak Samiran datang dengan Kijang pikapnya yang ada kawat berduri di depan, para tukang becak langsung seperti lari lomba maraton. Bukan takut dipenjara, tapi takut ban-nya “dijubles” alias ditusuk.

 

Kota Malang di Masa Itu

Kota Malang waktu itu masih adem. Jalanan belum seruwet sekarang, udara sejuknya masih nyengat sampai ke tulang. Orang-orang saling sapa, anak kecil main layangan di gang, dan suara azan Magrib dari Masjid Jami’ Alun-Alun jadi penanda semua pedagang mulai berkemas. Tapi satu hal yang paling bikin kota ini tertib ya… karena ada Pak Samiran.

Beliau bukan cuma polisi, tapi juga seperti penjaga moral jalanan. Di bawah terik matahari atau hujan deras, beliau tetap berdiri di perempatan Rajabali, atau kadang di sekitar Kayutangan, lengkap dengan helm dan tongkatnya yang sudah akrab di mata warga.
Kalau ada yang berani melanggar aturan, jangan harap lolos. Tapi lucunya, banyak juga warga yang justru merasa aman kalau beliau ada. Karena meski galak di lapangan, di rumah beliau dikenal lembut, penyayang keluarga, dan nggak pernah lupa sholat.

 

Galak di Jalan, Lembut di Rumah

Banyak yang nggak tahu, sosok yang di luar tampak seperti “singa jalanan” ini, di rumah adalah bapak dan suami yang penuh kasih. Istrinya seorang bidan yang sabar, dan sering jadi tempat curhat warga sekitar Panjura.
Pak Samiran suka banget nonton berita kriminal. Tapi setiap kali muncul berita pembunuhan atau perampokan, beliau spontan berkata pelan,

“Astaghfirullah… kok tega banget ya manusia kayak gitu.”

Kalimat itu mungkin sederhana, tapi menunjukkan betapa lembutnya hati beliau. Orangnya jujur, nggak neko-neko, dan anti sogok. Dalam bahasa orang kampung waktu itu, “polisi yang benar-benar polisi, bukan polisi setengah pejabat.”

 

Cerita yang Melegenda

Ada banyak kisah lucu dan haru tentang beliau yang beredar dari mulut ke mulut.
Salah satunya, ada yang cerita kalau beliau pernah ditusuk garpu sama tukang bakso—bukan karena beliau jahat, tapi karena si tukang bakso nggak terima ditertibkan. Untungnya, beliau selamat. Dan alih-alih dendam, beliau malah bilang,

“Ya, wong aku cuma jalankan perintah atasan. Namanya juga tugas.”

Atau kisah waktu beliau nyetir mobil Kijang pick-up yang bumper-nya dilapisi besi kawat berduri. Suatu pagi di Alun-Alun Timur, mobil itu datang dari arah selatan, menabrak becak-becak yang parkir sembarangan. Semua tukang becak langsung kabur bawa becaknya masing-masing sambil teriak, “Pak Miran datang! Lari, LARI!”
Suasana itu kayak film laga tahun 90-an. Bedanya, ini real life — di tengah Malang yang masih beraroma kopi dan rokok kretek.

 

Dulu Malang Aman, Sekarang…

Banyak warga yang masih sering bilang, “Zamane wongé Pak Miran, Malang aman, tertib, tenang. Sekarang? Aduh, semrawut.”
Dan mungkin ada benarnya. Dulu nggak ada tukang parkir liar yang nyengir sambil minta uang di setiap trotoar, nggak ada pedagang yang nekat buka lapak di tengah zebra cross, dan nggak ada pengendara yang seenaknya nyrobot lampu merah.
Mereka tahu — di balik tikungan bisa saja ada Kijang berduri yang siap “menyapa.”

 

Dihormati dan Dibenci, Tapi Dikenang

Yang menarik, beliau ini sosok yang di satu sisi sangat dihormati, tapi di sisi lain juga dibenci oleh orang-orang yang “maunya seenaknya.”
Tukang becak, pedagang kaki lima, atau sopir angkot yang bandel, pasti punya kisah sendiri tentang ketemu Pak Samiran. Tapi, bahkan mereka yang pernah “kena semprit”-nya, akhirnya mengakui,

“Galak sih, tapi demi kebaikan. Tanpa beliau, Malang pasti berantakan.”

Dan benar saja. Setelah beliau pensiun, kota terasa lebih bebas — tapi juga lebih semrawut. Jalanan mulai macet, pedagang makin liar, dan disiplin pelan-pelan jadi barang langka.
Mereka baru sadar, ketegasan yang dulu dibenci, ternyata adalah bentuk cinta yang paling jujur.

 

Akhir Hidup yang Tenang

Waktu terakhir beberapa orang melihat beliau, katanya sudah bekerja sebagai satpam di sebuah supermarket dekat Masjid Sabilillah. Tetap disiplin, tetap tegas, tapi jauh lebih tenang.
Orang-orang yang dulu takut, kini menyalami dan menghormati beliau dengan senyum tulus. Mereka sadar, yang dulu dianggap “galak” ternyata hanyalah cara beliau menjaga Malang dengan sepenuh hati.

 

Warisan yang Tak Tergantikan

Sekarang, setiap kali lewat Alun-Alun, sebagian orang tua pasti masih bisa membayangkan sosok tegap dengan helm putih dan tongkat di tangan kanan, berdiri di tengah hujan.
Polisi yang tak kenal kompromi, tapi penuh iman. Yang lebih takut pada Tuhan daripada pada atasan. Yang menertibkan bukan karena gengsi, tapi karena cinta.

“Polisi seperti Pak Samiran mungkin cuma lahir sekali dalam satu generasi. Setelah beliau, Malang kehilangan satu penjaga moral jalanan — sosok yang keras di luar, tapi hatinya selembut doa istrinya setiap malam.”

 

Kini beliau telah tiada, tapi kisahnya tetap hidup — di tiap cerita nostalgia warga Malang, di setiap becak tua yang masih melintas di sekitar Alun-Alun, dan di setiap kenangan tentang kota yang dulu tertib karena satu orang bernama Pak De Samiran.

Semoga amal ibadah beliau diterima di sisi Allah SWT, segala dosanya diampuni, dan namanya selalu disebut dengan penuh hormat:

“Pak De Samiran, Polisi Legend Kota Malang. Galak, tapi karena cinta.”





Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN