AKU INGIN KEMBALI KE SAAT ITU, LAGU ITU MASIH SAMA
Nada-nadanya masih menembus hati, seperti dulu. Liriknya seolah bicara langsung kepadaku — dan entah kenapa, setiap kali “Karena separuh aku… dirimu” terdengar, aku selalu berhenti sejenak. Seperti ada sesuatu di dalam dada yang tiba-tiba menghangat, tapi juga perih pada saat bersamaan.
Dulu, lagu ini bukan sekadar lagu. Ia adalah teman. Teman di tengah sunyi, teman di antara jarak, teman di masa ketika semua terasa samar antara bertahan dan melepaskan. Waktu itu aku sedang bertugas di Pulau Merah, Banyuwangi — tempat yang eksotik, indah, tapi diam-diam menusuk sepi. Dari kota Banyuwangi, butuh dua jam perjalanan untuk sampai ke sana. Dua jam menuju tempat yang seolah terpisah dari dunia, tapi justru di sanalah aku menemukan banyak hal… termasuk diriku sendiri.
Setiap pagi aku berangkat kerja dengan semangat yang kadang dibuat-buat. Tapi setiap kali langkah terasa berat, aku pasang headset, tekan tombol play, dan biarkan suara Ariel mengisi ruang di kepala. Lirik itu, entah kenapa, selalu mengingatkanku padamu. Mungkin karena saat itu, segala semangatku memang tentangmu. Segala doa dan harapan yang kutitipkan di antara kerja keras dan lelah, ujungnya selalu namamu.
Engkau, yang saat itu ada jauh di kota — sepuluh jam perjalanan dari Pulau Merah.
Sepuluh jam. Tapi jarak itu tak pernah benar-benar jadi batas. Aku masih bisa merasa hadirmu di sela-sela ombak, di tiap hembusan angin sore yang menerpa wajahku. Kadang aku berkhayal, seandainya angin itu bisa membawa suaraku padamu, mungkin kamu akan tahu, bahwa setiap langkah di pasir pantai itu, ada namamu di dalamnya.
Aku masih ingat, malam-malam di penginapan kecil itu selalu kulalui dengan lagu yang sama. Lagu itu seperti doa yang berulang. Bukan untuk memanggilmu kembali, tapi untuk menguatkan diri sendiri. Karena kadang, untuk tetap waras di tengah kegalauan, manusia butuh sesuatu yang bisa membuatnya merasa masih punya alasan. Dan kamu — adalah alasan itu.
Sampai sekarang pun, setiap kali lagu Separuh Aku diputar, rasanya waktu berhenti. Aku seperti kembali ke masa itu — masa di mana meski hidup sedang tidak mudah, hatiku masih punya arah. Masa di mana semangatku belum terguncang oleh jarak, oleh waktu, atau oleh luka yang tak sempat disembuhkan.
Kini semuanya sudah berbeda. Ada tembok yang entah dibangun oleh siapa, tapi terasa makin tinggi. Kita sama-sama tahu tembok itu ada — dan mungkin, sama-sama pura-pura tidak melihatnya. Tapi jauh di dalam hati, aku percaya, tidak ada tembok yang tidak bisa runtuh kalau dua hati sama-sama ingin saling mengerti lagi.
Kadang aku bertanya dalam diam:
Apakah kamu juga pernah memutar lagu itu lagi?
Apakah di antara ribuan nada, kamu juga teringat pada seseorang yang pernah ada di Pulau Merah, yang tiap malam mendengarkan lagu yang sama sambil menatap langit gelap penuh bintang?
Aku tidak menyesal pernah melalui semuanya. Tidak juga menyesal pernah jatuh sedalam itu. Karena di masa itu, aku benar-benar belajar tentang arti kehilangan, tentang ketulusan, dan tentang bagaimana cinta kadang tidak selalu harus dimiliki untuk tetap bermakna.
Tapi malam ini, entah kenapa, aku ingin sekali kembali ke masa itu.
Bukan untuk mengulang kisah yang sama, bukan juga untuk memperbaiki apa yang telah rusak. Aku hanya ingin kembali ke rasa itu — rasa ketika hati masih hangat hanya dengan mengingatmu, ketika semangatku tak pernah padam karena kamu ada di ujung doa.
Kalau suatu hari aku bilang “aku ingin kembali ke saat itu”, bukan berarti aku ingin mundur. Aku hanya ingin mengingat siapa aku ketika masih punya keberanian sebesar itu untuk mencintai, untuk berjuang, untuk percaya bahwa jarak tidak akan menghapus makna.
Dan kalau saja, hanya kalau saja, kesempatan itu datang —
aku ingin menjalaninya tanpa tembok, tanpa keraguan, tanpa apa pun yang dulu membuat kita menjauh.
Will you?
Karena mungkin, separuh aku yang dulu pernah hilang…
masih menunggumu di tepi pantai Pulau Merah.