MEMBANDINGKAN DIRI SENDIRI DENGAN ORANG LAIN, BOLEHKAH?
Ada satu kebiasaan manusia yang kadang dilakukan tanpa sadar: membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Ya, yang satu punya mobil baru — kita langsung refleks ke kaca jendela, “Duh,
mobil gue kok malah makin mirip odong-odong ya?”
Yang satu posting liburan ke Jepang — kita scroll foto sambil mikir, “Lah, ke
pasar aja gue mikir ongkos parkirnya.”
Atau, yang satu sukses bisnis online — kita langsung mikir, “Padahal dulu
nilainya di bawah gue, kok sekarang tokonya rame kayak Indomaret waktu promo?”
Lalu muncul nasihat klasik dari teman-teman bijak:
“Jangan suka membandingkan diri, nanti kamu stres sendiri!”
Nah, sebenarnya… membandingkan diri itu nggak selalu
salah.
Yang bikin salah itu niat dan arah hatinya.
Kalau membandingkannya untuk merendahkan diri atau
menumbuhkan iri, itu jelas berbahaya. Tapi kalau membandingkannya untuk belajar
dan memperbaiki diri, justru itu bisa jadi jalan menuju kebijaksanaan.
BOLEH MEMBANDINGKAN, ASAL DENGAN NIAT YANG BENAR
Coba deh kita lihat secara sederhana.
Setiap kali kamu membandingkan diri, hasilnya cuma dua:
- Kamu
merasa lebih unggul → efeknya sombong.
- Kamu
merasa kalah → efeknya iri.
Dua-duanya bahaya.
Yang pertama bisa menumbuhkan kesombongan halus seperti, “Ah, gue juga bisa
gitu kok. Cuma nggak niat aja.”
Yang kedua bisa menumbuhkan racun halus di hati: “Ih, kenapa sih dia yang
selalu beruntung?”
Tapi, kalau kamu ubah sudut pandangnya, membandingkan bisa
jadi alat belajar terbaik.
Misalnya:
- Kamu
lihat temanmu sukses bisnis. Jangan iri, tapi tanya, “Apa ya yang dia
pelajari sampai bisa sejauh itu?”
- Kamu
lihat orang sabarnya luar biasa. Jangan heran, tapi pelajari, “Apa
rahasianya dia bisa segitu tenangnya?”
- Kamu
lihat temanmu dermawan dan ikhlas. Jangan malah minder, tapi pikir, “Aku
juga bisa belajar berbagi seperti dia, walau kecil.”
MEMBANDINGKAN UNTUK BELAJAR, BUKAN MENIRU BUTA
Kadang orang salah paham, mereka pikir belajar dari orang
lain itu sama dengan meniru mentah-mentah.
Padahal, kita bukan fotokopi.
Yang penting bukan “caranya”, tapi “bagaimana caranya dia menemukan
caranya.”
Nah, itu tuh yang sering luput dari perhatian.
Belajarlah dari nilai-nilai dan prosesnya, bukan hanya hasil
akhirnya.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
"Tidak ada iri kecuali dalam dua hal: (yaitu)
seseorang yang Allah berikan harta lalu dia habiskan di jalan kebenaran, dan
seseorang yang Allah berikan hikmah (ilmu) lalu dia amalkan dan ajarkan kepada
orang lain."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjelaskan bahwa “iri yang dibolehkan”
adalah iri yang menginspirasi kita untuk menjadi lebih baik, bukan yang
membuat hati gelisah dan penuh dengki.
Jadi kalau kamu iri pada orang yang rajin sedekah, bagus —
asal setelah itu kamu juga mulai belajar berbagi.
Kalau kamu iri pada orang yang sabar, bagus — asal kamu belajar menahan diri
dari komentar pedas di media sosial 😄.
Intinya, iri yang sehat itu memotivasi, bukan mematikan.
BELAJAR DARI YANG LEBIH BAIK: TANDA RENDAH HATI, BUKAN
RENDAH DIRI
Kadang kita gengsi.
Kita tahu seseorang lebih ahli, tapi lidah ini berat banget buat bilang,
“Mas, tolong ajarin saya dong.”
Padahal justru di situlah letak kemuliaan manusia — ketika
ia mau belajar.
Nggak peduli dari siapa.
Bisa dari guru, teman, bahkan anak kecil sekalipun.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
"Dan di atas setiap orang yang berpengetahuan itu
ada yang lebih mengetahui."
(QS. Yusuf: 76)
Ayat ini menegaskan: nggak ada manusia yang paling pintar
di dunia ini.
Selalu ada yang lebih tahu dari kita — dan selalu ada hal yang bisa kita
pelajari dari orang lain.
Kalau kita merasa sudah cukup, di situlah justru awal dari kejatuhan.
Contoh Sehari-hari: Kisah si Budi dan si Andi
Budi dan Andi ini teman kuliah.
Si Budi rajin ikut pelatihan, webinar, nulis di LinkedIn.
Si Andi? Ya, nonton video TikTok motivasi tiga menit lalu bilang, “Wah keren
nih, nanti deh gue praktekin kalau lagi semangat.”
Sampai suatu hari Budi sukses buka usaha digital marketing.
Andi datang dengan tatapan campur aduk,
“Wah, lu hoki banget, Bud!”
Budi cuma nyengir,
“Nggak hoki, Di. Gue cuma lebih dulu gagal berkali-kali.”
Andi diem, terus mulai mikir.
Bukan iri, tapi sadar — ternyata yang bikin Budi maju itu bukan keajaiban, tapi
proses panjang yang bisa ia pelajari juga.
Nah, dari situ Andi berubah.
Dia mulai tanya, mulai belajar. Bukan meniru, tapi mencari how to-nya
Budi.
Akhirnya, dua-duanya sama-sama tumbuh.
Yang satu tetap rendah hati, yang satu nggak lagi merasa rendah diri.
JANGAN MALU UNTUK BELAJAR DARI SIAPA PUN
Kadang ilmu datang dari tempat yang nggak kita duga.
Ada orang yang kamu pikir “biasa aja,” tapi ternyata menyimpan hikmah hidup
luar biasa.
Contohnya, sopir taksi yang sabar menghadapi macet bisa mengajarkan ketenangan.
Ibu penjual sayur bisa mengajarkan keikhlasan dalam rezeki.
Atau bahkan anak kecil bisa mengingatkan kita betapa indahnya jujur tanpa
perhitungan.
Jadi, jangan gengsi belajar dari siapa pun.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Orang yang paling cerdas adalah orang yang mau
mengambil pelajaran dari orang lain."
(HR. Tirmidzi)
BANDINGKAN DIRI, TAPI DENGAN DIRI YANG KEMARIN
Membandingkan diri itu boleh — tapi yang terbaik adalah bandingkan
dengan dirimu sendiri kemarin.
Apakah kamu hari ini lebih sabar dari kemarin?
Lebih dermawan? Lebih tenang? Lebih dekat dengan Allah?
Kalau jawabannya iya, berarti kamu sedang berada di
jalan yang benar.
Jadi mulai sekarang, kalau kamu merasa tergoda untuk
membandingkan diri dengan orang lain, bilang dalam hati:
“Oke, aku lihat kamu bukan untuk iri, tapi untuk belajar.”
Dan kalau kamu sudah belajar, jangan lupa bantu orang lain
juga untuk naik kelas.
Karena pada akhirnya, hidup ini bukan kompetisi siapa yang
paling cepat, tapi siapa yang paling tulus dalam prosesnya.
Refleksinya jadi begini ;
Hidup itu bukan tentang siapa yang duluan sukses, tapi siapa
yang tetap rendah hati dalam perjalanan menuju suksesnya.
Maka, bandingkanlah bukan untuk menilai, tapi untuk menumbuh — karena setiap
perbandingan yang disertai niat belajar, akan menjadi jembatan menuju
kedewasaan hati.