BEGITU BANYAK YANG KUINGAT YANG TAK INGIN KUHAPUS BEGITU SAJA
Begitu banyak yang masih tersisa di ingatan ini — potongan-potongan waktu yang seakan menolak pudar, meski tahun demi tahun berlalu begitu cepat. Kadang aku berpikir, seandainya ingatan itu seperti file di komputer, mungkin aku sudah mencoba menekan tombol delete. Tapi kenyataannya, kenangan bukan sesuatu yang bisa dihapus begitu saja. Ia menempel di hati, di ruang yang tidak bisa disentuh tangan, tapi terasa jelas setiap kali rindu datang diam-diam.
Aku masih ingat… hampir semuanya.
Masih terbayang jelas sore itu, ketika knalpot mobil sedanmu
nyangkut di rel kereta. Aku panik, kamu tertawa. Kamu bilang, “Tenang aja,
masih ada lima menit sebelum kereta lewat.” Tapi aku tahu, wajahmu saat itu
juga pucat. Lucunya, setelah semua beres, kamu malah bilang itu “pengalaman
seru”. Dan entah kenapa, momen kecil itu justru jadi salah satu kenangan paling
lekat — mungkin karena di situ aku belajar, bahwa kamu selalu bisa melihat sisi
lucu dari hal-hal yang bikin deg-degan.
Aku juga masih ingat bagaimana setiap sore aku menjemputmu
sepulang kantor. Kita bukan pasangan kaya yang pulang dengan mobil mewah dan
makan malam di restoran mahal. Tapi kita punya ritual kecil yang selalu sama —
semangkuk bakso Malang di warung pojok yang kuahnya selalu kebanyakan bawang
goreng. Kadang aku merasa, kebahagiaan memang sesederhana itu. Tak perlu tempat
indah, cukup bersama orang yang membuat kita merasa pulang.
Lalu ada hari yang tak akan pernah kulupa — saat kamu
bercerita bahwa kamu telah menjadi mualaf. Aku terdiam. Antara kagum, haru, dan
entah kenapa, takut. Takut tak bisa mendampingimu sebaik yang seharusnya. Tapi
di balik semua itu, aku tahu, keputusanmu bukan karena aku. Itu karena hatimu
sendiri menemukan cahaya. Aku hanya kebetulan menjadi saksi dari langkah besar
yang kamu ambil. Dan sampai sekarang, setiap kali aku mengenang momen itu, aku
selalu merasa seperti sedang memegang tangan seseorang yang baru saja menemukan
arah rumahnya.
Aku juga masih ingat saat aku datang bersama keluargaku ke
rumahmu. Hari itu, semuanya terasa begitu resmi, tapi juga begitu hangat. Wajah
orang tuamu, canggung tapi terbuka. Senyum mereka sedikit kaku, tapi matanya
bicara banyak. Mereka tahu, bahwa cinta kita bukan main-main. Dan di hari “H” —
hari resmi itu — semuanya terasa seperti mimpi yang jadi nyata. Ada bahagia,
gugup, haru, campur jadi satu.
Aku tak akan lupa juga bagaimana kamu berjuang mendapatkan
surat itu — berkeliling dari satu meja ke meja lain di kelurahan. Kamu selalu
punya caramu sendiri untuk menyelesaikan sesuatu. Kadang keras kepala, tapi
juga tulus luar biasa. Aku tahu, setiap langkahmu saat itu bukan cuma demi
sebuah dokumen, tapi demi perjalanan panjang yang kita mulai bersama.
Aku masih ingat, saat kamu mencari tempat tinggal di Jalan
Bandung. Tempatnya kecil, tapi kamu bilang, “Yang penting hangat.” Dan benar,
setiap malam di rumah itu, meski kadang listrik mati atau atap bocor, selalu
terasa hangat — bukan karena suhu, tapi karena kita berdua saling melengkapi
dalam segala keterbatasan.
Aku masih ingat juga saat kita kehujanan di tengah kota.
Dingin, basah, tapi kamu malah tertawa sambil berkata, “Lihat, ini romantis,
kayak di film.” Padahal bajuku menempel di kulit, sepatu becek, dan motor
mogok. Tapi entah kenapa, aku pun ikut tertawa. Mungkin memang cinta membuat
hal paling menyebalkan jadi lucu kalau dijalani bersama.
Aku masih ingat setiap kali kita nonton film di bioskop, aku
selalu tertidur. Kamu kesel, tapi diam-diam tetap bersandar di bahuku. Katamu,
“Kamu tuh kayak ayahku, belum lima belas menit udah ngorok.” Aku pura-pura
nggak dengar, tapi sebenarnya aku bahagia — karena di tengah kantukku, ada
seseorang yang merasa aman di sebelahku.
Aku juga masih ingat tahun baru di hotel di kota Batu. Kita
menginap sekeluarga, berharap bisa menikmati malam dengan kembang api dan tawa.
Tapi justru malam itu berubah panik, ketika jari anak kita terjepit pintu.
Tangisnya memecah suasana, dan acara tahun baru buyar seketika. Tapi justru di
situ aku sadar, bahwa yang penting bukan pestanya, melainkan kebersamaan dan
bagaimana kita saling menenangkan di tengah kekacauan.
Lalu, perjalanan pulang ke Bali itu… aku masih ingat betul.
Tengah malam di jalan sepi, ketika tiba-tiba kamu melihat sosok wanita di
pinggir hutan. Katamu, “Itu siapa?” Aku pura-pura nggak lihat, tapi jantungku
deg-degan luar biasa. Setelahnya kita malah saling menakut-nakuti, tertawa
sambil pura-pura berani.
Dan jagung bakar di Pulosari… ah, itu kenangan paling manis.
Angin malam, suara jangkrik, dan kita duduk berdua menikmati jagung pedas manis
sambil ngobrol tentang masa depan. Saat itu dunia terasa sederhana. Aku merasa
cukup. Kamu ada di situ, anak-anak sehat, dan aku merasa tidak butuh apa-apa
lagi.
Kini, ketika aku mengingat semua itu, aku sadar — aku tidak
lagi ingin mengingat bagian buruknya. Aku tahu kita pernah berdebat, kecewa,
bahkan saling diam. Tapi entah mengapa, semua itu memudar, kalah oleh kenangan
indah yang jauh lebih banyak.
Maafkan aku… atas semua kekecewaan yang pernah kuperbuat.
Aku tahu aku tak selalu jadi pasangan yang sempurna. Tapi aku juga ingin kamu
tahu, bahwa aku sudah mengikhlaskan semuanya. Rasa kecewa, rasa sakit, semua
sudah kupasrahkan pada waktu.
Yang tersisa hanya harapan… bahwa kelak, di tempat yang
lebih damai, kita bisa menutup kisah ini dengan senyum, bukan air mata. Aku
ingin perjalanan kita berakhir dengan baik — bukan di dunia saja, tapi juga di
kehidupan setelah ini.
Semoga aku diberi kesempatan, di tahun depan, untuk
mengajakmu ke rumah-Allah di Makah. Bukan sekadar perjalanan ibadah, tapi juga
perjalanan menata hati, menyatukan kembali serpihan yang dulu pernah retak.
Karena meskipun banyak hal telah berubah, satu hal tetap
sama — aku masih ingat segalanya. Dan aku tidak ingin menghapusnya begitu saja.
Karena di balik semua itu… ada kamu.
Dan ada cinta yang pernah membuat hidupku begitu berarti.