DIOMONGIN DI BELAKANG, TANDA KAMU SUDAH DI DEPAN
Kadang hidup ini lucu. Kita pikir kalau semua orang akan senang melihat kita berkembang, ternyata yang paling rajin memperhatikan justru bukan fans — tapi “haters loyal” yang tiap hari update berita terbaru tentang hidup kita. Kadang mereka tahu duluan kita jalan ke mana, makan apa, posting apa, bahkan siapa yang kita sapa. Hebat kan? Gratis pula, nggak perlu bayar tim promosi.
Padahal, kalau dipikir-pikir, diomongin di belakang itu
tanda bahwa… ya, posisi kita memang di depan! Kalau enggak, gimana bisa
mereka ngeliat belakang kita? Kalau mereka sibuk ngomongin, berarti mereka
masih di posisi mengejar. Kadang yang ngomong paling keras justru yang paling
tertinggal.
Dan ini lucunya lagi: kalau mereka berani ngomongin kita di
belakang tapi gak pernah ngomong langsung di depan, itu tandanya kita punya
wibawa. Bener lho! Mungkin mereka udah latihan di depan kaca mau ngomong ke
kita, tapi tiap kali berhadapan langsung, mentalnya auto low battery.
Jadinya bisanya cuma di grup WhatsApp, status, atau bisik-bisik di pojokan.
Jadi kalau kamu pernah denger ada yang bilang,
“Eh, katanya si Nucky tuh sekarang sok banget ya? Udah
sukses dikit aja langsung berubah.”
Tersenyumlah. Karena sebenarnya, yang dia maksud bukan “berubah”, tapi
“berkembang”. Dia cuma belum punya kamus baru untuk membedakan dua kata itu.
Sering kali orang ngomong di belakang karena dua hal: iri
atau kagum, tapi gak berani ngaku. Iri karena mereka belum sampai di titik yang
sama. Kagum karena sebenarnya mereka pengen seperti kita, tapi gengsi. Makanya,
cara termudah buat mereka menenangkan diri adalah dengan ngomongin.
Ada pepatah Arab yang bilang:
“Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.”
Artinya, kalau kamu sedang berjalan menuju tujuanmu, wajar ada suara-suara yang
mencoba mengganggu. Tapi karavan gak berhenti cuma buat menanggapi gonggongan.
Kalau kamu berhenti setiap kali digonggong, ya kapan nyampainya?
Rasulullah ﷺ pun gak lepas dari omongan miring. Bahkan
beliau yang paling mulia pun difitnah, dicaci, dan dihina oleh orang-orang yang
hatinya tertutup. Tapi apa respon beliau? Bukan marah, bukan bales dendam.
Beliau justru mendoakan mereka:
“Allahummaghfir li qaumī fa innahum lā ya‘lamūn.”
“Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui (kebenaran).”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Lihat? Levelnya udah jauh banget. Kalau Rasul aja bisa
memaafkan, masa kita yang baru diomongin dikit aja udah panas dingin, nggak
bisa tidur, dan ngecek story tiap jam?
Padahal kalau dipikir, kalau mereka terus ngomongin kita,
berarti mereka anggap kita penting. Bayangin aja, kalau kamu nggak
penting, ngapain repot mikirin kamu? Waktu dan energi mereka dipakai buat bahas
kamu — padahal kamu nggak bayar mereka jadi buzzer. Itu artinya kamu sudah jadi
“tokoh” dalam hidup mereka.
Tapi, jangan salah. Omongan di belakang itu juga ujian.
Kadang Allah kirim “penyakit hati” orang lain buat ngasih kita pelajaran sabar,
supaya kita nggak gampang tergoda sombong. Supaya kita belajar fokus ke karya,
bukan ke komentar.
Allah berfirman dalam Surah Al-Furqan ayat 63:
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu (ialah)
orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang
bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan
kata-kata yang baik.”
Jadi, kalau ada yang nyinyir, cukup jawab dengan senyum.
Karena senyum itu senjata paling damai yang bisa bikin penasaran mereka makin
dalam: “Kok dia gak marah, ya?”
Ingat, bunga tetap harum walau disiram caci maki. Dan
mutiara tetap berharga walau tenggelam di lumpur.
Maka teruslah berjalan, jangan berhenti cuma karena gonggongan kecil.
Karena pada akhirnya, hidup ini bukan tentang siapa yang
paling banyak ngomongin, tapi siapa yang paling banyak berbuat.
Kalau ada yang ngomongin kamu di belakang — biarkan saja.
Toh kamu memang sudah jauh di depan