Langsung ke konten utama

6 - TIGA JAGOAN DAN SERIBU KECOBAAN

 





Kalau dipikir-pikir sekarang, Marvel itu nama geng yang terlalu keren untuk isinya yang… ya begitulah. Geng kecil kelas kami: aku, Bram, dan satu lagi—Gerry—anak berwajah alim tapi pikirannya kadang lebih liar dari semua anak di kelas.

Marvel itu singkatan dari apa?
Nggak ada.
Nggak pernah dibahas.
Pokoknya waktu itu kedengerannya keren, dan kami sepakat.
Anak SMP memang gitu, kan? Yang penting gaya dulu, logika belakangan.

 

Markas Rahasia Yang Tidak Begitu Rahasia

Markas Marvel ada di belakang sekolah, dekat gudang alat upacara. Tempat itu terlindungi pohon besar dan beberapa semak yang cukup tinggi—cukup untuk memberi kesan “tempat persembunyian”, walaupun sebenarnya semua guru juga udah tau.

Kami selalu duduk melingkar di situ, makan jajanan, tuker cerita, bikin rencana besar yang… seringnya gagal total.

“Bro, minggu depan kita bikin misi rahasia,” kata Gerry suatu siang.

“Misi apa?” tanyaku.

“Ngintip latihan cheerleader?”

Aku langsung ngelempar sebatang ranting ke dia.
“Gila lu… itu bahaya. Bu Ratna bisa ngejar kita sambil bawa penggaris.”

Bram mengangguk dramatis.
“Bro… Bu Ratna itu kalau marah, penggarisnya kayak pedang laser.”

Akhirnya misi itu dibatalkan. Demi keselamatan nasional.

 

Operasi Siomay Misteri

Salah satu petualangan Marvel yang paling dikenang adalah “Operasi Siomay Misteri.”

Waktu itu ada tukang siomay keliling yang selalu mangkal di depan sekolah. Ada rumor yang bilang siomaynya dicampur daging entah-apa—dari tikus sampai dinosaurus pun sempat jadi gosip.

Kami bertiga memutuskan untuk menyelidiki.

“Kita harus tau kebenarannya,” kata Bram penuh semangat.

“Lu berani makan?” tanya Gerry.

“Ya nggak lah!” jawab Bram cepat.

Aku tepuk jidat.

Akhirnya kami beli seporsi, lalu bawa ke markas.
Kami analisa dengan sangat ilmiah: dicium, ditekan-tekan, dipegangin lama, dijelasin pake teori aneh.

“Bro… bentuknya agak aneh ya,” kata Gerry.

“Ini sih… kalau bukan ayam… ya mungkin… eh… ayam juga…”

Gerry ngangguk-ngangguk sok bijak.

Setelah 20 menit investigasi yang nggak masuk akal, akhirnya kami sepakat mencicipi siomay itu—berbekal doa.

Anehnya… enak banget.

Bram langsung berseru, “BRO, INI ENAAA…!”

Baru menit ketiga, Bu Ratna lewat sambil bawa buku absen.

“Anak-anak! Kalian makan apa?!”

Kami bertiga refleks berdiri tegak seperti peserta upacara teladan.

“Siomay, Bu…”
“Dari mana?!”
“Depan sekolah, Bu…”
“BAHAYA! Itu belum tentu bersih!”

Kami saling tatap.
“Bu… kami udah telat kalau gitu…”

Bu Ratna geleng-geleng tak berdaya.
“Muka-muka kalian ini ya… calon bikin saya cepat tua.”

Tapi beliau akhirnya ketawa juga.

Dan Marvel resmi jadi legenda kecil soal “Operasi Siomay Misteri.”

 

Gerry Dan Roman Picisan Kelas 2

Bagian paling lucu dalam sejarah Marvel biasanya melibatkan Gerry dan… kisah cintanya yang lebih ruwet daripada sinetron jam tujuh.

Ada satu cewek kelas sebelah namanya Nita—imut, pinter, hobi ketawa. Gerry langsung klepek-klepek.

“Bro… gue kayaknya… suka sama dia…” katanya sambil megang dada, sok-sok dramatis.

“Jangan megang dada kayak gitu lu kira drama India,” jawabku.

Bram menepuk pundaknya.
“Gue support, bro. Tapi lu siap patah hati, kan?”

Gerry menatap Bram penuh harapan.
“Maksud lu apa?!”

“Ya siapa tau dia sukanya sama anak yang rambutnya rapi. Rambut lu kan kayak abis disetrika terbalik.”

Akhirnya kami bikin rencana: Gerry harus nyamperin Nita saat istirahat dan ngasih buku tulis baru sebagai “tanda simpati.”
Jangan tanya kenapa buku tulis.
Logika Marvel waktu itu emang sering error.

Saat momen penting itu, Gerry maju beberapa langkah…
Terus langsung balik lagi sambil ngomong:
“Bro… gue takut.”

Aku dan Bram saling pandang.
Ya begitulah. Gerry kalau soal cinta memang sering drop connection.

Akhirnya rencana itu gagal total.
Buku tulisnya malah dipakai Gerry untuk bikin puisi patah hati, padahal dia bahkan belum ditembak, belum ditolak, belum apa-apa.

“Cinta itu… kadang menyakitkan,” katanya sambil melamun.

Aku cuma tepok punggungnya.
“Bro… lu bahkan belum mulai.”

 

Kejadian “Pedang Tumpul” Di Kelas

Nah, ini kejadian Marvel yang paling melegenda.

Waktu pelajaran IPS, Bram bawa penggaris besi panjang karena katanya mau buat “senjata rahasia.”
Aku sama Gerry udah curiga duluan.

Di tengah pelajaran, Gerry nyeletuk keras-keras waktu ngeliat penggaris itu jatuh:
“BRO, PEDANG TUMPUL LU JATUH!”

Seluruh kelas langsung nengok.

Bu Guru: “PEDANG APA?!”

Bram langsung panik.
“A-anu Bu… itu cuma penggaris…”

“Kenapa disebut pedang?!”

Gerry dengan polosnya menjawab,
“Soalnya Bram bilang ini buat melindungi kami, Bu.”

Bu Guru menatap kami satu-satu…
Tatapan yang bikin kami mikir ulang arti hidup.
Lalu akhirnya beliau ngakak tak bisa ditahan.

Sejak itu, Marvel dijuluki “Tiga Pendekar Pedang Tumpul.”
Sebuah kehormatan… atau aib… tergantung versi mana yang kamu dengar.

 

Pelajaran Terbesar Marvel

Walaupun banyak kebodohan, petualangan, dan ide-ide gila, sebenarnya Marvel itu tempat kami belajar hal-hal penting:

  • cara saling jaga
  • cara ngelawak untuk nutupin kesedihan
  • cara ngaku salah dan ketawa bareng
  • cara bertumbuh tanpa kehilangan hati yang jujur

Kecil, sederhana, tapi penuh makna.

Persahabatan itu sering lahir dari tempat-tempat yang nggak kita sangka—dari markas belakang sekolah yang sempit, dari operasi siomay yang absurd, dari pedang tumpul di kelas IPS, dari kisah cinta yang gagal bahkan sebelum dimulai.

Dan Marvel… adalah potongan masa SMP yang nggak akan pernah hilang.


Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...