Langsung ke konten utama

12 - MASA SMA - THE REAL REMAJA

 





Jujur ya… masuk SMA favorit itu rasanya kayak buka pintu ke dunia lain yang penuh teka-teki—kayak main game level baru tapi tutorial-nya hilang. Aku dan Bram ditempatkan di kelas 1–6. Begitu melangkah masuk hari pertama, wajah-wajah baru itu menyambut dengan aura “kami-para-murid-berotak-encer” lengkap dengan mata berbinar ala ilmuwan muda yang siap menjarah peringkat.

Lalu… OSPEK dimulai.

Dan di situlah seluruh masa SMP terasa kayak liburan yang terlalu panjang.

Senior OSIS dengan suara lantang (lebih tepatnya, suara knalpot racing) meneriakkan instruksi, sementara kakak-kakak kelas lain ngelemparin guyonan receh yang entah kenapa tetap bikin klas 1 gemetar campur ngakak.

Aku baru paham di hari itu: rupanya ada “ritual baptis” terselubung buat para pendatang baru. Dan kami, anak-anak 1–6, mencoba kompak tampil paling enerjik: nyanyi, berkoprol, joget aneh—padahal baru ketemu lima menit lalu. Semangat persatuan instan.

Tapi begitu pertengahan semester, aku pindah kelas.

Alasannya simpel dan sangat remaja: aku butuh teman dari komplek bandara, biar kalau perlu nebeng pulang, minjem buku, atau sekadar curhat, tinggal manggil orang terdekat.

Maka berlabuhlah aku ke kelas 1–4 alias SamPat.

Dalam bahasa anak Smansa, “SamPat” itu keren. Tapi dalam bahasa Bali, “sampat” berarti… sapu.

Dan anehnya, benar aja, kami sering jadi “penyapu” masalah. Dari mulai acara kelas yang kacau sampai tugas kelompok yang salah jadwal. Ketua kelas kami, Wigraha, yang otaknya encer tapi humor-nya lebih encer lagi, pernah bilang, “Kita ini kalau bukan kelas pinter, ya kelas pembersih dosa Smansa.”

Anak-anak ngakak sampai nyaris jatuh dari kursi.

Sekarang Wigraha sudah wafat, tapi setiap kali kenangan ini lewat, rasanya ada senyum yang pelan-pelan muncul bersama rindu yang nggak bisa dijelaskan.

 

Di SamPat, hidup awalnya biasa-biasa saja. Sampai sekolah ngadain acara paling ditunggu: Malam Kreativitas.

Lampu sorot, panggung kecil, suara sound system yang suka mendadak cempreng—semuanya mewarnai malam itu. Ada yang nari Bali sambil senyum kaku, ada yang stand-up comedy dengan materi yang terlalu filosofis untuk usia 15, ada band yang nyanyi lagu Kla Project sampai pitch-nya lari maraton.

Aku? Tetap jadi penonton yang baik.

Ekstra-kurikuler-ku waktu itu tenis lapangan. Lapangan sekolah lengkap banget: net rapi, raket numpuk, dan pelatih yang selalu bilang, “Jangan mimpi jadi Agassi kalau lari aja ngos-ngosan.” Tapi tiap sore aku selalu semangat. Servis pertama yang masuk rasanya seperti jatuh cinta versi olahraga: tiba-tiba deg-degan, tiba-tiba pengen lagi.

Dan pelan-pelan aku belajar satu hal:
SMA itu bukan soal siapa yang paling kuat, paling kaya, atau paling populer.
Tapi tentang siapa yang paling berani menemukan suaranya sendiri.

Carl Jung bilang, “The privilege of a lifetime is to become who you truly are.”
Dan SMA adalah hak istimewa itu.
Walau sering penuh PR, cinta tak terbalas, dan drama jam istirahat.

 

CATATAN NUCKY : Sahabat sejati adalah saudara tanpa darah—dia ada bukan hanya untuk menemani, tapi juga untuk meneguhkan langkah ketika ragu, menguatkan saat lelah, dan menjadi cermin yang membuat kita tumbuh menjadi diri terbaik.

 

Genk Kepang Dua, Tentara Baik Hati, Dan Kisah Yang Nggak Pernah Lulus Dari Ingatan

Dari sekian banyak jejak sepatu yang pernah melintasi lorong Smansa, ada dua nama yang sampai sekarang masih tinggal dengan nyaman di kepalaku: Ratna Kartika dan Erna Mutiasari.

Ratna… ah, Ratna. Si kuncir kepang dua yang tiap pagi selalu datang dengan senyum segede semangka. Kadang kepangnya miring, kadang terlalu kenceng sampai pipinya ketarik—tapi dia tetap ceria tanpa sebab.

Sementara Erna… si anak tentara yang suaranya selembut lagu Koes Plus. Kalem, adem, tapi kalau ngomongin prinsip hidup, dia bisa lebih disiplin daripada guru PPKn.

Ayahnya seorang tentara di Kodam, sering ngantar Erna ke sekolah pakai motor trail. Gagahnya itu lho… anak-anak sampai manggil beliau Pak TNI Baik Hati. Dan beliau cuma senyum, seakan terbiasa menghadapi remaja-remaja random dengan imajinasi liar.

Genk kami akhirnya terbentuk karena satu benang merah: Palang Merah Remaja (PMR).

Peluit, perban, cek tekanan darah, dan… logistik nasi bungkus. Di balik nasi bungkus itu, sering terjadi cinta-cinta remaja yang… ya, kadang mekar, kadang layu sebelum berkembang.

 

Episode: Kepang Dua Vs Cinta Berlapis Nasi Rendang

Kami pernah ditugaskan ngurus konsumsi untuk 120 peserta pelatihan PMR gabungan.

Aku dan Ratna jadi tim distribusi.

Dan Ratna ini… aduh.
Bayangin cewek berkepang dua, lari-lari kecil sambil nyanyi lagu Dewa 19:

“Separuh nafaskuuu… kupersembahkan padamuu…”

Sambil bagi nasi bungkus.

Masalahnya? Yang dia sodorin nasi bungkus itu… Bram.

Aku yang lagi minum teh manis langsung nyaris batuk ke luar planet.

Setahuku, Bram itu tipe cowok yang malas kalau cewek terlalu perhatian duluan. Tapi waktu itu? Ekspresi dia berubah kayak kucing dikasih susu.

“Bro,” katanya sambil nyengir.
“Lo liat Ratna senyum ke gue tadi? Itu… senyum logistik atau sinyal romantis?”

Aku geleng-geleng, “Bro… itu senyum layanan pelanggan. Jangan geer dulu.”

Padahal jauh di lubuk hati, aku tahu:
Bram punya tempat kecil yang diam-diam disiapkan untuk Ratna.
Ya… di antara tempat-tempat lain yang biasanya ditempati Mbak Fitri, siswi PMR lain, atau penjaga kantin yang sering senyum ke dia.

Sementara Erna cuma menatap kami sambil merapikan galon.
“Fokus dong. Ini bukan sinetron. Orang bisa dehidrasi nungguin teh manis kalian.”

 

Jip Hardtop, Teh Manis, Dan Cinta Yang Nggak Pernah Jadi

Pelatihan luar kota pakai Jip Hardtop adalah salah satu highlight masa SMA kami.

Jip-nya tua, suaranya berisik, tapi menyimpan ribuan kenangan.

Hari itu Ratna duduk di tengah. Capek, dia ketiduran… dan kepalanya miring ke pundakku.

Deg-degan?
Ya. Pastilah.

Tapi aku tahu, hati Ratna lebih sering tersangkut di kuncirnya sendiri. Dia suka rame, suka cerita, tapi soal cinta… dia masih bingung mau jatuh di mana.

Bram, yang duduk di belakang, memandang lama.

“Gue pikir cinta itu harus dicari,” katanya pelan.
“Tapi mungkin cinta itu ya… yang duduk bareng lo tiap sore, nyuapin ayam rendang ke plastik, dan bikin lo lupa kalau hidup itu ribet.”

Aku cuma tepuk bahunya.
“Selamat datang di dunia cinta remaja, Bro. Lo cinta dia… dia cinta nasi padang.”

 

Camping, Hujan, Dan Api Unggun Yang Jadi Saksi

Camping PMR adalah ujian akhir kami yang nyata.

Tenda bocor.
Nasi bungkus ketuker.
Air galon abis.
Perasaan? Lebih banyak yang nggak tuntas.

Di depan api unggun, Erna tiba-tiba buka suara.

“Aku pengen jadi perawat di daerah konflik,” katanya.
“Aku pengen bantu orang yang nggak bisa ngeluh di IG.”

Kami terdiam.
Aku sempat liat mata Bram meredup.
Mungkin untuk pertama kalinya dia sadar: Erna bukan cuma teman kalem.
Dia punya hati yang besar, cita-cita yang mulia.

Sementara Ratna duduk menatap api, dengan rambut yang sudah dilepas dari kuncir.
Tergerai… seperti masa SMA kami yang pelan-pelan ikut mengalir pergi.

 

Epilog: Kenangan Yang Nggak Pernah Lulus

Tahun berjalan.
Orang-orang tumbuh.
Tapi beberapa cerita tetap tinggal seperti buku favorit yang enggan kita simpan.

Ratna Kartika sekarang jadi guru TK. Kadang masih berkepang dua, katanya biar murid-muridnya senang.

Erna Mutiasari jadi perawat relawan di perbatasan. Terakhir aku dengar, dia nulis puisi berjudul “Darurat, Tapi Bahagia.”

Bram kerja di NGO. Gombalnya masih aktif, tapi lebih berisi sekarang.

Dan aku?
Masih suka nyeduh teh manis sambil lihat langit sore.
Kadang bayangannya datang: Ratna, Erna, Bram, dan aku—dengan nasi bungkus, tawa, dan mimpi-mimpi kecil yang kita bagi tanpa tahu bagaimana akhirnya.

Kalau kau tanya apa yang paling aku rindukan dari SMA?

Jawabannya sederhana:

“Kuncir dua, nasi bungkus, dan suara Ratna nyanyi Kla Project di pagi hari.”

 

CATATAN NUCKY: Masa muda mengajarkan bahwa cinta bisa pudar, tawa bisa hilang, tapi persahabatan dan kenangan tulus… selalu tinggal sebagai harta yang nggak pernah lulus dari ingatan.





Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...