Jujur ya… masuk SMA favorit itu rasanya kayak buka pintu ke dunia
lain yang penuh teka-teki—kayak main game level baru tapi tutorial-nya hilang.
Aku dan Bram ditempatkan di kelas 1–6. Begitu melangkah masuk hari pertama,
wajah-wajah baru itu menyambut dengan aura “kami-para-murid-berotak-encer”
lengkap dengan mata berbinar ala ilmuwan muda yang siap menjarah peringkat.
Lalu… OSPEK dimulai.
Dan di situlah seluruh masa SMP terasa kayak liburan yang terlalu
panjang.
Senior OSIS dengan suara lantang (lebih tepatnya, suara knalpot
racing) meneriakkan instruksi, sementara kakak-kakak kelas lain ngelemparin
guyonan receh yang entah kenapa tetap bikin klas 1 gemetar campur ngakak.
Aku baru paham di hari itu: rupanya ada “ritual baptis”
terselubung buat para pendatang baru. Dan kami, anak-anak 1–6, mencoba kompak
tampil paling enerjik: nyanyi, berkoprol, joget aneh—padahal baru ketemu lima
menit lalu. Semangat persatuan instan.
Tapi begitu pertengahan semester, aku pindah kelas.
Alasannya simpel dan sangat remaja: aku butuh teman dari komplek
bandara, biar kalau perlu nebeng pulang, minjem buku, atau sekadar curhat,
tinggal manggil orang terdekat.
Maka berlabuhlah aku ke kelas 1–4 alias SamPat.
Dalam bahasa anak Smansa, “SamPat” itu keren. Tapi dalam bahasa
Bali, “sampat” berarti… sapu.
Dan anehnya, benar aja, kami sering jadi “penyapu” masalah. Dari
mulai acara kelas yang kacau sampai tugas kelompok yang salah jadwal. Ketua
kelas kami, Wigraha, yang otaknya encer tapi humor-nya lebih encer lagi, pernah
bilang, “Kita ini kalau bukan kelas pinter, ya kelas pembersih dosa Smansa.”
Anak-anak ngakak sampai nyaris jatuh dari kursi.
Sekarang Wigraha sudah wafat, tapi setiap kali kenangan ini lewat,
rasanya ada senyum yang pelan-pelan muncul bersama rindu yang nggak bisa
dijelaskan.
Di SamPat, hidup awalnya biasa-biasa saja. Sampai sekolah ngadain
acara paling ditunggu: Malam Kreativitas.
Lampu sorot, panggung kecil, suara sound system yang suka mendadak
cempreng—semuanya mewarnai malam itu. Ada yang nari Bali sambil senyum kaku,
ada yang stand-up comedy dengan materi yang terlalu filosofis untuk usia 15,
ada band yang nyanyi lagu Kla Project sampai pitch-nya lari maraton.
Aku? Tetap jadi penonton yang baik.
Ekstra-kurikuler-ku waktu itu tenis lapangan. Lapangan sekolah
lengkap banget: net rapi, raket numpuk, dan pelatih yang selalu bilang, “Jangan
mimpi jadi Agassi kalau lari aja ngos-ngosan.” Tapi tiap sore aku selalu
semangat. Servis pertama yang masuk rasanya seperti jatuh cinta versi olahraga:
tiba-tiba deg-degan, tiba-tiba pengen lagi.
Dan pelan-pelan aku belajar satu hal:
SMA itu bukan soal siapa yang paling kuat, paling kaya, atau paling populer.
Tapi tentang siapa yang paling berani menemukan suaranya sendiri.
Carl Jung bilang, “The privilege of a lifetime is to become who
you truly are.”
Dan SMA adalah hak istimewa itu.
Walau sering penuh PR, cinta tak terbalas, dan drama jam istirahat.
CATATAN NUCKY : Sahabat
sejati adalah saudara tanpa darah—dia ada bukan hanya untuk menemani, tapi juga
untuk meneguhkan langkah ketika ragu, menguatkan saat lelah, dan menjadi cermin
yang membuat kita tumbuh menjadi diri terbaik.
Genk Kepang Dua, Tentara Baik Hati, Dan Kisah Yang
Nggak Pernah Lulus Dari Ingatan
Dari sekian banyak jejak sepatu yang pernah melintasi lorong
Smansa, ada dua nama yang sampai sekarang masih tinggal dengan nyaman di
kepalaku: Ratna Kartika dan Erna Mutiasari.
Ratna… ah, Ratna. Si kuncir kepang dua yang tiap pagi selalu
datang dengan senyum segede semangka. Kadang kepangnya miring, kadang terlalu
kenceng sampai pipinya ketarik—tapi dia tetap ceria tanpa sebab.
Sementara Erna… si anak tentara yang suaranya selembut lagu Koes
Plus. Kalem, adem, tapi kalau ngomongin prinsip hidup, dia bisa lebih disiplin
daripada guru PPKn.
Ayahnya seorang tentara di Kodam, sering ngantar Erna ke sekolah
pakai motor trail. Gagahnya itu lho… anak-anak sampai manggil beliau Pak TNI
Baik Hati. Dan beliau cuma senyum, seakan terbiasa menghadapi remaja-remaja
random dengan imajinasi liar.
Genk kami akhirnya terbentuk karena satu benang merah: Palang
Merah Remaja (PMR).
Peluit, perban, cek tekanan darah, dan… logistik nasi bungkus. Di
balik nasi bungkus itu, sering terjadi cinta-cinta remaja yang… ya, kadang
mekar, kadang layu sebelum berkembang.
Episode: Kepang Dua Vs Cinta Berlapis Nasi Rendang
Kami pernah ditugaskan ngurus konsumsi untuk 120 peserta pelatihan
PMR gabungan.
Aku dan Ratna jadi tim distribusi.
Dan Ratna ini… aduh.
Bayangin cewek berkepang dua, lari-lari kecil sambil nyanyi lagu Dewa 19:
“Separuh nafaskuuu… kupersembahkan padamuu…”
Sambil bagi nasi bungkus.
Masalahnya? Yang dia sodorin nasi bungkus itu… Bram.
Aku yang lagi minum teh manis langsung nyaris batuk ke luar
planet.
Setahuku, Bram itu tipe cowok yang malas kalau cewek terlalu
perhatian duluan. Tapi waktu itu? Ekspresi dia berubah kayak kucing dikasih
susu.
“Bro,” katanya sambil nyengir.
“Lo liat Ratna senyum ke gue tadi? Itu… senyum logistik atau sinyal romantis?”
Aku geleng-geleng, “Bro… itu senyum layanan pelanggan. Jangan geer
dulu.”
Padahal jauh di lubuk hati, aku tahu:
Bram punya tempat kecil yang diam-diam disiapkan untuk Ratna.
Ya… di antara tempat-tempat lain yang biasanya ditempati Mbak Fitri, siswi PMR
lain, atau penjaga kantin yang sering senyum ke dia.
Sementara Erna cuma menatap kami sambil merapikan galon.
“Fokus dong. Ini bukan sinetron. Orang bisa dehidrasi nungguin teh manis
kalian.”
Jip Hardtop, Teh Manis, Dan Cinta Yang Nggak Pernah
Jadi
Pelatihan luar kota pakai Jip Hardtop adalah salah satu highlight
masa SMA kami.
Jip-nya tua, suaranya berisik, tapi menyimpan ribuan kenangan.
Hari itu Ratna duduk di tengah. Capek, dia ketiduran… dan
kepalanya miring ke pundakku.
Deg-degan?
Ya. Pastilah.
Tapi aku tahu, hati Ratna lebih sering tersangkut di kuncirnya
sendiri. Dia suka rame, suka cerita, tapi soal cinta… dia masih bingung mau
jatuh di mana.
Bram, yang duduk di belakang, memandang lama.
“Gue pikir cinta itu harus dicari,” katanya pelan.
“Tapi mungkin cinta itu ya… yang duduk bareng lo tiap sore, nyuapin ayam
rendang ke plastik, dan bikin lo lupa kalau hidup itu ribet.”
Aku cuma tepuk bahunya.
“Selamat datang di dunia cinta remaja, Bro. Lo cinta dia… dia cinta nasi
padang.”
Camping, Hujan, Dan Api Unggun Yang Jadi Saksi
Camping PMR adalah ujian akhir kami yang nyata.
Tenda bocor.
Nasi bungkus ketuker.
Air galon abis.
Perasaan? Lebih banyak yang nggak tuntas.
Di depan api unggun, Erna tiba-tiba buka suara.
“Aku pengen jadi perawat di daerah konflik,” katanya.
“Aku pengen bantu orang yang nggak bisa ngeluh di IG.”
Kami terdiam.
Aku sempat liat mata Bram meredup.
Mungkin untuk pertama kalinya dia sadar: Erna bukan cuma teman kalem.
Dia punya hati yang besar, cita-cita yang mulia.
Sementara Ratna duduk menatap api, dengan rambut yang sudah
dilepas dari kuncir.
Tergerai… seperti masa SMA kami yang pelan-pelan ikut mengalir pergi.
Epilog: Kenangan Yang Nggak Pernah Lulus
Tahun berjalan.
Orang-orang tumbuh.
Tapi beberapa cerita tetap tinggal seperti buku favorit yang enggan kita
simpan.
Ratna Kartika sekarang jadi guru TK. Kadang masih berkepang dua,
katanya biar murid-muridnya senang.
Erna Mutiasari jadi perawat relawan di perbatasan. Terakhir aku
dengar, dia nulis puisi berjudul “Darurat, Tapi Bahagia.”
Bram kerja di NGO. Gombalnya masih aktif, tapi lebih berisi
sekarang.
Dan aku?
Masih suka nyeduh teh manis sambil lihat langit sore.
Kadang bayangannya datang: Ratna, Erna, Bram, dan aku—dengan nasi bungkus,
tawa, dan mimpi-mimpi kecil yang kita bagi tanpa tahu bagaimana akhirnya.
Kalau kau tanya apa yang paling aku rindukan dari SMA?
Jawabannya sederhana:
“Kuncir dua, nasi bungkus, dan suara Ratna nyanyi Kla Project di
pagi hari.”
CATATAN NUCKY: Masa muda
mengajarkan bahwa cinta bisa pudar, tawa bisa hilang, tapi persahabatan dan
kenangan tulus… selalu tinggal sebagai harta yang nggak pernah lulus dari
ingatan.