Langsung ke konten utama

8 - PERTENGKARAN KECIL YANG BERUBAH JADI PELUKAN LAKI - LAKI

 





Pertengkaran itu terjadi bukan karena perbedaan prinsip.
Bukan juga karena masalah hidup besar.
Bukan karena politik, cinta, atau nilai tugas.

Tentu saja bukan.

Ini Marvel.
Geng kecil yang bisa ribut cuma gara-gara keripik pedas.

 

Krisis Keripik Pedas Nasional

Waktu itu malam kedua study tour.
Kami bertiga lagi nongkrong di teras penginapan sambil makan jajanan hasil “Operasi Minimarket.”

Nah, masalah bermula ketika Bram buka sebungkus keripik pedas level entah berapa.
Bungkusnya warna merah menyala kayak sinyal bahaya.

“Bro, coba. Ini enak banget sumpah,” kata Bram dengan bangga.

Gerry langsung nyomot lima sekaligus.
Aku ambil dua.

Dan… di sinilah masalahnya.

Gerry tiba-tiba teriak:
“BRO! GUE PEDES BANGET, ANJIR! LU NGESET UP GUE YA?!”

Bram bingung.
“Apaan sih? Kan gue bilang pedes.”

“Lu bilang ‘enak’ bukan bilang ‘membunuh’!”

Aku coba mediasi,
“Udah lah bro, minum dulu—”

Tapi Gerry keburu tersinggung.
Mungkin karena mulutnya kebakar, mungkin karena malam itu dia lagi capek, atau mungkin karena hormon anak SMP itu kadang suka lompat-lompat tanpa alasan.

Dia nyeletuk,
“Udah deh Bram, lu dari tadi gaya mulu. Semua mau lu yang atur. Lu pikir lu paling jago?”

Buset.
Langsung nancep ke harga diri cowok umur 13.

Bram berdiri.
“Loh, salah gue apaan?! Gue cuma bawa keripik!”

“Ya tapi gaya lu tuh loh! Seakan-akan lu ketua Marvel!”

Aku nyeletuk pelan,
“Marvel kan nggak ada ketua…”

Tapi dua-duanya udah mode panas.
Jadi suaraku mental begitu saja.

 

Perang Dingin Cowok-Cowok Cilik

Besok paginya, suasana bus agak… canggung.
Bram duduk mepet jendela.
Gerry duduk mepet lorong.
Aku terhimpit di tengah-tengah kayak mediator KTT ASEAN.

Setiap aku ajak ngomong, dua-duanya jawab pendek:

“Ya.”
“Terserah.”
“Bebas.”

Kalimat paling mematikan dalam pergaulan anak SMP.

Beberapa teman sampai nanya:
“Eh Marvel kenapa? Bubar ya?”

Aku cuma senyum kecut.
“Enggak lah… cuma keripik.”

Dan mereka ketawa.
“HAHAHAHA masa gegara keripik!”

Ya… mereka ketawa.
Padahal Marvel sedang berada di ambang perpecahan nasional.

 

 

Momen Pecah Telur: Ketika Bram Jatuh dari Tangga Mini

Di Monas, insiden pemecah es terjadi tanpa direncanakan.

Kami lagi turun tangga spiral Monas yang sempit itu.
Gerry jalan di depan, aku di tengah, Bram di belakang.

Karena celana olahraga Bram agak longgar dan tangganya licin, dia tiba-tiba menggelosor pelan.
Bukan jatuh dramatis—tapi jatuh kecil yang memalukan.
Bram nahan tubuhnya, tapi tetap saja terdengar:

“BRUK–KRAK–ADUH!”

Satu rombongan nengok.

Gerry spontan noleh, panik:
“BRO! LU GAPAPA?!”

Bram, dengan wajah merah karena malu:
“Bro… pantat gue kebentur…”

Gerry langsung turun dua anak tangga dengan ekspresi campuran antara panik dan pengen ketawa.

Tanpa mikir, dia merangkul bahu Bram untuk bantuin berdiri.

Dan di situ aku lihat momen awkward yang paling… ya Tuhan… priceless:

Gerry megang bahu Bram terlalu lama.
Bram bingung mau ngelepas atau tetap.
Posisi mereka kayak poster film drama Korea versi budget rendah.

Teman-teman ngeliatin sambil bisik-bisik,
“Eh, baikan ya mereka…”

Aku berdiri di samping sambil tahan tawa.
“Bro… pelukan lu udah 30 detik.”

Mereka langsung lepas berbarengan.

Bram garuk kepala.
“Eh… sorry tadi gue… jatoh.”

Gerry ngusap hidung,
“Ya nggak apa-apa bro… salah gue juga kemarin marah-marah.”

Aku tepuk dua-duanya.
“Udah, peluk aja sekalian biar lengkap.”

Dan entah kenapa, mungkin karena malu, mungkin karena lega…
Mereka malah benar-benar melakukan pelukan cepat, singkat, dan sangat tidak estetik.

Pelukan cowok SMP yang nggak pengen ketahuan lagi akrab tapi pengen baikan.

Sejenis pelukan yang tulangnya masih ragu.

 

Pelukan Paling Awkward Sedunia

Pelukannya kayak gini:

  • Tangan tidak memeluk penuh
  • Tubuh tidak menempel
  • Muka saling menjauh
  • Dagu naik kayak mau ngeles
  • Sambil ngomong, “Udah ya bro… udah…”

Dan aku cuma berdiri sambil ketawa sampe sesak napas.

Guru lewat dan cuma komentar:
“Nah, begitu dong. Laki-laki itu kalau baikan jangan gengsi.”

Bram jawab lirih,
“Ini awkward banget, Bu…”

Gerry:
“Iya Bu, saya nggak nyaman.”

Guru cuma senyum:
“Yang penting damai.”

 

Setelah Semua Drama Itu…

Di bus perjalanan pulang, Marvel kembali ke habitat aslinya:

  • Bram ngasih keripik baru (yang levelnya lebih manusiawi)
  • Gerry cerita bahwa dia cuma marah karena “mulut kayak neraka”
  • Aku jadi narator hidup yang ketawa dari awal sampai akhir

Dan di tengah perjalanan, waktu lampu kota mulai terlihat dari kejauhan, Gerry bilang pelan,

“Bro… untung kita bertiga nggak bubar ya.”

Aku dan Bram kompak jawab,
“Kita cuma bubar kalau ada keripik yang lebih pedes dari kemarin.”

Kami bertiga ketawa.
Se-simple itu.
Se-cengeng itu.
Se-jujur itu.

Kadang persahabatan cowok memang aneh…
Tapi justru itu yang bikin masa kecil begitu berharga.


lanjut baca klik link : 9 - HAMPIR HILANG DI DUFAN

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...