Pertengkaran itu terjadi bukan karena perbedaan prinsip.
Bukan juga karena masalah hidup besar.
Bukan karena politik, cinta, atau nilai tugas.
Tentu saja bukan.
Ini Marvel.
Geng kecil yang bisa ribut cuma gara-gara keripik pedas.
Krisis Keripik Pedas Nasional
Waktu itu malam kedua study tour.
Kami bertiga lagi nongkrong di teras penginapan sambil makan jajanan hasil
“Operasi Minimarket.”
Nah, masalah bermula ketika Bram buka sebungkus keripik pedas
level entah berapa.
Bungkusnya warna merah menyala kayak sinyal bahaya.
“Bro, coba. Ini enak banget sumpah,” kata Bram dengan bangga.
Gerry langsung nyomot lima sekaligus.
Aku ambil dua.
Dan… di sinilah masalahnya.
Gerry tiba-tiba teriak:
“BRO! GUE PEDES BANGET, ANJIR! LU NGESET UP GUE YA?!”
Bram bingung.
“Apaan sih? Kan gue bilang pedes.”
“Lu bilang ‘enak’ bukan bilang ‘membunuh’!”
Aku coba mediasi,
“Udah lah bro, minum dulu—”
Tapi Gerry keburu tersinggung.
Mungkin karena mulutnya kebakar, mungkin karena malam itu dia lagi capek, atau
mungkin karena hormon anak SMP itu kadang suka lompat-lompat tanpa alasan.
Dia nyeletuk,
“Udah deh Bram, lu dari tadi gaya mulu. Semua mau lu yang atur. Lu pikir lu
paling jago?”
Buset.
Langsung nancep ke harga diri cowok umur 13.
Bram berdiri.
“Loh, salah gue apaan?! Gue cuma bawa keripik!”
“Ya tapi gaya lu tuh loh! Seakan-akan lu ketua Marvel!”
Aku nyeletuk pelan,
“Marvel kan nggak ada ketua…”
Tapi dua-duanya udah mode panas.
Jadi suaraku mental begitu saja.
Perang Dingin Cowok-Cowok Cilik
Besok paginya, suasana bus agak… canggung.
Bram duduk mepet jendela.
Gerry duduk mepet lorong.
Aku terhimpit di tengah-tengah kayak mediator KTT ASEAN.
Setiap aku ajak ngomong, dua-duanya jawab pendek:
“Ya.”
“Terserah.”
“Bebas.”
Kalimat paling mematikan dalam pergaulan anak SMP.
Beberapa teman sampai nanya:
“Eh Marvel kenapa? Bubar ya?”
Aku cuma senyum kecut.
“Enggak lah… cuma keripik.”
Dan mereka ketawa.
“HAHAHAHA masa gegara keripik!”
Ya… mereka ketawa.
Padahal Marvel sedang berada di ambang perpecahan nasional.
Momen Pecah Telur: Ketika Bram Jatuh dari Tangga
Mini
Di Monas, insiden pemecah es terjadi tanpa direncanakan.
Kami lagi turun tangga spiral Monas yang sempit itu.
Gerry jalan di depan, aku di tengah, Bram di belakang.
Karena celana olahraga Bram agak longgar dan tangganya licin, dia
tiba-tiba menggelosor pelan.
Bukan jatuh dramatis—tapi jatuh kecil yang memalukan.
Bram nahan tubuhnya, tapi tetap saja terdengar:
“BRUK–KRAK–ADUH!”
Satu rombongan nengok.
Gerry spontan noleh, panik:
“BRO! LU GAPAPA?!”
Bram, dengan wajah merah karena malu:
“Bro… pantat gue kebentur…”
Gerry langsung turun dua anak tangga dengan ekspresi campuran
antara panik dan pengen ketawa.
Tanpa mikir, dia merangkul bahu Bram untuk bantuin berdiri.
Dan di situ aku lihat momen awkward yang paling… ya Tuhan…
priceless:
Gerry megang bahu Bram terlalu lama.
Bram bingung mau ngelepas atau tetap.
Posisi mereka kayak poster film drama Korea versi budget rendah.
Teman-teman ngeliatin sambil bisik-bisik,
“Eh, baikan ya mereka…”
Aku berdiri di samping sambil tahan tawa.
“Bro… pelukan lu udah 30 detik.”
Mereka langsung lepas berbarengan.
Bram garuk kepala.
“Eh… sorry tadi gue… jatoh.”
Gerry ngusap hidung,
“Ya nggak apa-apa bro… salah gue juga kemarin marah-marah.”
Aku tepuk dua-duanya.
“Udah, peluk aja sekalian biar lengkap.”
Dan entah kenapa, mungkin karena malu, mungkin karena lega…
Mereka malah benar-benar melakukan pelukan cepat, singkat, dan sangat tidak
estetik.
Pelukan cowok SMP yang nggak pengen ketahuan lagi akrab tapi
pengen baikan.
Sejenis pelukan yang tulangnya masih ragu.
Pelukan Paling Awkward Sedunia
Pelukannya kayak gini:
- Tangan
tidak memeluk penuh
- Tubuh
tidak menempel
- Muka
saling menjauh
- Dagu
naik kayak mau ngeles
- Sambil
ngomong, “Udah ya bro… udah…”
Dan aku cuma berdiri sambil ketawa sampe sesak napas.
Guru lewat dan cuma komentar:
“Nah, begitu dong. Laki-laki itu kalau baikan jangan gengsi.”
Bram jawab lirih,
“Ini awkward banget, Bu…”
Gerry:
“Iya Bu, saya nggak nyaman.”
Guru cuma senyum:
“Yang penting damai.”
Setelah Semua Drama Itu…
Di bus perjalanan pulang, Marvel kembali ke habitat aslinya:
- Bram
ngasih keripik baru (yang levelnya lebih manusiawi)
- Gerry
cerita bahwa dia cuma marah karena “mulut kayak neraka”
- Aku jadi
narator hidup yang ketawa dari awal sampai akhir
Dan di tengah perjalanan, waktu lampu kota mulai terlihat dari
kejauhan, Gerry bilang pelan,
“Bro… untung kita bertiga nggak bubar ya.”
Aku dan Bram kompak jawab,
“Kita cuma bubar kalau ada keripik yang lebih pedes dari kemarin.”
Kami bertiga ketawa.
Se-simple itu.
Se-cengeng itu.
Se-jujur itu.
Kadang persahabatan cowok memang aneh…
Tapi justru itu yang bikin masa kecil begitu berharga.