Begitu rombongan turun dari bus, semua langsung heboh kayak ayam
dilepasin dari kurungan. Aku masih sibuk ngitung temen—biar nggak ada yang
ilang—tapi Marvel… justru sibuk ngitung… pohon kelapa.
“Loh, Mar… ngapain lo nengok ke atas mulu?” tanyaku.
“Gue baru sadar, kok pohon di Dufan tinggi-tinggi ya, Nuk. Ini
pasti strategi biar tamu betah,” jawabnya sok bijak.
Aku cuma bisa nyengir, “Iya, iya, Mar… ayo jalan, sebelum lo
keseret wisatawan lain.”
Awal-awal semuanya baik-baik aja. Kita main Ombang-Ambing,
Turangga-Rangga, terus nyobain Rumah Misteri yang sebenernya nggak
misteri-misteri amat. Marvel masih aman, masih di perimeter pengawasan—jarak
satu langkah dari aku.
Tapi masalah muncul saat kita masuk ke area Arung Jeram.
Sebelum naik, Bu Suryani udah bilang, “Anak-anak, jangan ada yang
jalan sendiri. Pegangan temannya. Jangan terpisah. Ini Dufan, bukan halaman
sekolah.”
Marvel: mengangguk yakin
Realitas: langsung ngilang.
Gara-garanya sepele. Ada badut lumba-lumba lewat sambil
goyang-goyang lucu.
Marvel yang nahan ketawa langsung nyarang, “Nuk bentar, gue mau
foto sama itu!”
Belum sempat aku jawab “jangan jauh-jauh”—dia udah melipir kayak ninja.
Beberapa detik kemudian, badutnya pergi. Marvel udah ngacir ke
arah lain.
Dan aku sadar…
Marvel hilang.
Aku panik? Tentu.
Bram panik? Enggak, dia malah bilang, “Tenang Nuk, paling dia lagi ngomong sama
petugas tentang teori pohon kelapa.”
Kami bertiga akhirnya nyari sambil kebingungan. Karena ini
Marvel—anak yang bisa hilang di kelas sendiri kalau lagi melamun.
Pencarian Dimulai
Kami nyisir tiap spot. Dari Komidi Putar, Pontang-Panting, sampai
wahana Kora-Kora yang tiap kali lewat atas selalu bikin Bram teriak kayak
dilepas dari tebing.
“Marvellll!!” teriakku sampai hapal semua orang.
Seorang bapak-bapak petugas sempat nanya,
“Cari anak hilang, dik?”
“Iya, pak. Temen saya. Tinggi segini, rambut semak-semak, kalo
jalan kayak ayam habis kehujanan.”
Bapaknya manggut-manggut, “Oh… banyak model begitu.”
Aku nyaris pingsan.
Petunjuk Pertama: Donat
Akhirnya ada harapan. Kami nemu… setengah donat cokelat bekas
gigitan Marvel.
Aku hapal bentuk gigitannya. Serius.
Gigitan Marvel tuh unik, kayak jejak dinosaurus moshi-moshi.
“Ini Marvel banget,” kataku sambil angkat donat kayak detektif
CSI.
Donat itu ngarah ke daerah wahana Halilintar.
“Oh jelas dia ke situ,” Bram komen. “Marvel kan paling takut
tinggi. Dia pasti nyari tantangan. Atau nyari bangku buat duduk.”
Kami langsung ngacir.
Ketemu… Tapi Nyaris Kehilangan Akal
Dan benar saja. Di dekat pintu keluar Halilintar, kami lihat dia…
berdiri sendirian, basah keringat, tapi wajahnya puas kayak baru menang lomba
makan kerupuk.
“Marvelll!!” aku hampiri.
Dia kaget, “Eh… kalian di mana aja? Gue dari tadi nyari!”
Aku teriak, “KITA YANG NYARI LO SEJAM, BUKAN LO YANG NYARI KITA!”
Marvel cuma senyum malu sambil garuk kepala.
“Maap… tadi gue ketemu abang penjual balon. Abangnya ramah…”
“Astagaaaa…”
Akhirnya, aku tarik dia ke pinggir, dan entah kenapa kami bertiga
cuma bisa… ketawa.
Ketawa karena lega.
Karena akhirnya ketemu.
Karena Marvel tetap Marvel—makhluk lucu yang bikin jantung deg-degan tapi hati
hangat.
Marvel lalu bilang pelan, “Makasih ya udah nyariin gue… gue kira
gue bakal tidur di Dufan semalaman.”
Aku jawab sambil tepuk bahunya, “Kalo lo beneran hilang, Mar… yang
ilang bukan cuma lo. Tapi satu bagian penting dari Genk Marvel.”
Dia langsung cengengesan, “Ih, Nuk… gue jadi mau nangis.”
“Tahan dulu, nanti fotonya jelek.”
Marvel Kena Marah Bu Suryani & Pengakuan Paling
Ngakak Dalam Sejarah Study Tour
Begitu kami akhirnya ketemu Marvel dan narik dia balik ke titik
kumpul, suasana rombongan tuh kayak pas lagi apel pagi tapi semua wajah udah
setengah gosong matahari. Bu Suryani sedang hitung kepala satu-satu seperti
biasa.
“Nomor absen 1… ada.”
“Nomor absen 2… ada.”
“Nomor absen 14… Marvel… MARVEL??”
Kami bertiga otomatis cekikikan gugup kayak maling ayam ketahuan
CCTV.
Marvel maju dengan langkah kecil-kecil, kayak semut yang lagi bawa
kerupuk.
“Eh… ada, Bu.”
Bu Suryani langsung melotot, “KAMU KE MANA?!”
Suasana hening.
Angin berhenti.
Burung pun mendadak nahan napas.
Marvel menghela napas panjang, terus jawab dengan polosnya:
“Eee… tadi saya… tersesat secara emosional, Bu.”
Aku sama Bram langsung menunduk, bukan karena hormat… tapi nahan
ketawa sampai badan goyang-goyang.
Bu Suryani makin bingung, “Tersesat apa??”
Marvel dengan yakin:
“Secara emosional, Bu. Soalnya saya ngikutin badut lumba-lumba… terus badutnya
pergi dan saya merasa hampa.”
Satu rombongan KETAWA MELEDAK.
Guru-guru lain pun ikutan senyum sambil geleng-geleng.
Bu Suryani antara mau marah atau mau ketawa, mukanya berubah-ubah
kayak lampu disko.
“Marvel! Yang namanya hilang ya hilang! Itu bukan emosional! Itu
namanya kamu tidak disiplin! Kalau sampai betulan hilang bagaimana? Kami semua
repot mencari tahu, kamu di mana?!”
Marvel langsung manyun sambil mengangguk-angguk kecil, “Maafkan
saya, Bu… saya memang kurang pengalaman hidup.”
Aku sampai harus pegang bahu Bram biar nggak rubuh saking
ngakaknya.
Dan Puncaknya… Pengakuan Aneh Marvel
Bu Suryani masih ngomel, tapi nada suaranya mulai turun.
Akhirnya beliau nanya, “Sekarang jawab jujur. Kamu kenapa bisa ilang sejauh itu
dari titik kumpul?”
Marvel diam sebentar…
Lalu mengangkat tangan seperti mau sumpah jabatan.
“Baik, saya ngaku jujur… Tadinya saya cuma mau foto sama badut
lumba-lumba. Tapi ternyata badutnya bau ikan, Bu. Saya nggak siap.”
Seluruh rombongan: HAHAHAHAHAHA!!
Bu Suryani: nutup wajah pakai clipboard
“Astaghfirullah, Marvel…”
Marvel lanjut tanpa disuruh, “Saya pikir kalau saya jalan dikit,
baunya hilang. Ternyata saya makin jauh… terus saya ketemu abang balon. Balon
pausnya lucu, Bu. Saya terhipnotis.”
Wajah Bu Suryani udah merah antara kesel atau nahan ketawa.
Guru lain, Pak Darma, akhirnya nyeletuk,
“Jadi kamu hilang karena… bau badut dan balon paus?”
Marvel: “Iya, Pak. Saya korban keadaan.”
Rombongan: pecah lagi ketawanya.
Hukuman Paling Aneh & Paling Marvel
Akhirnya Bu Suryani memutuskan sesuatu.
“Baik. Mulai sekarang, Marvel jalan di depan saya. Bukan di
belakang, bukan di samping… DEPAN. Biar saya lihat terus.”
Marvel langsung kaku macam robot.
“Iya Bu… saya siap jadi pion catur.”
Bram langsung bisik ke aku,
“Kasian, Nuk… kayak bebek kehilangan induk.”
Aku: “Bebek aja nggak se-polooos ini.”
Penutup yang Manis (dan Kocak)
Sebelum rombongan masuk ke bus, Marvel tiba-tiba narik aku dan
Bram.
“Eh… makasih ya. Kalo tadi gue beneran hilang… gue takut nama gue
diumumin di TOA Dufan.”
Aku nahan ketawa, “Trus kenapa?”
“Ya malu, Nuk. Masa diumumin gitu: ‘Anak hilang, ciri-ciri:
jalannya lucu dan takut badut bau ikan.’”
Ketawa yang hangat.
Ketawa yang cuma bisa muncul dari persahabatan aneh tapi tulus kayak punya Marvel
lanjut baca klik link : 10 - CINTA PERTAMA ATAU HANYA NALURI YANG SEDANG BELAJAR BERDEBAR ?