Langsung ke konten utama

9 - HAMPIR HILANG DI DUFAN

 





Begitu rombongan turun dari bus, semua langsung heboh kayak ayam dilepasin dari kurungan. Aku masih sibuk ngitung temen—biar nggak ada yang ilang—tapi Marvel… justru sibuk ngitung… pohon kelapa.

“Loh, Mar… ngapain lo nengok ke atas mulu?” tanyaku.

“Gue baru sadar, kok pohon di Dufan tinggi-tinggi ya, Nuk. Ini pasti strategi biar tamu betah,” jawabnya sok bijak.

Aku cuma bisa nyengir, “Iya, iya, Mar… ayo jalan, sebelum lo keseret wisatawan lain.”

Awal-awal semuanya baik-baik aja. Kita main Ombang-Ambing, Turangga-Rangga, terus nyobain Rumah Misteri yang sebenernya nggak misteri-misteri amat. Marvel masih aman, masih di perimeter pengawasan—jarak satu langkah dari aku.

Tapi masalah muncul saat kita masuk ke area Arung Jeram.

Sebelum naik, Bu Suryani udah bilang, “Anak-anak, jangan ada yang jalan sendiri. Pegangan temannya. Jangan terpisah. Ini Dufan, bukan halaman sekolah.”

Marvel: mengangguk yakin
Realitas: langsung ngilang.

Gara-garanya sepele. Ada badut lumba-lumba lewat sambil goyang-goyang lucu.

Marvel yang nahan ketawa langsung nyarang, “Nuk bentar, gue mau foto sama itu!”
Belum sempat aku jawab “jangan jauh-jauh”—dia udah melipir kayak ninja.

Beberapa detik kemudian, badutnya pergi. Marvel udah ngacir ke arah lain.
Dan aku sadar…

Marvel hilang.

Aku panik? Tentu.
Bram panik? Enggak, dia malah bilang, “Tenang Nuk, paling dia lagi ngomong sama petugas tentang teori pohon kelapa.”

Kami bertiga akhirnya nyari sambil kebingungan. Karena ini Marvel—anak yang bisa hilang di kelas sendiri kalau lagi melamun.

 

Pencarian Dimulai

Kami nyisir tiap spot. Dari Komidi Putar, Pontang-Panting, sampai wahana Kora-Kora yang tiap kali lewat atas selalu bikin Bram teriak kayak dilepas dari tebing.

“Marvellll!!” teriakku sampai hapal semua orang.

Seorang bapak-bapak petugas sempat nanya,
“Cari anak hilang, dik?”

“Iya, pak. Temen saya. Tinggi segini, rambut semak-semak, kalo jalan kayak ayam habis kehujanan.”

Bapaknya manggut-manggut, “Oh… banyak model begitu.”

Aku nyaris pingsan.

 

Petunjuk Pertama: Donat

Akhirnya ada harapan. Kami nemu… setengah donat cokelat bekas gigitan Marvel.

Aku hapal bentuk gigitannya. Serius.
Gigitan Marvel tuh unik, kayak jejak dinosaurus moshi-moshi.

“Ini Marvel banget,” kataku sambil angkat donat kayak detektif CSI.

Donat itu ngarah ke daerah wahana Halilintar.

“Oh jelas dia ke situ,” Bram komen. “Marvel kan paling takut tinggi. Dia pasti nyari tantangan. Atau nyari bangku buat duduk.”

Kami langsung ngacir.

 

Ketemu… Tapi Nyaris Kehilangan Akal

Dan benar saja. Di dekat pintu keluar Halilintar, kami lihat dia… berdiri sendirian, basah keringat, tapi wajahnya puas kayak baru menang lomba makan kerupuk.

“Marvelll!!” aku hampiri.

Dia kaget, “Eh… kalian di mana aja? Gue dari tadi nyari!”

Aku teriak, “KITA YANG NYARI LO SEJAM, BUKAN LO YANG NYARI KITA!”

Marvel cuma senyum malu sambil garuk kepala.
“Maap… tadi gue ketemu abang penjual balon. Abangnya ramah…”

“Astagaaaa…”

Akhirnya, aku tarik dia ke pinggir, dan entah kenapa kami bertiga cuma bisa… ketawa.

Ketawa karena lega.
Karena akhirnya ketemu.
Karena Marvel tetap Marvel—makhluk lucu yang bikin jantung deg-degan tapi hati hangat.

Marvel lalu bilang pelan, “Makasih ya udah nyariin gue… gue kira gue bakal tidur di Dufan semalaman.”

Aku jawab sambil tepuk bahunya, “Kalo lo beneran hilang, Mar… yang ilang bukan cuma lo. Tapi satu bagian penting dari Genk Marvel.”

Dia langsung cengengesan, “Ih, Nuk… gue jadi mau nangis.”

“Tahan dulu, nanti fotonya jelek.”

 

Marvel Kena Marah Bu Suryani & Pengakuan Paling Ngakak Dalam Sejarah Study Tour

Begitu kami akhirnya ketemu Marvel dan narik dia balik ke titik kumpul, suasana rombongan tuh kayak pas lagi apel pagi tapi semua wajah udah setengah gosong matahari. Bu Suryani sedang hitung kepala satu-satu seperti biasa.

“Nomor absen 1… ada.”
“Nomor absen 2… ada.”
“Nomor absen 14… Marvel… MARVEL??”

Kami bertiga otomatis cekikikan gugup kayak maling ayam ketahuan CCTV.

Marvel maju dengan langkah kecil-kecil, kayak semut yang lagi bawa kerupuk.
“Eh… ada, Bu.”

Bu Suryani langsung melotot, “KAMU KE MANA?!”

Suasana hening.
Angin berhenti.
Burung pun mendadak nahan napas.

Marvel menghela napas panjang, terus jawab dengan polosnya:

“Eee… tadi saya… tersesat secara emosional, Bu.”

Aku sama Bram langsung menunduk, bukan karena hormat… tapi nahan ketawa sampai badan goyang-goyang.

Bu Suryani makin bingung, “Tersesat apa??”

Marvel dengan yakin:
“Secara emosional, Bu. Soalnya saya ngikutin badut lumba-lumba… terus badutnya pergi dan saya merasa hampa.”

Satu rombongan KETAWA MELEDAK.
Guru-guru lain pun ikutan senyum sambil geleng-geleng.

Bu Suryani antara mau marah atau mau ketawa, mukanya berubah-ubah kayak lampu disko.

“Marvel! Yang namanya hilang ya hilang! Itu bukan emosional! Itu namanya kamu tidak disiplin! Kalau sampai betulan hilang bagaimana? Kami semua repot mencari tahu, kamu di mana?!”

Marvel langsung manyun sambil mengangguk-angguk kecil, “Maafkan saya, Bu… saya memang kurang pengalaman hidup.”

Aku sampai harus pegang bahu Bram biar nggak rubuh saking ngakaknya.

 

Dan Puncaknya… Pengakuan Aneh Marvel

Bu Suryani masih ngomel, tapi nada suaranya mulai turun.
Akhirnya beliau nanya, “Sekarang jawab jujur. Kamu kenapa bisa ilang sejauh itu dari titik kumpul?”

Marvel diam sebentar…
Lalu mengangkat tangan seperti mau sumpah jabatan.

“Baik, saya ngaku jujur… Tadinya saya cuma mau foto sama badut lumba-lumba. Tapi ternyata badutnya bau ikan, Bu. Saya nggak siap.”

Seluruh rombongan: HAHAHAHAHAHA!!

Bu Suryani: nutup wajah pakai clipboard
“Astaghfirullah, Marvel…”

Marvel lanjut tanpa disuruh, “Saya pikir kalau saya jalan dikit, baunya hilang. Ternyata saya makin jauh… terus saya ketemu abang balon. Balon pausnya lucu, Bu. Saya terhipnotis.”

Wajah Bu Suryani udah merah antara kesel atau nahan ketawa.

Guru lain, Pak Darma, akhirnya nyeletuk,
“Jadi kamu hilang karena… bau badut dan balon paus?”

Marvel: “Iya, Pak. Saya korban keadaan.”

Rombongan: pecah lagi ketawanya.

 

Hukuman Paling Aneh & Paling Marvel

Akhirnya Bu Suryani memutuskan sesuatu.

“Baik. Mulai sekarang, Marvel jalan di depan saya. Bukan di belakang, bukan di samping… DEPAN. Biar saya lihat terus.”

Marvel langsung kaku macam robot.
“Iya Bu… saya siap jadi pion catur.”

Bram langsung bisik ke aku,
“Kasian, Nuk… kayak bebek kehilangan induk.”

Aku: “Bebek aja nggak se-polooos ini.”

 

Penutup yang Manis (dan Kocak)

Sebelum rombongan masuk ke bus, Marvel tiba-tiba narik aku dan Bram.

“Eh… makasih ya. Kalo tadi gue beneran hilang… gue takut nama gue diumumin di TOA Dufan.”

Aku nahan ketawa, “Trus kenapa?”

“Ya malu, Nuk. Masa diumumin gitu: ‘Anak hilang, ciri-ciri: jalannya lucu dan takut badut bau ikan.’

Kami bertiga ketawa lagi.
Ketawa yang hangat.
Ketawa yang cuma bisa muncul dari persahabatan aneh tapi tulus kayak punya Marvel


lanjut baca klik link : 10 - CINTA PERTAMA ATAU HANYA NALURI YANG SEDANG BELAJAR BERDEBAR ? 

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...