Langsung ke konten utama

10 - CINTA PERTAMA ATAU HANYA NALURI YANG SEDANG BELAJAR BERDEBAR ?

 




Masa SMP itu memang lucu. Kita masih kecil, tapi sok dewasa. Sok ngerti cinta, tapi kalau ditanya “bedanya sayang dan suka apa?”, langsung bengong kayak lagi ditanya rumus keliling trapesium yang jarang dipakai orang hidup-hidup.

Dan di masa itulah aku mulai belajar satu hal aneh: ternyata dada bisa berdebar bukan hanya karena diseret Bu Suryani ke ruang BP… tapi karena seseorang lewat sambil tersenyum.

 

Wanita idaman kalian siapa?

Pertanyaan yang entah kenapa jadi sangat serius sore itu. Padahal kami cuma bocah-bocah SMP yang baru naik kelas dua, duduk melingkar di kelas sambil ngemil ciki hasil merampas bekal temen yang polos.

Dudung, dengan gaya ala ketua geng Marvel padahal ranking 27, bertanya sambil menjitak kepala siapa pun yang jawabannya nggak jelas.

“Wanita idaman gue… hmm…,” Iko pura-pura mikir.
“Yang penting mau nyontekin matematika,” jawabnya akhirnya.

Siswa-siswa lain ngakak. Dudung makin ngakak sampai kursinya hampir patah.

Tapi kemudian, lewatlah satu nama yang bikin suasana mendadak hening:

“Amik Trisna.”

Itu dia. Nama yang kalau diucapkan, otomatis bikin udara sekitar jadi lebih slow motion.

Amik Trisna. Gadis Bali berkulit cerah, rambut hitam panjang, dan jalannya selalu rapi, kayak tiap langkahnya dihitung sama Google Maps. Ayahnya pemilik hotel besar di Denpasar—informasi itu sudah dicek oleh detektif-detektif amatir di kelasku.

“Dia paket lengkap, bro,” kata Dudung sambil mengunyah krupuk pink.
“Cantik, sopan, elegan… udah kayak pemeran utama sinetron Indosiar.”

Aku cuma mengangguk kecil. Diam. Sok tidak peduli. Padahal di dalam dada, ada suara kecil berteriak:

“Iyaaa… dia cantik banget…”

Tapi tentu saja, aku tidak bilang apa-apa. Rasa itu masih asing. Baru numpuk di hati, belum siap keluar lewat mulut.

 

Sandy dan Bidadari Anime Jepang

Temanku satu ini, Sandy Maheswara, punya selera yang… beda.

“Gue mah nggak level ngejar Amik,” katanya sambil selonjoran di ruang keluarga rumah dinas ayahnya—pejabat Pertamina. Rumahnya gede, AC dingin, ada karpet tebal yang kalau diinjek rasanya kayak injek awan.

“Gue suka kakak kelas. Kenyo Ayumi,” katanya.
“Cakepnya kayak bidadari anime Jepang.”

Iko melotot. “Lu pernah ngomong sama dia?”
“Belom,” jawab Sandy santai.
“Terus kenapa kamu yakin dia cakep kayak anime Jepang?”
“Feeling.”

Kami ngakak. Ruangan besar itu terasa penuh suara remaja yang polosnya ngalahin anak ayam baru menetas.

Di TV, film horor Friday the 13th diputar. Kami nonton sambil ngeri-ngeri sedap, padahal di luar hujan rintik-rintik. Sambil ngemil kacang rebus, Sandy terus bercerita soal “cinta matinya” pada Kenyo.

Sementara aku?
Di kepalaku cuma ada satu nama.

Amik.

 

Diawalinya oleh ‘Si Kembar’

Semesta kadang suka bercanda. Saat aku cuma bisa mengagumi Amik dari jauh, tiba-tiba aku kenal teman dekatnya—kami memanggilnya “si Kembar”.

Nah, dari dia, aku mulai berani titip salam kecil yang… sebenarnya membawa harapan gede.

Beberapa minggu kemudian, aku dapat nomor telepon rumah Amik.

Dan itu, teman-teman, adalah momen di mana hati seorang anak SMP bisa jungkir-balik lima belas kali per menit.

 

Telepon Rumah: Senjata Paling Deg-Degan di Era 90-an

Nggak seperti zaman sekarang, telepon rumah itu salah satu olahraga ekstrem:

  • Harus nunggu jam aman—biasanya setelah maghrib.
  • Harus siap kalau yang angkat ternyata bapaknya dan suaranya kayak komandan batalion.
  • Harus pura-pura nanya PR kalau tiba-tiba yang angkat ibunya.

Tapi ketika akhirnya suara Amik yang terdengar…

“Hallo… ini siapa ya?”
“Aku… Nucky…”

Suara itu… aduh. Ringan. Lembut. Penuh jeda yang bikin hati renyah.

Kami ngobrol macam-macam. Kadang sekolah. Kadang musik. Kadang cuma diem, mendengarkan napas masing-masing, seperti dua orang yang masih bingung kenapa telepon bisa terasa lebih hangat dari selimut tebal.

Dan anehnya, itu cukup untuk membuatku bahagia.

 

Tapi di Sekolah?

Aku kembali jadi diriku yang biasa.
Tidak pernah menyapa.
Tidak pernah sok akrab.
Tidak ada kode-kode manja kayak di sinetron.

Mungkin aku takut ditertawakan teman-teman. Mungkin juga aku sendiri belum tahu, rasa ini apa. Yang kutahu cuma:

setiap kali dia tertawa, hatiku ikut cerah.

Dan itu, bagi seorang anak SMP, sudah lebih dari cukup untuk hidup tiga hari tanpa makan jajanan kantin.

 

Rahasia Kecil yang Muncul dari Sepasang Sepatu

Ada satu momen yang selalu menempel di ingatan.

Setiap kali dia berjalan melewati depan kelas, suara sepatunya berbunyi:

cekak-cekik… cekak-cekik…

Entah kenapa, suara itu jadi lagu favoritku.

Bahkan aku bisa mengenali kedatangannya tanpa perlu menoleh.

Kalau dia lewat, aku langsung duduk tegak, bersikap sok cool, padahal jantung rasanya kayak gendang Bali ditabuh rame-rame.

Payung Stroberi dan Momen Paling Gugup Sedunia

Suatu sore hujan deras. Aku dan dia harus pulang. Hanya ada satu payung di pos satpam sekolah: payung merah bermotif stroberi. Entah siapa yang naruh.

“Bareng aja?” katanya sambil tersenyum tipis.

Aku mengangguk.
Kalimat itu tidak keluar dari mulutku, tapi dari saraf pusat yang lagi mogok berbicara.

Sepanjang jalan aku sibuk:

  • mengatur napas biar nggak kayak orang habis lari 100 meter,
  • menghindari menyenggol lengannya,
  • menata payung supaya dia tidak kehujanan,
  • dan berdoa supaya aku tidak melakukan kebodohan akut.

Itu salah satu perjalanan paling canggung, paling gugup, dan… paling manis dalam hidupku.

 

Tidak Pernah Ada Kata “Suka”

Semua momen itu…
berakhir begitu saja.

Tidak pernah ada:

  • pengakuan.
  • penolakan.
  • pernyataan cinta.

Hanya percakapan PR IPA, senyum malu-malu, dan panggilan telepon pelan jam 7 malam.

Dan kalau aku boleh jujur, itu cukup.

Deg-degan itu… rasa hangat itu…
semuanya membuatku belajar satu hal penting:

Perasaan pertama bukan untuk dimiliki.
Tapi untuk mengajari kita menjadi manusia yang lebih lembut.

 CATATAN NUCKY: Tentang Perasaan Pertama, Kadang, rasa yang sederhana di masa remaja mengajarkan kita bahwa kebahagiaan tidak harus dimiliki. Cukup dirasakan dan disyukuri.

Deg-degan kecil itu membantu kita tumbuh. Bukan untuk jadi romantis berlebihan, tapi untuk jadi manusia yang lebih peka, lebih jujur, lebih halus hatinya.

Kata Khalil Gibran:
“Cinta tidak memiliki dan tidak dimiliki. Karena cinta cukup untuk cinta.”

Mungkin benar. Mungkin rasa itu datang bukan untuk menjadi akhir yang bahagia, tapi untuk menjadi awal dari versi terbaik diri kita.


lanjut baca klik link : 11 - SAUDARA TANPA DARAH : SAHABAT SEJATI

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...