Masa SMP itu memang lucu. Kita masih kecil, tapi sok dewasa. Sok
ngerti cinta, tapi kalau ditanya “bedanya sayang dan suka apa?”, langsung
bengong kayak lagi ditanya rumus keliling trapesium yang jarang dipakai orang
hidup-hidup.
Dan di masa itulah aku mulai belajar satu hal aneh: ternyata dada
bisa berdebar bukan hanya karena diseret Bu Suryani ke ruang BP… tapi karena
seseorang lewat sambil tersenyum.
Wanita idaman kalian siapa?
Pertanyaan yang entah kenapa jadi sangat serius sore itu. Padahal
kami cuma bocah-bocah SMP yang baru naik kelas dua, duduk melingkar di kelas
sambil ngemil ciki hasil merampas bekal temen yang polos.
Dudung, dengan gaya ala ketua geng Marvel padahal ranking 27,
bertanya sambil menjitak kepala siapa pun yang jawabannya nggak jelas.
“Wanita idaman gue… hmm…,” Iko pura-pura mikir.
“Yang penting mau nyontekin matematika,” jawabnya akhirnya.
Siswa-siswa lain ngakak. Dudung makin ngakak sampai kursinya
hampir patah.
Tapi kemudian, lewatlah satu nama yang bikin suasana mendadak
hening:
“Amik Trisna.”
Itu dia. Nama yang kalau diucapkan, otomatis bikin udara sekitar
jadi lebih slow motion.
Amik Trisna. Gadis Bali berkulit cerah, rambut hitam panjang, dan
jalannya selalu rapi, kayak tiap langkahnya dihitung sama Google Maps. Ayahnya
pemilik hotel besar di Denpasar—informasi itu sudah dicek oleh
detektif-detektif amatir di kelasku.
“Dia paket lengkap, bro,” kata Dudung sambil mengunyah krupuk
pink.
“Cantik, sopan, elegan… udah kayak pemeran utama sinetron Indosiar.”
Aku cuma mengangguk kecil. Diam. Sok tidak peduli. Padahal di
dalam dada, ada suara kecil berteriak:
“Iyaaa… dia cantik banget…”
Tapi tentu saja, aku tidak bilang apa-apa. Rasa itu masih asing.
Baru numpuk di hati, belum siap keluar lewat mulut.
Sandy dan Bidadari Anime Jepang
Temanku satu ini, Sandy Maheswara, punya selera yang… beda.
“Gue mah nggak level ngejar Amik,” katanya sambil selonjoran di
ruang keluarga rumah dinas ayahnya—pejabat Pertamina. Rumahnya gede, AC dingin,
ada karpet tebal yang kalau diinjek rasanya kayak injek awan.
“Gue suka kakak kelas. Kenyo Ayumi,” katanya.
“Cakepnya kayak bidadari anime Jepang.”
Iko melotot. “Lu pernah ngomong sama dia?”
“Belom,” jawab Sandy santai.
“Terus kenapa kamu yakin dia cakep kayak anime Jepang?”
“Feeling.”
Kami ngakak. Ruangan besar itu terasa penuh suara remaja yang
polosnya ngalahin anak ayam baru menetas.
Di TV, film horor Friday the 13th diputar. Kami nonton
sambil ngeri-ngeri sedap, padahal di luar hujan rintik-rintik. Sambil ngemil
kacang rebus, Sandy terus bercerita soal “cinta matinya” pada Kenyo.
Sementara aku?
Di kepalaku cuma ada satu nama.
Amik.
Diawalinya oleh ‘Si Kembar’
Semesta kadang suka bercanda. Saat aku cuma bisa mengagumi Amik
dari jauh, tiba-tiba aku kenal teman dekatnya—kami memanggilnya “si Kembar”.
Nah, dari dia, aku mulai berani titip salam kecil yang… sebenarnya
membawa harapan gede.
Beberapa minggu kemudian, aku dapat nomor telepon rumah Amik.
Dan itu, teman-teman, adalah momen di mana hati seorang anak SMP
bisa jungkir-balik lima belas kali per menit.
Telepon Rumah: Senjata Paling Deg-Degan di Era 90-an
Nggak seperti zaman sekarang, telepon rumah itu salah satu
olahraga ekstrem:
- Harus
nunggu jam aman—biasanya setelah maghrib.
- Harus
siap kalau yang angkat ternyata bapaknya dan suaranya kayak komandan
batalion.
- Harus
pura-pura nanya PR kalau tiba-tiba yang angkat ibunya.
Tapi ketika akhirnya suara Amik yang terdengar…
“Hallo… ini siapa ya?”
“Aku… Nucky…”
Suara itu… aduh. Ringan. Lembut. Penuh jeda yang bikin hati
renyah.
Kami ngobrol macam-macam. Kadang sekolah. Kadang musik. Kadang
cuma diem, mendengarkan napas masing-masing, seperti dua orang yang masih
bingung kenapa telepon bisa terasa lebih hangat dari selimut tebal.
Dan anehnya, itu cukup untuk membuatku bahagia.
Tapi di Sekolah?
Aku kembali jadi diriku yang biasa.
Tidak pernah menyapa.
Tidak pernah sok akrab.
Tidak ada kode-kode manja kayak di sinetron.
Mungkin aku takut ditertawakan teman-teman. Mungkin juga aku
sendiri belum tahu, rasa ini apa. Yang kutahu cuma:
setiap kali dia tertawa, hatiku ikut cerah.
Dan itu, bagi seorang anak SMP, sudah lebih dari cukup untuk hidup
tiga hari tanpa makan jajanan kantin.
Rahasia Kecil yang Muncul dari Sepasang Sepatu
Ada satu momen yang selalu menempel di ingatan.
Setiap kali dia berjalan melewati depan kelas, suara sepatunya
berbunyi:
cekak-cekik… cekak-cekik…
Entah kenapa, suara itu jadi lagu favoritku.
Bahkan aku bisa mengenali kedatangannya tanpa perlu menoleh.
Kalau dia lewat, aku langsung duduk tegak, bersikap sok cool,
padahal jantung rasanya kayak gendang Bali ditabuh rame-rame.
Payung Stroberi dan Momen Paling Gugup Sedunia
Suatu sore hujan deras. Aku dan dia harus pulang. Hanya ada satu
payung di pos satpam sekolah: payung merah bermotif stroberi. Entah siapa yang
naruh.
“Bareng aja?” katanya sambil tersenyum tipis.
Aku mengangguk.
Kalimat itu tidak keluar dari mulutku, tapi dari saraf pusat yang lagi mogok
berbicara.
Sepanjang jalan aku sibuk:
- mengatur
napas biar nggak kayak orang habis lari 100 meter,
- menghindari
menyenggol lengannya,
- menata
payung supaya dia tidak kehujanan,
- dan
berdoa supaya aku tidak melakukan kebodohan akut.
Itu salah satu perjalanan paling canggung, paling gugup, dan…
paling manis dalam hidupku.
Tidak Pernah Ada Kata “Suka”
Semua momen itu…
berakhir begitu saja.
Tidak pernah ada:
- pengakuan.
- penolakan.
- pernyataan
cinta.
Hanya percakapan PR IPA, senyum malu-malu, dan panggilan telepon
pelan jam 7 malam.
Dan kalau aku boleh jujur, itu cukup.
Deg-degan itu… rasa hangat itu…
semuanya membuatku belajar satu hal penting:
Perasaan pertama bukan untuk dimiliki.
Tapi untuk mengajari kita menjadi manusia yang lebih lembut.
CATATAN NUCKY: Tentang Perasaan Pertama, Kadang, rasa yang sederhana di masa remaja mengajarkan kita bahwa kebahagiaan tidak harus dimiliki. Cukup dirasakan dan disyukuri.
Deg-degan kecil itu membantu kita tumbuh. Bukan untuk jadi
romantis berlebihan, tapi untuk jadi manusia yang lebih peka, lebih jujur,
lebih halus hatinya.
Kata Khalil Gibran:
“Cinta tidak memiliki dan tidak dimiliki. Karena cinta cukup untuk cinta.”
Mungkin benar. Mungkin rasa itu datang bukan untuk menjadi
akhir yang bahagia, tapi untuk menjadi awal dari versi terbaik diri kita.
lanjut baca klik link : 11 - SAUDARA TANPA DARAH : SAHABAT SEJATI