Langsung ke konten utama

11 - SAUDARA TANPA DARAH : SAHABAT SEJATI

 




Ada satu masa dalam hidup kita di mana nama seseorang melekat seperti cap stempel di ingatan. Bukan karena dia selalu di samping kita setiap jam, tetapi karena tanpa dia, ada bagian dari diri kita yang nggak terbentuk.
Buatku, nama itu cuma satu: Bram.

Atau kalau lagi mau formal dikit: Brama Djatipatria, manusia yang kalau dilihat sekilas tampak biasa saja… sampai kamu kenal lebih dalam dan sadar, “Lho… kok orang ini rasanya kayak rumah?”

Bermula dari Sebuah Kebutuhan yang Jujur

Kami bersahabat bukan karena dipaksa keadaan. Bukan karena satu geng, bukan karena satu les, dan bukan karena saling numpang PR. Itu mah bonus.

Kami bertemu karena… kami sama-sama butuh seseorang untuk belajar jadi manusia. Butuh teman yang bisa ngomong tanpa takut dihakimi, butuh tempat untuk ketawa sampai perut keram, dan butuh bahu yang nggak nuntut apa-apa.

Kadang aku bertanya ke diri sendiri: kenapa sih aku sedekat itu sama Bram?
Jawabannya selalu sama:
Karena dia melengkapi lubang-lubang yang aku bahkan nggak sadar aku punya.

Keluarga Bram: Warna-warni dalam Bentuk Nyata

Pertama kali masuk rumah Bram, aku langsung ngerasa kayak masuk dunia lain. Bukan dunia fancy ala film Hollywood, tapi dunia di mana kehangatan itu menetes dari pintu depan sampai ke dapur.

Mbak Puri, kakak first-born mereka, seperti versi manusia dari pengharum ruangan: lembut, menenangkan, dan bikin kamu betah di mana pun dia berada.

Mas Bimo, kakak laki-lakinya, punya gaya bicara ala pelatih pasukan elite, tapi sebenarnya hatinya kayak klepon—keras di luar, meleleh di dalam.
“Nu, besok ikut futsal. Jangan ngumpet di perpustakaan!” katanya sekali.
Mana dia tahu aku ke perpustakaan bukan ngumpet, tapi ngejar AC.

Mbak Fitri adalah penyeimbang. Nggak ribut, tapi kalau dia bicara, semua berhenti.
“Bim, itu gelas bukan tempat nyimpen baut.”
Seketika rumah kembali harmonis.

Dan di tengah semua kehebohan indah itu… ada Bram, sibungsu yang selalu jadi semacam lilin kecil di sudut ruangan: sederhana, tapi cahayanya terasa.

Oom Marko: Pahlawan yang Tidak Mengintimidasi

Ayahnya Bram, Oom Marko Kasiroedin, adalah legenda berjalan dari TRIP Malang. Tapi yang bikin aku kagum, bukan cara beliau bercerita tentang perjuangan bersenjata… melainkan perjuangan hatinya.

“Cinta itu bukan meluluhkan… tapi memperjuangkan,” katanya sambil memegang cangkir teh. “Kayak Papa dulu ngejar Mama kamu tahu? Itu pertempuran yang lebih menegangkan daripada melawan Belanda.”

Tante Popie hanya geleng-geleng di belakang.
“Jangan percaya semua versi ceritanya, Nak,” katanya sambil tersenyum lebar.

Tapi aku percaya. Cinta yang sudah bertahan puluhan tahun itu pasti pernah diperjuangkan mati-matian.

Dan entah kenapa, tiap dengar cerita Oom Marko, aku merasa jadi lebih manusia.

Perkot: Rumah Tanpa Pagar di Hati Kami

Perkot—nama kecil yang penuh kenangan.

Rumah-rumah tropis tersusun rapi, pohon flamboyan meneduhkan jalan, anak-anak sore hari menggema tawa, dan suara sepeda berdecit seperti musik pengiring masa remaja.

Di sinilah kami menata masa depan tanpa sadar.
Di sinilah kami belajar bahwa hidup itu nggak selalu soal menang atau hebat… tapi soal punya tempat untuk pulang.

Tameng, Supir Pribadi, dan Komandan Misi Lapangan

Setiap kali aku mau pergi, Papa selalu tanya:

“Pergi sama siapa?”
“Bram.”
“Oh. Ya sudah.”

Cuma itu.
Itu aja udah cukup buat Papa percaya aku bakal pulang dengan selamat.

Lucunya, walaupun motornya motor Papa, yang nyetir selalu Bram.
“Aku percaya kalau kamu nyetir, kita nggak sampai tujuan,” kata Bram santai.
“Wah, kurang ajar,” jawabku.
“Tapi fakta,” dia menambahkan.

Ya sudah, aku jadi penumpang tetap. Sementara Bram jadi semacam pengemudi resmi plus pengarah hidup tidak resmi.

 

Belajar Tanpa Diajar

Bahasa Inggris di rumah Bram mengalir kayak air.

“Have you done your homework?” tanya Mbak Puri.
“Yes, yes,” jawab Bram.
Aku di sebelah cuma manggut-manggut pura-pura ngerti.
Bram ngelirik dan bisik, “Dia cuma nanya PR.”
“Ya aku tau lah!”
Padahal nggak tau.

Tapi yang aku ingat, Bram nggak pernah bikin aku merasa bodoh.
Dia selalu menemukan cara untuk narik aku naik tanpa bikin aku merasa dituntun.

Teman kayak gini langka.
Tempat les pun kalah telak.

Tante Popie: Ibu dengan Jurus Nasi Goreng Cinta

Kalau ada lomba ibu paling perhatian, Tante Popie menang telak.

Setiap kami mau keluar — mau kegiatan remaja, mau sekolah, bahkan mau cari angin — beliau selalu bilang:

“Nih, bawa ini. Jangan jajan sembarangan.”

Isi bekalnya kadang risoles, kadang pisang goreng, kadang roti isi, dan yang paling nendang: nasi goreng ala Tante Popie.

Aku pernah bilang ke Bram, “Andai semua masalah hidup bisa selesai dengan nasi goreng, aku pasti tinggal di rumahmu tiap hari.”
Bram cuma mendengus, “Hidupmu memang aneh, Nuk.”

Lebih dari Sekadar Sahabat

Suatu sore, setelah berkeliling Perkot pakai motor Papa yang—untuk kesekian kalinya—dikendarai Bram, aku bilang ke dia:

“Bram, kamu sadar nggak… kamu itu saudara paling aneh yang pernah aku punya.”

“Lho. Saudara kok aneh?”

“Ya kamu itu bukan saudara kandung… tapi rasanya lebih dari itu. Kayak… ada di otak, di hati, di langkah.”

Bram diam sebentar.
“Maksudnya kamu sayang sama aku gitu?”
“Ya, semacam itu…”
“Jijik banget bahasanya, Nu.”
“Tapi kamu ngerti kan?”
Dia mengangguk kecil. “Iya.”

Lalu dia memutar gas motor.
“Udah, ah. Kita cari angin. Omongan kamu berat.”

Tapi aku tahu dia senang.
Aku juga.

Karena ada orang-orang yang hadir bukan untuk mengajarkan sesuatu…
tapi untuk menjadi bagian dari siapa kita kelak.

Dan Bram adalah itu bagiku.
Tanpa darah, tanpa garis keturunan, tanpa sumpah-sumpah formal.
Hanya rasa.
Dan rasa itu cukup untuk menyebutnya:
saudara.


lanjut baca klik link : 12 - MASA SMA - THE REAL REMAJA

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...