Ada satu masa dalam hidup kita di mana nama seseorang melekat
seperti cap stempel di ingatan. Bukan karena dia selalu di samping kita setiap
jam, tetapi karena tanpa dia, ada bagian dari diri kita yang nggak terbentuk.
Buatku, nama itu cuma satu: Bram.
Atau kalau lagi mau formal dikit: Brama Djatipatria, manusia yang
kalau dilihat sekilas tampak biasa saja… sampai kamu kenal lebih dalam dan
sadar, “Lho… kok orang ini rasanya kayak rumah?”
Bermula dari Sebuah Kebutuhan yang Jujur
Kami bersahabat bukan karena dipaksa keadaan. Bukan karena satu
geng, bukan karena satu les, dan bukan karena saling numpang PR. Itu mah bonus.
Kami bertemu karena… kami sama-sama butuh seseorang untuk belajar
jadi manusia. Butuh teman yang bisa ngomong tanpa takut dihakimi, butuh tempat
untuk ketawa sampai perut keram, dan butuh bahu yang nggak nuntut apa-apa.
Keluarga Bram: Warna-warni dalam Bentuk Nyata
Pertama kali masuk rumah Bram, aku langsung ngerasa kayak masuk
dunia lain. Bukan dunia fancy ala film Hollywood, tapi dunia di mana kehangatan
itu menetes dari pintu depan sampai ke dapur.
Mbak Puri, kakak first-born mereka, seperti versi manusia dari
pengharum ruangan: lembut, menenangkan, dan bikin kamu betah di mana pun dia
berada.
Dan di tengah semua kehebohan indah itu… ada Bram, sibungsu yang
selalu jadi semacam lilin kecil di sudut ruangan: sederhana, tapi cahayanya
terasa.
Oom Marko: Pahlawan yang Tidak Mengintimidasi
Ayahnya Bram, Oom Marko Kasiroedin, adalah legenda berjalan dari
TRIP Malang. Tapi yang bikin aku kagum, bukan cara beliau bercerita tentang
perjuangan bersenjata… melainkan perjuangan hatinya.
“Cinta itu bukan meluluhkan… tapi memperjuangkan,” katanya sambil
memegang cangkir teh. “Kayak Papa dulu ngejar Mama kamu tahu? Itu pertempuran
yang lebih menegangkan daripada melawan Belanda.”
Tapi aku percaya. Cinta yang sudah bertahan puluhan tahun itu
pasti pernah diperjuangkan mati-matian.
Dan entah kenapa, tiap dengar cerita Oom Marko, aku merasa jadi
lebih manusia.
Perkot: Rumah Tanpa Pagar di Hati Kami
Perkot—nama kecil yang penuh kenangan.
Rumah-rumah tropis tersusun rapi, pohon flamboyan meneduhkan
jalan, anak-anak sore hari menggema tawa, dan suara sepeda berdecit seperti
musik pengiring masa remaja.
Tameng, Supir Pribadi, dan Komandan Misi Lapangan
Setiap kali aku mau pergi, Papa selalu tanya:
Ya sudah, aku jadi penumpang tetap. Sementara Bram jadi semacam
pengemudi resmi plus pengarah hidup tidak resmi.
Belajar Tanpa Diajar
Bahasa Inggris di rumah Bram mengalir kayak air.
Tante Popie: Ibu dengan Jurus Nasi Goreng Cinta
Kalau ada lomba ibu paling perhatian, Tante Popie menang telak.
Setiap kami mau keluar — mau kegiatan remaja, mau sekolah, bahkan
mau cari angin — beliau selalu bilang:
“Nih, bawa ini. Jangan jajan sembarangan.”
Isi bekalnya kadang risoles, kadang pisang goreng, kadang roti
isi, dan yang paling nendang: nasi goreng ala Tante Popie.
Lebih dari Sekadar Sahabat
Suatu sore, setelah berkeliling Perkot pakai motor Papa yang—untuk
kesekian kalinya—dikendarai Bram, aku bilang ke dia:
“Bram, kamu sadar nggak… kamu itu saudara paling aneh yang pernah
aku punya.”
“Lho. Saudara kok aneh?”
“Ya kamu itu bukan saudara kandung… tapi rasanya lebih dari itu.
Kayak… ada di otak, di hati, di langkah.”