Ciuman Pertama dan Miniatur Indonesia di TK Wipara
Di antara deru pesawat yang take off tiap pagi dan aroma solar
yang entah kenapa selalu nyangkut di udara Tuban Bali, di situlah Nucky kecil
memulai hidupnya. Rumah dinas papaku dekat bandara itu seperti posko utama
kehidupannya—kadang ribut, kadang sepi, tapi selalu penuh cerita.
Setiap pagi, Mama mengantar Nucky ke TK Wipara. Sambil merapikan
kerah baju kotak-kotaknya, Mama selalu memberi wejangan yang tone-nya seperti
campuran cinta dan “peringatan keras versi halus”:
“Le, ojo gelut yo…
Neng, ojo nyosor anak wedok maneh.
Mama ora kuat dipanggil Bu Guru meneh.”
Waktu itu Nucky cuma ngangguk, sambil mikir, ‘Nyosor? Emang
kapan?’
Mama tentu masih ingat insiden hari sebelumnya. Tapi ya sudahlah, kita mundur
sedikit.
TK Wipara itu miniatur Indonesia—versi lucu, imut, dan sering
ingusan. Anak-anaknya datang dari segala penjuru: Bali, Jawa, Madura, Sumatra,
Flores, sampai anak bule yang ikut orang tuanya kerja di bandara. Kalau dilihat
dari luar, sekolahnya kecil. Tapi dari dalam, rasanya seperti ruang pertemuan
PBB. Bedanya, di sini rapatnya paket lengkap: ada susu kotak, biskuit, dan
kadang rebutan ayunan.
Karnaval tahunan selalu jadi acara paling heboh. Semua anak tampil
dengan pakaian adat. Nucky selalu pakai baju adat Madura lengkap dengan odheng.
Teman-teman ketawa, “Keren, Ky! Kayak pendekar kecil!”
Sementara itu, anak Bali pakai udeng dan kamen, anak Jawa pakai beskap mini,
anak bule pakai jas Eropa, dan semua berjalan bareng sambil dadah-dadah seperti
rombongan artis lokal.
Gurunya? Super sabar. Mereka pasti malaikat yang sedang magang
jadi manusia.
Tapi… TK ini menyimpan satu legenda yang semua orang tahu.
Legenda… ciuman pertama.
Namanya Merie.
Gadis kecil dengan kuncir dua, pipi kemerahan, dan suara halus
yang bisa bikin anak lima tahun mendadak amnesia kata-kata.
Buat Nucky, tiap kali Merie lewat, jantungnya langsung rusak
ritme. Kayak kipas angin rusak yang bunyinya “tek-tek-tek-tek”.
Dan di suatu hari cerah yang kelak tak akan dia lupakan, kejadian
itu terjadi.
Niatnya cuma mau bilang, “Hai, Merie.”
Tapi begitu Merie menoleh, mata mereka bertemu, dan…
muach
Nucky mencium pipinya.
Bukan planned. Bukan modus.
Murni… bug sistem otak anak lima tahun.
Teriakan langsung meledak.
“WAAA NUCKY NYIUM MERIEEEE!”
“IIIH GILI!”
“CIU-CIUUUUU!”
Guru sibuk menenangkan murid.
Orang tua melongo.
Mama?
Mama menarik napas paling panjang seumur hidupnya.
Sejak hari itu, hubungan Nucky dan Merie membeku. Mereka sama-sama
diam. Sama-sama kikuk. Bahkan saat disuruh berpegangan tangan waktu menyanyi
“Naik Delman”, keduanya cuma pura-pura sibuk dengan sepatu masing-masing.
Apakah Merie marah?
Apakah diam-diam dia senang?
Tidak ada yang tahu.
Yang jelas, itulah cinta pertama versi bocah.
Canggung.
Lucu.
Dan berakhir lebih cepat dari masa lomba makan kerupuk.
Meski begitu, TK Wipara adalah rumah kecil yang menanam sesuatu
penting dalam hati Nucky—rasa bahwa perbedaan itu indah, dan manusia bisa hidup
rukun meski tak sama.
Dan… soal Merie?
Takdir masih simpan banyak kejutan.
Cerita mereka tidak benar-benar selesai.
Baru disimpan sementara.
CATATAN NUCKY: masa kecil
bukan hanya tentang bermain dan belajar, tetapi tentang belajar menerima
perbedaan, menghargai guru, dan menyadari bahwa cinta pertama pun—walau
sederhana—bisa membentuk cara kita mencintai dunia.
Sepatu Jebol, Cinta Berkarat, dan Samblung
Bermekaran
Dari TK, perjalanan Nucky lanjut ke SD Ngurah Rai—yang kemudian
berganti nama jadi SD Negeri 6 Tuban. Sekolahnya besar, lapangannya luas, dan
murid-muridnya beragam, persis seperti terminal kedatangan yang penuh orang
dari mana-mana. Bedanya, ini versi anak kecil dengan tas kotak-kotak.
Setiap pagi jam 07.00, sebelum belajar dimulai, semua murid berdoa
menurut agama masing-masing. Ada yang membaca doa Kristen, ada yang Tri
Sandhya, ada yang Al-Fatihah. Suasana ini begitu alami, begitu indah, sampai
hari ini Nucky masih ingat damainya.
Karena sering dengar doa teman, Nucky jadi hafal versi lain.
Sampai suatu hari, Bu Guru bilang:
“Nucky, pimpin doa ya.”
“Versi yang mana, Bu?”
“Lho… kok kamu tanya balik?”
Anak yang toleran atau anak yang kebanyakan denger?
Entah lah.
Secara akademik, Nucky stabil di ranking 10 besar. Tapi ada tiga
nama yang nggak bisa digeser:
- Dewa Ayu
Diah Damayanti – si jenius lembut hati
- Tedy
Noviady – kalkulator berjalan
- Edit
Estetika – kamus sekaligus printer portable
Bagi Nucky, trio ini seperti kombinasi tiga final boss di video
game.
Untungnya, sekolah juga penuh cerita lucu. Misalnya jam piket,
anak-anak harus menyiram tanaman samblung yang ditanam di bola lampu
bekas. Guru bilang ini “melatih kepedulian lingkungan”. Padahal anak-anak cuma
senang main air.
Ada juga piket kantin. Kita jadi pedagang kecil: jualan es lilin,
potongan buah, sampai kue seribuan. Kalau ludes? Dapat pujian. Kalau tidak?
Dapat ceramah ekonomi sederhana:
“Dagangan itu butuh teknik pemasaran, anak-anak.”
Guru zaman dulu memang sudah teladan.
Soal guru juga penuh warna.
Bu Yus, guru IPA—datang dari NTT. Logatnya khas, semangatnya menyala. Pelajaran
yang rumit jadi simpel.
Pak Sarga, guru matematika—seriusnya tingkat dewa.
Kalau ketawa? Wah, langka. Tapi kalau Nucky bisa jawab benar, beliau selalu
berkata:
“Pinter kamu. Tapi jangan sombong.”
Kalimat pendek, tapi nancep sampai dewasa.
Dan ada Anom—legenda sekolah.
Secara usia, harusnya kakak kelas. Tapi karena petualangan akademisnya yang…
berliku, akhirnya sekelas. Anom baik hati, suka bawa makanan lebih, dan selalu
membela teman yang diganggu.
Kadang, orang bijak datang dari tempat tak terduga.
Yang paling membekas?
Lapangan sekolah.
Tempat di mana Nucky jadi pelari tercepat sekelasnya.
Tempat sepatu Kickers jebol entah sudah berapa kali.
Tempat Mama selalu geleng-geleng sambil ngomel:
“Le, iki sepatune regane larang, kok jebol meneeeh?!”
Tapi begitulah masa kecil—lebih memikirkan kejar-kejaran daripada
kondisi alas kaki.
Dan… di antara semua itu, ada Merie.
Ternyata dia sekelas lagi selama SD.
Enam tahun.
Satu kelas.
Dipaksa Satu bangku dan bersalaman saling memaafkan pernah. Lucu yg aneh
Tapi tidak pernah bicara.
Persis film drama yang sutradaranya pemalu.
CATATAN NUCKY: masa SD bukan hanya soal
nilai rapor, tapi latihan jadi manusia. Di sini kita belajar jujur, bertanggung
jawab, toleran, dan menjaga hati.
Janger Terakhir dan Tatapan yang Menggantung
Perpisahan SD datang lebih cepat dari yang kami kira.
Acara kelulusan digelar meriah. Para guru sibuk menata kursi,
orang tua sibuk dengan kamera Kodaknya, dan para murid sibuk menahan deg-degan.
Kami menari Janger.
Nucky berdiri di tengah, pakai udeng, senyum dipaksakan supaya tidak terlihat
gugup.
Dan di barisan seberang, ada Merie.
Cahaya Matahari pagi menjelang siang menyinari panggung memantulkan wajahnya
yang kini lebih dewasa, lebih sendu, lebih… jauh.
Di tengah tarian, mata mereka bertemu.
Tidak lama.
Tidak dramatis.
Tidak pakai slow motion.
Tapi cukup untuk membuat Nucky sadar:
“Wah… ternyata aku akan kehilangan seseorang yang pernah aku
sukai, bahkan sebelum aku sempat menyapanya.”
Tarian selesai.
Upacara selesai.
Sekolah selesai.
Masa kecil selesai.
Tidak ada salam perpisahan, tidak ada lambaian tangan.
Hanya tatapan terakhir yang menggantung di udara.
Dan setelah itu, mereka benar-benar berpisah.
Untuk pertama kalinya, Nucky merasakan kehilangan—versi anak
kecil.
CATATAN NUCKY: perpisahan
mengajarkan kita bahwa waktu tak bisa diulang, jadi gunakan hati sebaik mungkin
selama kita masih saling melihat.
Bakbukbak di Taman Gunungan
Lalu ada satu kisah kocak tapi penuh pelajaran.
Perkelahian.
Serius.
Bukan drama.
Bukan akting.
Nucky… bakbukbak baku hantam dengan Harris—anak tinggi besar yang
kalau jalan kayak tiang Listrik di lapis gedebok pisang bergerak.
Penyebabnya?
Entah.
Mungkin rebutan bola.
Mungkin salah ucap.
Mungkin lagi bad mood.
Yang jelas, tantangan dilayangkan.
Lokasi: Taman Gunungan.
Tempat keramat untuk duel bocah SD yang “berjiwa ksatria”.
Begitu sekolah selesai, para penonton dari segala angkatan
berkumpul.
Harris sudah menunggu.
Nucky datang dengan napas setengah hilang.
“Siap?”
“Ya siap…” walau lutut gemetaran.
Pertarungan dimulai.
Pukulan melayang.
Tendangan kecil.
Cubitan yang disangkal.
Teriakan penonton: “WOIII ANJURIIIIN!”
Tapi setelah lima menit—yang rasanya seperti final tinju
dunia—keduanya berhenti, saling pandang, dan…
Mengulurkan tangan.
Damai.
Cerdas.
Gentle.
Lalu besoknya… malah duduk sebangku.
Begitulah anak-anak.
Musuh cepat berubah jadi sahabat.
CATATAN NUCKY: berani bukan soal siapa menang, tapi siapa yang mau berdamai duluan.