Kalau ada satu malam di masa SMA yang rasanya kayak disimpen
langsung di folder “Kenangan Tak Pernah Kedaluwarsa”, ya… malam itu. Malam
pentas seni Smansa. Malam ketika aku—anak cowok yang masih bingung bedain
antara parfum mahal dan deodorant Rexona Sport—mendadak merasa seperti pemeran
utama film remaja tahun 1990-an. Dan semua gara-gara satu nama: Vira.
Adiknya Mbak Fitri. Cewek yang kalau lewat, cowok-cowok langsung
refleks menegakkan punggung seakan tiba-tiba punya alasan untuk terlihat lebih
berwibawa. Yang rambutnya dikuncir dua, wangi Sunsilk hijau, senyumnya teduh
kayak jeda adzan Maghrib.
Entahlah, mungkin itu pertama kalinya aku merasa gugup tapi senang
dalam satu napas.
Malam Pentas Seni – Gedung Tsirarnawa &
Deg-Degan Di Balik Parfum Rexona
Sore itu aku berdiri di depan cermin, wajahku udah kayak spanduk
promosi parfum murahan. Rexona Sport ku semprot sampai separuh botol tinggal
kenangan. Baju disetrika berkali-kali, rambut ditata dengan minyak yang
aromanya… hmm, mirip kombinasi toko sepatu, bedak bayi, dan rasa percaya diri
yang sedikit dipaksa.
Papa kasih izin pakai mobil Citroen tua. Mobil yang kalau jalan
bunyinya “kretek… kretek… kretek…”, tapi malam itu aku merasa seperti pengawal
pribadi Putri Diana versi Denpasar.
Waktu sampai di rumah Vira di Renon, pintu terbuka… dan dia keluar
dengan dress biru muda. Rambutnya bergerak pelan kena angin. Senyumnya—ya
Allah—tenang dan manis kayak ending sinetron Ramadhan.
“Kok bisa nyetir mobil antik begini? Keren ya…” katanya
sambil nyengir.
Kalau dia tahu remnya kadang ngadat dan AC-nya cuma lubang udara,
mungkin pujiannya berubah jadi doa keselamatan.
Dua Es Teh, Popcorn, Dan Lagu Maroon 5
Kami duduk di deretan tengah. Aku bawa dua gelas es teh manis—yang
satu tumpah sedikit ke celana karena tanganku tremor. Vira bawa popcorn.
Interaksinya simpel, tapi tiap kalimat rasanya kayak adegan film slow motion.
“Kamu suka Kla Project?”
“Suka… apalagi lagu ‘Yogyakarta.”
“Wah… kita cocok dong.”
Aku langsung nyesel setelah ngomong itu. Tapi dia cuma ketawa
kecil.
Lampu padam. Sorotan panggung hidup. Band mulai main She Will
Be Loved. Angin malam lewat pelan, dan entah kenapa aku yakin seluruh
semesta lagi ngasih efek dramatis cuma untuk kami.
Tangan kami hampir bersentuhan. Nggak sengaja—atau sengaja—aku
juga nggak yakin. Tapi aku ingat senyumnya… senyum yang bikin dadaku meletup
kayak petasan korek.
Dalam hati aku berdoa pelan: “Ya Allah, kalau ini mimpi, jangan
bangunin dulu. Kasih aku bonus scene sedikit lagi.”
Pulang Dengan Citroen Dan Obrolan Yang Membuat
Jalanan Renon Terlihat Lebih Indah
Pulangnya, suasana lebih cair. Dia cerita banyak. Tentang kakaknya
yang cerewet. Tentang mimpinya jadi dokter gigi. Tentang kegemarannya nonton Gilmore
Girls.
Aku juga cerita. Tentang cita-cita yang berubah-ubah—guru,
penulis, pengisi suara kartun. Tentang Bram yang selalu jadi partner in crime.
Lalu dia bilang, pelan-pelan tapi cukup jelas sampai terdengar ke
seluruh pori-poriku:
“Kamu beda ya… nggak kayak cowok-cowok lain.”
Wajahku panas. Itu pujian atau kode bahwa aku aneh? Entahlah. Yang
jelas, malam itu aku pulang seperti raja. Raja dengan singgasana berupa jok
sopir Citroen bunyi “ngik-ngik”.
Telepon Malam & Pengakuan Paling Gagap Dalam
Sejarah Hidupku
Seminggu lebih setelah itu, aku akhirnya nekat.
Zaman itu belum ada HP. Belum ada IG. Belum ada WA dengan fitur unsend.
Jadi kalau kamu salah ngomong, ya wassalam.
Aku telepon rumahnya. Jantungku berdetak kayak marching band.
“Halo… ini aku… Aku cuma mau bilang… sebenarnya… aku suka sama
kamu.”
Hening.
Aku hampir menutup telepon karena gugup.
Lalu dia jawab, dengan suara pelan yang tetap manis:
“Aku senang temenan sama kamu… tapi sekarang aku mau fokus
sekolah dulu ya… maaf.”
Aduh.
Nggak ada pecahan hati berguguran.
Tapi ada rasa ringan—karena akhirnya aku jujur.
Dan yang paling indah:
Dia tetap menyapa keesokan harinya. Tetap senyum. Tetap jadi Vira yang aku
kenal.
Dan aku?
Tetap menyimpannya sebagai bab yang paling manis.
Cinta Pertama Tak Harus Berakhir Dengan Cinta
Vira bukan pacarku. Itu jelas.
Tapi dia adalah cerita.
Dan cerita itu hidup di bagian paling lembut dari masa SMA-ku.
Cinta pertama memang jarang berhasil. Tapi justru karena itu, ia
jadi abadi.
Bukan karena kepemilikan, tapi karena ketulusannya.
Lagu Penutup: Sheila Majid & Rasa Yang Tak
Pernah Benar-Benar Pergi
Setiap kali lagu “Takkan Lari Cinta yang Sejati” lewat di
radio, ada sesuatu di hatiku yang mendadak kembali ke kursi tengah Gedung
Tsrarnawa. Ke popcorn tumpah. Ke es teh dingin. Ke hampir bersentuhannya tangan
kami.
Ke senyuman yang sederhana, tapi cukup untuk membuat seluruh masa
SMA terasa masuk akal.
Lagu itu bukan cuma melodi.
Dia seperti pintu rahasia menuju ingatan yang paling lembut.
Paling malu-malu.
Paling jujur.
Semua Indah, Meski Tak Jadi
Kami nggak jadian.
Nggak ada bunga.
Nggak ada “I love you”.
Nggak ada janji-janji.
Tapi rasaku nyata.
Dan itu cukup.
Aku belum kenal Rumi. Belum baca Gibran.
Tapi malam itu… saat band cover Phil Collins fals setengah nada dan kami
tertawa bersamaan…
Aku tahu:
Aku sedang bahagia.
Dan kebahagiaan itu… nggak butuh label.
CATATAN NUCKY : Cinta
remaja itu kayak embun pagi—jernih, cepat hilang, tapi ninggalin kesejukan yang
diam-diam tinggal bertahun-tahun.
Ia mengajarkan keberanian untuk jujur, meski hasilnya nggak seindah sinetron.
Tapi justru di situlah pelajarannya: Bukan tentang siapa yang akhirnya
bersamamu,
tapi siapa yang pertama kali bikin hatimu berdebar tanpa alasan,
dan membuatmu merasa hidup sedikit lebih indah malam itu.
lanjut baca klik link : 16 - GENK TUBAN F2 SMANSA '91- KENAKALAN, PERSAHABATAN, DAN SENANDUNG KLA PROJECT