Langsung ke konten utama

15 - KENCAN MALU-MALU BARENG ADIKNYA MBAK FITRI

 



Kalau ada satu malam di masa SMA yang rasanya kayak disimpen langsung di folder “Kenangan Tak Pernah Kedaluwarsa”, ya… malam itu. Malam pentas seni Smansa. Malam ketika aku—anak cowok yang masih bingung bedain antara parfum mahal dan deodorant Rexona Sport—mendadak merasa seperti pemeran utama film remaja tahun 1990-an. Dan semua gara-gara satu nama: Vira.

Adiknya Mbak Fitri. Cewek yang kalau lewat, cowok-cowok langsung refleks menegakkan punggung seakan tiba-tiba punya alasan untuk terlihat lebih berwibawa. Yang rambutnya dikuncir dua, wangi Sunsilk hijau, senyumnya teduh kayak jeda adzan Maghrib.

Entahlah, mungkin itu pertama kalinya aku merasa gugup tapi senang dalam satu napas.

 

Malam Pentas Seni – Gedung Tsirarnawa & Deg-Degan Di Balik Parfum Rexona

Sore itu aku berdiri di depan cermin, wajahku udah kayak spanduk promosi parfum murahan. Rexona Sport ku semprot sampai separuh botol tinggal kenangan. Baju disetrika berkali-kali, rambut ditata dengan minyak yang aromanya… hmm, mirip kombinasi toko sepatu, bedak bayi, dan rasa percaya diri yang sedikit dipaksa.

Papa kasih izin pakai mobil Citroen tua. Mobil yang kalau jalan bunyinya “kretek… kretek… kretek…”, tapi malam itu aku merasa seperti pengawal pribadi Putri Diana versi Denpasar.

Waktu sampai di rumah Vira di Renon, pintu terbuka… dan dia keluar dengan dress biru muda. Rambutnya bergerak pelan kena angin. Senyumnya—ya Allah—tenang dan manis kayak ending sinetron Ramadhan.

Kok bisa nyetir mobil antik begini? Keren ya…” katanya sambil nyengir.

Kalau dia tahu remnya kadang ngadat dan AC-nya cuma lubang udara, mungkin pujiannya berubah jadi doa keselamatan.

 

Dua Es Teh, Popcorn, Dan Lagu Maroon 5

Kami duduk di deretan tengah. Aku bawa dua gelas es teh manis—yang satu tumpah sedikit ke celana karena tanganku tremor. Vira bawa popcorn. Interaksinya simpel, tapi tiap kalimat rasanya kayak adegan film slow motion.

Kamu suka Kla Project?
Suka… apalagi lagu ‘Yogyakarta.
Wah… kita cocok dong.

Aku langsung nyesel setelah ngomong itu. Tapi dia cuma ketawa kecil.

Lampu padam. Sorotan panggung hidup. Band mulai main She Will Be Loved. Angin malam lewat pelan, dan entah kenapa aku yakin seluruh semesta lagi ngasih efek dramatis cuma untuk kami.

Tangan kami hampir bersentuhan. Nggak sengaja—atau sengaja—aku juga nggak yakin. Tapi aku ingat senyumnya… senyum yang bikin dadaku meletup kayak petasan korek.

Dalam hati aku berdoa pelan: “Ya Allah, kalau ini mimpi, jangan bangunin dulu. Kasih aku bonus scene sedikit lagi.”

 

Pulang Dengan Citroen Dan Obrolan Yang Membuat Jalanan Renon Terlihat Lebih Indah

Pulangnya, suasana lebih cair. Dia cerita banyak. Tentang kakaknya yang cerewet. Tentang mimpinya jadi dokter gigi. Tentang kegemarannya nonton Gilmore Girls.

Aku juga cerita. Tentang cita-cita yang berubah-ubah—guru, penulis, pengisi suara kartun. Tentang Bram yang selalu jadi partner in crime.

Lalu dia bilang, pelan-pelan tapi cukup jelas sampai terdengar ke seluruh pori-poriku:

Kamu beda ya… nggak kayak cowok-cowok lain.

Wajahku panas. Itu pujian atau kode bahwa aku aneh? Entahlah. Yang jelas, malam itu aku pulang seperti raja. Raja dengan singgasana berupa jok sopir Citroen bunyi “ngik-ngik”.

 

Telepon Malam & Pengakuan Paling Gagap Dalam Sejarah Hidupku

Seminggu lebih setelah itu, aku akhirnya nekat.
Zaman itu belum ada HP. Belum ada IG. Belum ada WA dengan fitur unsend.
Jadi kalau kamu salah ngomong, ya wassalam.

Aku telepon rumahnya. Jantungku berdetak kayak marching band.

Halo… ini aku… Aku cuma mau bilang… sebenarnya… aku suka sama kamu.

Hening.
Aku hampir menutup telepon karena gugup.

Lalu dia jawab, dengan suara pelan yang tetap manis:

Aku senang temenan sama kamu… tapi sekarang aku mau fokus sekolah dulu ya… maaf.

Aduh.
Nggak ada pecahan hati berguguran.
Tapi ada rasa ringan—karena akhirnya aku jujur.

Dan yang paling indah:
Dia tetap menyapa keesokan harinya. Tetap senyum. Tetap jadi Vira yang aku kenal.

Dan aku?
Tetap menyimpannya sebagai bab yang paling manis.

 

Cinta Pertama Tak Harus Berakhir Dengan Cinta

Vira bukan pacarku. Itu jelas.
Tapi dia adalah cerita.
Dan cerita itu hidup di bagian paling lembut dari masa SMA-ku.

Cinta pertama memang jarang berhasil. Tapi justru karena itu, ia jadi abadi.
Bukan karena kepemilikan, tapi karena ketulusannya.

 

Lagu Penutup: Sheila Majid & Rasa Yang Tak Pernah Benar-Benar Pergi

Setiap kali lagu “Takkan Lari Cinta yang Sejati” lewat di radio, ada sesuatu di hatiku yang mendadak kembali ke kursi tengah Gedung Tsrarnawa. Ke popcorn tumpah. Ke es teh dingin. Ke hampir bersentuhannya tangan kami.

Ke senyuman yang sederhana, tapi cukup untuk membuat seluruh masa SMA terasa masuk akal.

Lagu itu bukan cuma melodi.
Dia seperti pintu rahasia menuju ingatan yang paling lembut.
Paling malu-malu.
Paling jujur.

 

Semua Indah, Meski Tak Jadi

Kami nggak jadian.
Nggak ada bunga.
Nggak ada “I love you”.
Nggak ada janji-janji.

Tapi rasaku nyata.
Dan itu cukup.

Aku belum kenal Rumi. Belum baca Gibran.
Tapi malam itu… saat band cover Phil Collins fals setengah nada dan kami tertawa bersamaan…

Aku tahu:
Aku sedang bahagia.

Dan kebahagiaan itu… nggak butuh label.

 

CATATAN NUCKY : Cinta remaja itu kayak embun pagi—jernih, cepat hilang, tapi ninggalin kesejukan yang diam-diam tinggal bertahun-tahun.
Ia mengajarkan keberanian untuk jujur, meski hasilnya nggak seindah sinetron.
Tapi justru di situlah pelajarannya: Bukan tentang siapa yang akhirnya bersamamu,
tapi siapa yang pertama kali bikin hatimu berdebar tanpa alasan,
dan membuatmu merasa hidup sedikit lebih indah malam itu.


lanjut baca klik link : 16 - GENK TUBAN F2 SMANSA '91- KENAKALAN, PERSAHABATAN, DAN SENANDUNG KLA PROJECT




Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...